JIKA BERINGAS DISAMAARTIKAN DENGAN TEGAS

JIKA BERINGAS DISAMAARTIKAN DENGAN TEGAS




Di sebuah fotokopian aku bertemu seorang teman laki-laki berseragam kerja bersama anaknya. Dilihat dari pakaian anaknya, sepertinya ia baru saja menjemput anaknya. Karena aku tahu biasanya yang mengantar anak itu ibunya, maka aku bertanya, “Tumben, kau yang mengantar”.

“Iya. Dia yang minta. Anakku mogok sekolah seminggu, hari ini mulai mau masuk tapi harus aku yang mengantar”

“Wah, mungkin dia sedang ingin diperhatikan ayah, karena selama ini kau jarang mengantarnya”

“Mungkin juga, yang jelas dia mogok sekolah gara-gara ibunya. Sepertinya trauma, karena beberapa hari yang lalu istriku memarahinya di depan teman-teman dan gurunya”

“Kenapa? Kalau aku boleh tahu…”

“Istriku marah karena anakku jajan sembarangan, gurunya melihat tapi tidak melarang. Itu waktu jam istirahat. Waktu jam belajar, istriku marah-marah lagi, waktu itu sedang pelajaran menulis tapi anakku malah menggambar, gurunya tidak menegur, istriku melihat dari jendela, lalu dia masuk dan memarahi anakku, membanting tas dan membuang buku gambarnya, memaksa agar menulis, kata wali murid lain istriku juga memarahi gurunya karena dianggap tidak tegas, tidak menegakkan disiplin, kalau dibiarkan dia khawatir anak kami akan ketinggalan dari teman-temannya. Aku menyesalkan kejadian itu, anakku bukannya mau menulis malah jadi mogok. Seminggu ini aku merayu agar mau sekolah lagi, dan baru mau berangkat lagi hari ini”

“Apa itu bisa dikategorikan kekerasan terhadap anak?”tanyanya lebih lanjut. Akhirnya kami terlibat diskusi kecil sambil menunggu order fotokopian selesai.

“Menurut undang-undang, kalau tindakan itu sampai menyebabkan penderitaan secara psikis atau mental pada anak, maka termasuk kekerasan, namanya kekerasan psikis. Yang bisa memastikan ada penderitaan atau tidak ya para ahli, misalnya psikolog atau psikiater. Tapi secara umum, kita harus waspada jika dari gejala lahiriah ada indikasi yang mengarah kesana, misalnya anak menjadi murung dan minder. Anakmu mogok sekolah itu mungkin karena minder dan malu pada teman-temannya, malu dibentak, malu disalahkan di depan umum, atau bisa jadi malu punya teman-temannya tahu ibunya kasar, padahal guru-guru kan selalu mengajarkan bahwa orang tua adalah orang yang paling menyayangi kita. Tapi itu perkiraanku saja, aku kan tidak tahu kejadiannya”

“Baik, aku akan mencari tahu lebih lanjut. Apa ada yang perlu dikhawatirkan kalau ternyata ia seperti yang kamu katakan? Atau, biarkan saja, kan dia masih kecil, nanti lama-lama akan lupa”

“Menurutku jangan dibiarkan. Harus dipulihkan. Anak-anak tidak seharusnya menganggung penderitaan psikis semacam itu. Jangan sepelekan memori anak kecil, apalagi terhadap pengalaman yang sangat membekas di hatinya. Ia bisa ingat seumur hidupnya, dan itu dapat membuatnya kehilangan rasa percaya diri, akan menghambat potensinya, yang paling buruk ia bisa dendam pada masa kecilnya yang tidak bahagia, lalu mewariskan dendam itu pada anaknya kelak, atau pada setiap orang yang ia kuasai”  

Menurutku, tidak salah jika orang tua berlaku tegas kepada anaknya. Dalam hal-hal tertentu, ketegasan justru sangat diperlukan. Akan tetapi, perlu dirumuskan batas-batas ketegasan, antara lain tidak perlu meninggikan volume suara hingga orang se-RT mendengar semua, tidak perlu disertai membanting barang, apalagi merusaknya. Sangat perlu diingat, bahwa merusak adalah bagian dari perilaku setan, sehingga melanggar fitrah penciptaan manusia yang diamanati untuk menjaga kelestarian bumi seisinya. 

Tegas juga tidak perlu mengancam dengan hal-hal yang menakutkan anak tetapi tidak realistis, misalnya kalau tidak menurut nanti akan ditangkap polisi dan dipenjara. Tentu saja, tegas wajib tidak dicampur dengan kata-kata kasar yang bermuatan makian, celaan, hinaan, dan umpatan. Mengerikan sekali bukan, jika orang tua yang tugasnya mendidik dan menjadi teladan agar anak berbudi luhur justru mempraktikkan budi pekerti rendah melalui kata-kata kasar… Dalam ajaran moral manapun, aku belum pernah menemukan pembenarannya. Yang terakhir, batas yang harus dijaga agar ketegasan tidak melenceng dari tujuannya adalah jangan sampai menyakiti secara fisik. Tidak jarang aku baca berita, ada orang tua menginginkan anaknya lebih baik tapi dengan menganiaya tubuhnya, menyekap, tidak memberi makan, bahkan ada juga yang melarang masuk rumah hingga berhari-hari. Kalau tegas ditunjukkan dengan perilaku semacam ini, lalu apa bedanya dengan beringas?

Kalau begitu, apa dong tegas itu?

Menurutku, tegas itu setia menjalankan aturan. Aturannya siapa? Aturan yang disepakati bersama. Bukan aturan yang ditetapkan sepihak dan tidak pernah dibicarakan. Sering terjadi, orang tua mengaku tegas karena menjalankan aturan, tetapi aturan itu diimpor begitu saja entah dari mana, tanpa pernah dibicarakan apa pentingnya, apa tujuanya, dan apa bahayanya jika dilanggar.

“Kalau aturan itu dari Tuhan kan sudah jelas, apa masih perlu dibicarakan? Kan tinggal diterapkan, kalau dilanggar tinggal dihukum”

“Menurutku, sangat perlu. Dengan bahasa sesuai umurnya, setiap anak berhak tahu mengapa sebuah aturan diberlakukan sehingga ia punya dorongan dari dalam hatinya untuk mematuhi”

“Kalau anaknya bandel, nakal, hiperaktif, susah diatur? Apa orang tua tidak boleh ”

“Tidak ada orang tua yang diberi anak melebihi batas kemampuannya mengasuh. Tentu jika dia mau dan terus mau belajar menjadi orang tua yang baik. Jika ia merasa ilmunya telah penuh, maka semua hal yang tidak sesuai pikirannya akan disalahkan, karena dialah yang benar, anaknya yang selalu salah, bahkan orang lain yang berbeda dengan pikirannya juga salah, guru-guru yang mendidik dengan lembut juga salah, dianggap tidak tegas. Aku menyebut orang tua jenis ini dengan orang tua sombong”

 Itu kutipan diskusiku dengan temanku. Aku merasa perlu menggarisbawahi, bahwa tegas tidak sama dengan beringas, kejam dan kasar. Tegas dapat ditampilkan dengan penuh kelembutan, kecerdasan, kewibawaan dan ketenangan. Aku mengalaminya sendiri. Aku berterima kasih pada orangtuaku yang ketika aku melanggar aturan atau etika, bisa memberiku teguran, ultimatum, atau hukuman dengan sangat tenang dan lembut, dan dengan itu aku benar-benar dihinggapi penyesalan dan keinginan memperbaiki, bertambah hormat dan tidak menyimpan dendam.

 




 

Pengunjung Blog