Entah dapat nomor HP-ku dari mana, seseorang tiba-tiba
mengirim banyak SMS padaku, antara lain bunyinya begini:
“Demi Allah, saya tidak mengharapkan adanya perceraian dengan
istri saya, dan Demi Allah saya tidak ada maksud menyakiti atau menyia-nyiakan
istri saya”
“Saya akui dulu selama berumah tangga saya banyak melakukan
kesalahan baik yang disengaja maupun tidak, yang membuat dia marah dan sedih,
saya sekarang dalam penyesalan yang amat dalam. Saya ingin dia kembali”
Usut punya usut, ternyata ia suami dari seorang teman yang
pernah bertanya padaku tentang prosedur mendaftar gugatan cerai di pengadilan,
dan aku sudah menjawab sesuai yang aku tahu, tetapi tidak mengikuti secara detail
apakah ia benar-benar mendaftar atau tidak. Waktu itu ia menceritakan bahwa
suaminya melakukan kekerasan, berulang kali. Lahir batin ia mengaku sudah remuk
diperlakukan kasar oleh suaminya, bahkan suaminya juga sudah menyatakan telah
menceraikannya secara lisan. Sebelumnya, ia telah beberapa kali memaafkan
kekerasan yang dilakukan suaminya, tetapi setelah berbaikan, kambuh lagi
perangai kasarnya. Nah, kali ini ia bingung, karena suaminya tampak sangat
serius menyatakan taubat, terbukti banyak sekali orang yang dimintai tolong untuk menyampaikan permintaan maaf dan
penyesalannya, termasuk aku, orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
“Apakah sebaiknya aku kembali padanya dan memaafkan lagi?
“Tergantung hatimu, siap apa tidak berdampingan dengannya
lagi. Biasanya, laki-laki tipe itu kalau terdesak merengek-rengek, mengemis
maaf, meratap, mengaku insyaf, khilaf, janji tidak akan melakukannya lagi, tapi
kalau keadaan sudah normal watak kerasnya akan muncul lagi, semena-mena lagi”
“Bener banget, yang sudah sudah memang begitu, aku sampai
hafal dan bosan”
Aku teringat teori lingkaran kekerasan (cycle of abuse), di
mana seorang pelaku tindak kekerasan (terhadap perempuan) seringkali
merengek-rengek meminta dimaafkan ketika menyadari korbannya akan
meninggalkannya, setelah dimaafkan mereka akan kembali rukun seperti masa bulan
madu, seolah-olah tidak pernah terjadi kekerasan, pelaku bersikap lebih lembut,
lebih bijaksana dan lebih perhatian sehingga korban memiliki harapan besar akan
benar-benar berubah, sekaligus menyalahkan dirinya karena pernah ingin
meninggalkannya, akan tetapi tidak lama setelah itu pelaku akan kembali pada
tabiatnya, begitu seterusnya, sehingga kekerasan terjadi berulang-ulang. Teori
ini banyak terbukti dalam praktik kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga dan kekerasan dalam pacaran.
“Apa tidak berdosa kalau ada orang minta maaf tapi kita tidak
memaafkan? Bukankah kita diperintah untuk berlapang hati memaafkan sesama?”
Memaafkan adalah perbuatan yang baik, sangat dianjurkan oleh
ajaran moral manapun. Tetapi, memaafkan tidak sama artinya dengan mengumpankan
diri menjadi korban kekerasan. Kalau terbukti secara nyata dia telah
berkali-kali menyalahgunakan maaf yang diberikan, maka untuk memaafkan dia kali
ini cukup dengan kata-kata, tanpa diikuti dengan membuka pintu rujuk. Rujuk
yang beresiko mendatangkan ancaman bagi keselamatan jiwa bukanlah pilihan yang
sebaiknya diambil, melainkan harus dihindari.
Menurutku, perempuan berhak menolak rujuk, sebagaimana berhak
menolak lamaran laki-laki yang tidak dikehendaki untuk menjadi suami.