Usai shalat gerhana kemarin, di depan masjid terlihat ada seorang perempuan yang tidak kukenal. Segera aku bertanya kepada temanku, siapa dia. Katanya, “Itu adik iparku, dia menikah dengan adikku tahun 2010, itu yang pakai baju putih anaknya, sudah hamper masuk sekolah”.
Obrolan kami berlanjut agak panjang dengan sebuah diskusi,
pasalnya pernikahan adik temanku itu ternyata belum tercatat oleh negara alias
nikah siri (nikah diam-diam), tetapi dikatakan diam-diam sepenuhnya juga tidak
bisa, karena resepsinya diselenggarakan secara besar-besaran, dihadiri oleh
kerabat kedua keluarga, para tetangga, relasi dan handai taulan, ada foto
pernikahannnya juga.
Karena agak aneh, maka aku bertanya mengapa mereka nikah
tidak tercatat.
“Itu yang aku sesalkan. Keluargaku waktu itu sedang krisis,
tapi sebagaimana adat yang berlaku kami tetap memberikan sejumlah uang untuk
keluarga pengantin perempuan, kami pikIr itu cukup untuk resepsi sederhana dan
mengurus pendaftaran nikah. Tetapi, rupanya bagi mereka itu kurang, maka uang
dari keluargaku dibelanjakan untuk resepsi, Masya Allah….. resepsisnya besar
sekali, sampai-sampai keluargaku GR semua dengan penyambutan yang luar biasa,
tetapi belakangan kami kecewa sekali, karena untuk resepsi besar-besaran itu
mereka mengorbankan pencatatan di KUA, akhirnya sampai sekarang tercatat belum
menikah, padahal anaknya sudah sebesar itu, belum punya akta kelahiran, belum
bisa daftar sekolah, tidak punya Kartu Keluarga”
Ia bertanya padaku tentang solusi hukum agar pernikahan
mereka dapat diakui negara, dan aku menyarankan agar mengajukan permohonan
isbat nikah ke pengadilan agama. Tentu tidak semudah mendaftar di KUA, karena
harus ada sidang pembuktian bahwa pernikahan itu benar-benar pernah
dilaksanakan, maka harus ada saksi-saksi dan bukti yang menguatkan. Jika
permohonan dikabulkan, maka perkawinan mereka diakui oleh hukum negara,
anak-anak yang lahir dari pernikahan itu dapat diakui sebagai anak yang sah.
Aku menyebut kasus di atas sebagai korban tradisi, yakni
tradisi yang mengutamakan resepsi daripada legalitas pernikahan. Biasanya,
sikap semacam ini dilandasi oleh keinginan untuk mendapatkan prestise di mata
orang lain, misalnya pujian dan sanjungan, sebagai orang yang hebat karena
dapat menyelenggarakan resepsi yang besar. Atau, bisa juga sekedar takut
digunjingkan jika resepsinya sederhana, takut dikatakan sebagai orang yang
“tidak umum” alias tidak lazim.
Tentang korban tradisi ini, aku punya banyak cerita lain
yang menurutku penting untuk direnungkan.
Seorang temanku laki-laki, sampai usia hampir 40 tahun belum
berani menikah, karena belum punya uang 200 juta. Beberapa kali ia menjalin
hubungan serius dengan perempuan tetapi selalu berujung pada perpisahan dengan
alasan klise, “Belum mampu menyelenggarakan resepsi”. Aku sempat penasaran,
“Mengapa harus 200 juta? Sekarang kan nikah di KUA gratis, resepsi sederhana
memangnya tidak bisa?”
Katanya, “Menyelenggarakan resepsi sederhana berarti
mengambil resiko dikucilkan seumur hidup oleh tetangga dan kerabat, standar di
kampungku memang segitu, aku harus membeli sapi minimal 2 ekor dan membuat
pesta besar, dikucilkan itu artinya tidak disapa, tidak diundang ke acara
apapun, tidak dibantu kalau mengalami kesulitan, dan itu aku sangat tidak siap.
Kalau mau nekad, bisa saja aku menikah di daerah lain, pulang-pulang tunjukkan
buku nikah, tapi ya itu, aku akan kehilangan keluarga”
Benar-benar tradisi yang tidak masuk akal(ku). Kalau aku
jadi dia, aku pilih nekad nikah sederhana daripada mengorbankan diri sendiri.
