PILIHAN ANAK MUDA; JALAN TERANG atau LORONG GELAP


Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua orang kelompok pemuda mengunjungiku. Dua-duanya mengaku sedang dalam masalah yang menggelisahkan.
Bedanya, kelompok pertama gelisah karena masa depannya terancam suram karena bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa dengan cara menyuarakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, sedangkan yang kedua gelisah karena masa depan sudah ada di tangannya tetapi merasa merasa mengkhianati hati nuraninya, pasalnya mereka telah bersepakat untuk mendukung penguasa yang menindas rakyat.

Berikut ini dialogku dengan kelompok pertama yang kebetulan datang lebih dulu.

“Bu, kami diancam, jika terus bersuara kritis mempertanyakan kebijakan yang tidak adil maka kami tidak akan jadi apa-apa kelak, mereka akan menghambat dengan segala cara, bagaimana sebaiknya?”

“Memangnya apa yang kalian suarakan?”

“Kami menyuarakan pelanggaran hukum oleh penguasa, kami menolak kebijakan yang merupakan hasil perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha dengan cara menindas rakyat. Nama-nama kami sudah masuk dalam daftar kandidat orang yang mau diamputasi masa depannya, katanya mereka bisa melakukan apa saja yang tidak kami perkirakan untuk membuat kami bungkam”

“Kalian takut?”

Sebagian mengangguk, sebagian tegas menggeleng.
Yang mengangguk mengatakan, “Terbayang bagaimana mempertanggungjawabkan kepada orang tua jika sampai ancaman mereka benar-benar terjadi”

“Dengarkan saya, tidak ada orang besar yang tidak memiliki sejarah perlawanan. Mereka yang saat ini dikenang sebagai pahlawan, yang namanya dicatat sebagai orang hebat dan berjasa adalah orang-orang yang pada masanya dulu telah mempersembahkan jiwa raganya untuk menyuarakan kebenaran, melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dengan caranya masing-masing, sesuai tantangan yang dihadapinya. Jadi tidak perlu takut, keadaan ini adalah cara Tuhan membesarkan kalian”

“Bu, tapi ada juga orang yang punya nama besar bukan karena perjuangan, melainkan karena konsisten mendekati kekuasaan, dan melayani kehendak penguasa”

“Ya, itu hanya kebesaran yang semu, hanya seolah-olah tampak besar, tapi ada masanya mereka akan tumbang oleh sejarah yang dibuatnya sendiri, dan dicemooh sebagai pecundang. Itulah para penjilat”

“Apa Ibu pernah mengalami keadaan seperti yang kami alami saat ini? Diteror, diintimidasi, diancam?”

“Saya? Dibanding yang kalian alami, keadaan yang saya alami jauh lebih berat, dan saya melaluinya dengan sadar bahwa itu adalah resiko melawan ketidakadilan atau sekedar mengkritik ringan penguasa”

Aku kemudian mendongeng tentang pengalaman diintimidasi, diteror atau sekedar dimarahi penguasa.

Pernah suatu saat dulu, aku dipanggil seorang pimpinan kampus, karena majalah kampus yang kupimpin menulis tentang pelanggaran hak mahasiswa oleh oknum pejabat. Aku diinterogasi, dimarahi dan diancam akan dihambat jika tidak meralat berita itu.

Apa jawabku?

“Ini adalah pers mahasiswa, kami menyuarakan aspirasi mahasiswa. Kalau ada yang keberatan dengan tulisan ini, silakan membuat tulisan sendiri dan mendirikan lembaga pers sendiri. Selamanya kami akan setia pada suara mahasiswa, terutama yang tertindas”

Itu tergolong ringan.

Pernah juga, rumahku didatangi oleh pejabat-pejabat kabupaten yang marah karena kritikku di forum besar. Ibuku yang super lugu ketakutan luar biasa setelah mendengar nada marah dan mengancam dari mereka. Aku sendiri tidak ada di rumah, maka waktu pulang, Ibu memberondongku dengan ketakutannya dan menasehati agar aku tidak macam-macam. Oh iya, kepala desaku juga ikut ditegur pejabat-pejabat itu, katanya aku harus diawasi agar tidak bicara sembarangan.

Aku hanya tertawa, GR, karena omongan mahasiswa S1 dari kampung sampai membuat para pejabat merasa perlu mendisiplinkan aku hingga datang ke rumah. Tapi, akibat ulahku itu, namaku dicoret dari beberapa struktur kepengurusan tim bentukan pemerintah.

