Dulu sekali, tahun 1995, aku dan beberapa temanku
jalan-jalan ke toko swalayan paling besar di kotaku. Saat itu, kami baru saja
masuk Madrasah Aliyah dan tinggal di pesantren.
Ketika memasuki area alat tulis, salah seorang temanku
berbisik, “Kita halal loh mencuri disini, ini kan tokonya orang kafir”
“Oh ya? Kamu kata siapa?”
“Kata guruku ngajiku di kampung. Orang kafir kan musuh
Islam, jadi kita boleh ambil barangnya tanpa harus bayar”
“Iya ya… orang kafir kan jahat, kita ambil aja barangnya”
“Nanti kalo ketahuan gimana? Kita bisa ditangkap”
“Hati-hati, ini kan jihad melawan orang kafir”
Teman-teman tahu apa yang terjadi setelah itu?
Aku diam-diam mengambil lima helai perangko harga 1000-an,
perangko itu dimasukkan ke dalam amplop dan kertas surat wangi bergambar bunga,
lalu direkatkan lagi sampul plastiknya. Yang dibayar hanya amplop dan kertas
suratnya. Entah bagaimana ceritanya, waktu itu perangko ditaruh begitu saja
bersama barang lain, tidak perlu pakai nota untuk membelinya.
Salah seorang temanku mengambil pulpen warna biru muda
keemasan, pulpen yang tidak dijual di toko lain, dimasukkan dalam kotak pensil.
Yang dibayar hanya kotak pensilnya.
Salah seorang temanku yang lain mengambil stabilo warna
hijau muda, dititipkan di kotak pensil teman sebelumnya.
Seorang teman yang lainnya, bersikukuh tidak mau mencuri,
alasannya, “Takut dosa, takut ditangkap satpam”
Esok harinya, kami pamerkan barang-barang curian itu dengan
bangganya kepada teman-teman sekelas. Ada yang ikut bangga atas “jihad” kami,
tapi lebih banyak yang memarahi, menyalahkan dan mengecam. Itulah sekelumit
pengalaman kelamku di masa muda. Ternyata benar, masa muda adalah sebuah fase
yang sangat mudah dipengaruhi, terutama jika pengaruh itu mengatasnamakan hal-hal
yang sensitive, termasuk agama.
Di kemudian hari aku banyak membaca buku tentang Islam dan
hubungan antar agama. Aku menemukan dalil yang sangat masuk akal, bahwa sesame manusia
harus melindungi manusia lain, bahwa tidak ada dalil yang membolehkan aku
sebagai muslim mengambil hak orang lain, apapun agamanya. Justru, semua inti
syariat Islam adalah: melindungi keyakinan, melindungi jiwa, melindungi harta,
melindungi kehormatan dan keturunan, melindungi akal. Bukan hanya melindungi
keyakinan, harta, kehormatan, akal dan
jiwa sesame muslim, melainkan semua manusia. Oleh karena itu membunuh orang
lain, hanya karena beda agama, sama dengan mendustakan agama, karena agama
mewajibkan melindungi keyakinan orang lain. Mencuri harta orang lain, hanya
karena beda agama, adalah pendustaan terhadap agama, karena agama mewajibkan
setiap pemeluknya melindungi harta sesame manusia. Dan seterusnya.
Maka, jika ada
manusia mengatasnamakan agama, meledakkan dirinya dengan bom, lalu menjadikan
ratusan orang lainnya tewas dan terluka, buatku, itu dusta yang sedusta-dustanya.
Aku sangat sedih, marah dan benci sekali pada orang yang menggunakan kata “Islam”
untuk melakukan peledakkan bom ini. Keji
sekali. Gara-gara menggunakan kata negara “Islam”, banyak manusia lain yang
kebetulan beragama Islam di banyak belahan dunia lain, terdustai dan
menyerahkan nyawanya bulat-bulat untuk membunuh sesamanya, tanpa mengerti
persoalan apa yang sesungguhnya diambisikan oleh para pendusta-pendusta itu.
Membunuh, mempertontonkan pembunuhan melalui video, memperkosa
perempuan-perempuan muda sebagai budak seks, menghalalkan pencurian, sama
sekali bukan hal yang mengharumkan Islam, tapi membuat diskriminasi terhadap
umat muslim semakin berat.
Buatku, mereka tidak berhak mendapat simpati,
apalagi dibela dan dihormati, sekalipun melalui sebuah pernyataan. Akalku gagal memahami orang-orang Islam
(Indonesia) yang membela mereka, hanya karena mereka memakai label Islam pada
nama organisasinya. Mungkin perkosaan pada budak-budak seks itu juga akan
dibela mati-matian dan disebut sebagai perkosaan syariah, hanya karena
pelakunya membawa bendera yang ada kutipan Al Qur’annya.
Aku membayangkan, seandainya yang kutemukan dan banyak
kubaca kemudian adalah penafsiran yang membenarkan pencurianku ketika Aliyah
itu, mungkin saat ini aku berada dalam barisan orang-orang yang merasa
keyakinannya dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan mengambil apa yang bukan
hakku dari orang selain Islam, apakah itu harta, nyawa, atau mengganggu
keyakinan mereka.
Aku mengajak para guru, dosen, ustadz, kyai, nyai, gus,
ning, mahasiswa, orang tua dan siapapun untuk memberi referensi tentang Islam
yang ramah dan bersahabat kepada generasi masa depan. Benih-benih yang
berpotensi pada penghalalan terhadap hak orang lain dengan kekerasan harus
disingkirkan, kalaupun diberitahukan, bukan dalam rangka mengajarkan, melainkan
mencegahnya agar tidak diikuti.
Semoga Tuhan memeluk ruh-ruh yang kembali dalam tragedi ini,
dan memulihkan para keluarganya dan korban yang terluka. Semoga setiap kita makin berkomitmen terhadap tegaknya cinta kasih dan perdamaian.