Temanku yang lain punya cerita lain lagi.
Mereka sudah menikah 10 tahun yang lalu, tapi sampai
sekarang hutang akibat resepsi itu belum kunjung lunas, padahal orang tuanya
sudah menjual mobil dan perhiasannya untuk menutup hutang itu.
“Aku anak satu-satunya, orang tuaku ingin resepsi yang besar
karena itulah satu-satunya resepsi yang akan mereka selenggarakan,, kerabat dan
tetangga juga selalu mengatakan pernikahanku harus mewah, apalagi bapaku tokoh
masyarakat. Begitulah, resepsiku menjadi resepsi paling mewah yang pernah ada
di kampungku, siang naggap marching band dan rebana, malam nanggap wayang. Demi
kemewahan itu bapakku habis-habisan, mobil dijual, tanah dijual, perhiasan
ibuku melayang, aku sampai sekarang masih harus ikut nyicil untuk melunasi
hutang yang tersisa. Aku masih harus menunda keinginan punya rumah sendiri”.
Aku kira, pengalaman-pengalaman tersebut dapat dijadikan
bahan pelajaran berharga, bahwa hendaknya setiap orang dapat mengukur
kemampuannya dalam mengikuti tradisi resepsi pernikahan. Jangan sampai, karena
menginginkan segala yang serba “wah”, lantas mengorbankan hal-hal yang lebih
penting, meliputi pencatatan nikah. Lebih penting lagi, hendaknya tidak
mengorbankan kesejahteraan dan kenyamanan hidup setelah resepsi selesai.
Pernikahan barulah pintu masuk untuk hidup bersama, jika
semua harta dipertaruhkan untuk memenuhi keinginan (diri sendiri maupun orang
lain) dalam resepsi, maka bisa jadi hari-hari setelah pernikahan harus dilalui
dengan muram. Menurutku, lebih baik mengabaikan komentar orang lain daripada menurutinya
tapi menyusahkan diri sendiri. Toh kalau kita susah nanti, orang lain tidak ada
jaminan akan membantu, paling juga akan komentar lagi. Maka, sekali lagi sangat
penting untuk mengukur kemampuan diri sendiri.
Aku sudah membuktikannya.
Aku memilih menikah dengan cara sangat sederhana. Tidak ada
sewa tenda, sewa kursi, sewa pelaminan, catering mahal dan lain-lain yang
menguras biaya. Acaranya singkat, tahlilan mengundang 200 tetangga dan kerabat,
(tapi alhamdulilah yang hadir atas inisiatif sendiri lebih banyak daripada yang
diundang), tempatnya di masjid, akad nikah di masjid, foto-foto di rumah, dan makan-makan, selesai. Ada sumbangan musik
secara spontan dari klub rebana jamaah masjid. Keseluruhan persiapan tidak
lebih dari 3 hari. Memang tidak umum alias tidak sesuai tradisi, tapi tetapi sah di mata hukum, sah di mata
masyarakat dan insyaallah sah di hadapan Tuhan.
Alhamdulilah, sangat nikmat setelahnya. Tidak ada tagihan
apapun yang datang, tidak ada hitung-hitungan apapun, semuanya dibayar lunas
sesuai kemampuan. Berapa nilainya? Tidak lebih dari 6 juta, sekedar untuk
hidangan tamu, oleh-oleh dan sewa foto. 6 juta. Kalau mau mendengarkan, mungkin
ada yang berkomentar kurang menyenangkan, tapi aku memilih mengabaikannya,
karena itu pilihanku secara sadar. Pilihan untuk tidak merepotkan orang lain,
dan (terutama) merepotkan diri sendiri di masa depan. Itu keputusan “ganjil”
yang sangat kusyukuri sampai sekarang. Keputusan untuk melakukan sesuatu sesuai
ukuran kemampuan sendiri, bukan ukuran yang dibuat oleh orang lain.
Lebih baik nikah
sederhana, tetapi dapat hidup tenang setelahnya.
Daripada, menikah mewah
tapi hidup setelahnya penuh kegelisahan.
Bagaimana dengan nikah
mewah tapi hidup tenang setelahnya?
Baik juga, jika mampu