Pernah lagi, ketika kotaku akan dikunjungi presiden, aku dan teman-teman merencanakan demonstrasi dengan menyuarakan kebijakan pemerintah daerah yang tidak berpihak pada rakyat. Rupanya, rencana ini terdengar polisi dan para pejabat. Seminggu berturut-turut, siang malam pagi sore, sebelum presiden datang, kantorku dikelilingi intel polisi yang ditugaskan untuk mencegah agar kami jangan sampai berdemo. Ketika itu, beberapa di antara intel-intel itu terang-terangan melarang dengan ancaman macam-macam. Berhubung aku ketuanya, maka mereka paling sering menyasarku, setiap melihat aku keluar kantor, langsung diikuti, diinterogasi, disuruh membatalkan rencana, ditakut-takuti, tapi apa jawabku:

“Kami sudah mengkondisikan 300 mahasiswa, naik 6 truk siap menyambut kedatangan presiden di jalur utama kota. Tunggu saja”

Ketika hari H, polisi yang berjaga di sekitar kantor kami makin banyak. Konon, dari 3 polsek terdekat. Ketat sekali mereka hendak mencegah aksi kami. Tapi, aku dan teman-teman berhasil mengecoh. Pergi ke kota naik bis, poster dan spanduk dilipat, polisi yang melihatku sempat berteriak tapi aku tidak peduli. Kami tetap melaksanakan demo, dengan peserta hanya 5 mahasiswa.

Loh, kok cuma 5, yang 295 kemana?

Mereka peserta fiktif, sekedar agar polisi panik saja, sebenarnya memang tidak banyak yang berani ikut.

Soal mengecoh polisi, ini bukan satu-satunya pengalaman. Sudah biasa kalau mau demo ditanya berapa pesertanya, aku kalikan 10. Maka, pernah kami demo hanya 20 orang tapi polisi yang mengamankan 100 lebih.

Itu hanya sekelumit. Masih banyak cerita lain tentang perlawanan.

Aku juga pernah diinterogasi polisi sebagai tersangka, dua kali, di Polsek dan Polres, masing-masing 5 jam. Aku orang yang sangat ingin mengganggu aku dengan melaporkanku pada polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Setelah interogasi itu selesai,
ibuku pingsan menemukan surat panggilan dari polisi yang menyebutku sebagai tersangka. Untunglah, polisinya waras, laporan abal-abal itu tidak ditindaklanjuti, dan statusku tersangkaku dicabut. Aku menganggap laporan itu sebagai terror saja. Gara-gara kasus itu, aku diwawancarai beberapa wartawan koran dan radio untuk menjelaskan duduk perkaranya.

Itulah dongeng yang kuceritakan pada para pemuda kelompok pertama. Aku ingin menegaskan bahwa orang-orang yang mengancam tanpa dasar hukum tidak perlu dipedulikan, mereka bukan siapa-siapa yang bisa menentukan nasib seseorang. Tuhan punya kuasa yang lebih besar, dan akan berpihak pada orang-orang yang setia di jalan-Nya.

“Nikmatilah setiap fase dari pilihan sebagai orang yang idealis dengan penuh kegairahan. Selama kalian benar, Tuhan akan melindungi, dengan cara yang sangat indah. Jika kalian menyerah, apa yang akan kalian dongengkan pada anak cucu? Kisah kepengecutan? Memalukan!”

Mereka pulang dengan pernyataan satu suara, “Kami akan terus melawan!”

Adapun dengan kelompok yang kedua, ini perbincanganku:

“Ibu, kami mohon maaf, kami terpaksa berada di jalan ini. Kami mengagumi Ibu yang selalu berani melawan sistem yang bobrok, Buat kami itu bukan hal yang mudah, kami terlanjur ada dalam sistem yang bobrok itu”

“Tidak ada yang sulit kalau mau memulai sedini mungkin, dan akan sangat sulit jika baru ingin memulai setelah tua”

"Kami sedang berproses Bu. Saya pribadi melihat dengan nyata kebobrokan itu, maaf kami tidak seberani Ibu untuk bersuara dan bersikap”

“Kalian tidak perlu minta maaf kepada saya. Pilihan kalian adalah masa depan kalian. Saya memilih masa depan yang bahagia, meski sederhana, dan untuk itu saya memilih mengikuti hati nurani. Buat saya, lebih baik bersahaja tapi bahagia, daripada bergelimang kemewahan tapi hati gersang karena merasa bersalah pada diri sendiri”

Memang ada, jenis anak muda yang memilih menjadi oportunis. Dia tahu ada jalan yang lebih lurus dan terang, tapi memilih lorong gelap dan berliku, atas nama jalan pintas mendapatkan kesenangan. Inilah anak-anak muda yang bersedia menggadaikan hati nuraninya demi melayani penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya.

Anak-anak muda macam inilah yang kelak akan menyembunyikan kisahnya dari generasi selanjutnya karena malu pada dirinya sendiri. Atau, bisa jadi jika tidak segera keluar dari lingkaran itu, hatinya akan berkarat oleh ketidakjujuran dan perselingkuhan politik, sehingga tak tahu lagi apa itu malu.

0 Response to "PILIHAN ANAK MUDA; JALAN TERANG atau LORONG GELAP"

Posting Komentar

Pengunjung Blog