SBY ITU NEGARAWAN ; LEBIH DARI SEKEDAR POLITISI

Membaca berita tentang proses dan hasil perhitungan cepat Pemilu di beberapa media, saya sungguh sangat bersyukur bahwa Pemilu berjalan aman, relatif tertib meskipun ada beberapa insiden teknis, dan mudah-mudahan jujur .  Salah satu hal yang menarik pasca Pemilu bagi saya adalah membaca komentar para petinggi partai terhadap perolehan suara partainya. Dan di antara semua komentar itu, saya paling suka pada pernyataan Pak SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat. Menurut saya, beliau menampilkan sikap yang sangat terpuji dalam menerima “kekalahan” partainya. Berterima kasih pada para pemilih, legowo mengakui peminat partainya turun, menyadari kekurangannya, tidak menyalahkan siapa-siapa dan dengan rendah hati mengucapkan selamat pada PDIP, Golkar dan Gerindra yang sementara menempati posisi tiga besar menggeser partainya yang perolehan suaranya turun lebih dari 100% dibanding Pemilu 2009.
Sikap tersebut sungguh sangat berbeda dengan pernyataan beberapa petinggi partai yang dengan segala apologinya belum mau mengakui kenyataan menurunnya pamor partainya. Saya bahkan tertawa, ketika membaca instruksi petinggi sebuah partai yang menyerukan kader-kadernya untuk tidak menonton TV karena perhitungan cepat disetting untuk menurunkan mental mereka, merupakan rekayasa jahat kelompok-kelompok tertentu, sedangkan menurut perhitungan mereka partainya memperoleh suara 2 x lipat quick count di TV-TV dan akan menjadi tiga besar. Bahkan, ada seruan untuk tetap waspada terhadap musuh, jika sampai lengah musuh-musuh itu akan terus melemahkan mereka. Saya mengelus dada, prihatin…  setidakdewasa itu cara para “pemimpin” ini menerima kenyataan, selalu merasa dimusuhi dan memusuhi orang di luar kelompoknya.   
Susilo Bambang Yudhoyono
Ada rasa hangat di hati saya saat menyimak pernyataan Bapak SBY. Meskipun saya tidak memilih partainya, tapi saya berbahagia di negeri ada beliau. Saya menilai, beliau betul-betul orang yang memiliki jiwa demokratis. Sebagai pejabat eksekutif tertinggi, kalau mau beliau dapat mengerahkan seluruh jajaran birokrasi dan keluarganya untuk memenangkan partainya. Pada masa lalu, cara ini pernah dipakai oleh presiden yang berkuasa. Dengan ancaman tertentu, seluruh aparatur negara takluk di bawah komandonya dan hasilnya, selama berpuluh-puluh tahun golongannya (waktu itu belum dinamai partai) selalu menang mutlak dan mengukuhkan kekuasaannya sebagai seorang tirani dan dikatator.
Bapak SBY juga seorang petinggi militer. Jika mau, beliau dapat mengintruksikan seluruh anggota militer untuk mengamankan kekuasaannya. Cara ini pula yang dipakai oleh presiden terdahulu yang berpangkat jenderal untuk mengebiri semua orang yang dianggap mengganggu kekuasaannya. Maka, pada saat itu, berani mengkritik atau menentang keputusan pemerintah sama artinya dengan setor nyawa. Tapi Pak SBY tidak melakukannya. Beliau lebih memilih menjadi bulan-bulanan media dan masyarakat yang tidak menyukainya, daripada menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Pun ketika pejabat-pejabat partainya disangka korupsi, beliau sama sekali tidak berkomentar yang bersifat membela, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK. Sangat menyejukkan. Ini sungguh berbeda dengan komentar pejabat partai lain yang menuding KPK berkonspirasi dengan kekuatan zionis ketika petinggi partainya tertangkap KPK. Dan setelah itu mereka bersyahwat membubarkan KPK.
Saya rasa, ketika beliau tidak berkuasa lagi nanti, saya akan rindu figurnya, figur seorang negarawan, yang menempatkan kepentingan negara diatas segala-galanya, bukan sekedar politisi partai. Saya berterima kasih atas keteladanan beliau.

OSPEK, ANTARA KEPATUHAN DAN PEMBANGKANGAN

Sejak jam 7 pagi tadi, aku melihat dan berpapasan dengan ribuan pemuda dan pemudi bertopi caping, berseragam hitam putih dan berkalung tali rafia. Mereka tampak berlarian, lalu membentuk barisan rapi mengikuti suara siap grak.. hadap kanan grak… hadap kiri grak…. Tentu mereka bukan petani, karena petani tak perlu baris berbaris ala militer ketika mau mengolah tanahnya. Petani juga tidak mungkin pakai dasi dan seragam hitam putih. Mereka adalah calon mahasiswa kampus tertua dan konon terbesar di negeri ini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka tampak patuh dan taat digiring kesana kemari mengikuti komando dari orang yang memanggul megaphon sambil meneriakkan orasi yang aku tidak jelas mendengarnya. 
Ini pemandangan hari pertama, ketika asesoris yang harus dikenakan belum sebanyak hari-hari berikutnya. Aku tahu karena di sekitar kampus banyak terlihat penjual-penjual asesoris yang mungkin akan diserbu untuk hari-hari selanjutnya.

Mungkin besok akan ada kalung dari tali sepatu dan kertas karton di didada bergambar tokoh-tokoh tertentu, mungkin juga akan ada tugas membawa makanan, minuman atau hasta karya tertentu yang tidak mudah dicari atau dibuat. Dan tiap sore, sepulang dari kampus, para peserta yang sudah lelah jiwa raga itu akan dibuat kalang kabut membuat tugas untuk hari esok. Setahuku, di banyak kampus orientasi yang menekankan kepatuhan peserta pada panitia masih banyak dianut, tentu saja disertai ancaman sanksi bagi yang berani melanggarnya.
Begitulah cara anak-anak muda mengisi kemerdekaan. Soal makna dan tafsirnya, tentu saja bebas bagi siapa saja untuk membuatnya. Peserta mungkin akan menafsiri ospek merupakan penindasan dan penyiksaan, panitia boleh saja mengatakan ini pembelajaran bagi calon mahasiswa agar kritis dan berani melawan rezim penindas. Para orang tua (seperti abahku dulu waktu adikku ospek) boleh memaknai ospek sebagai kesempatan untuk mempersulit dan merepotkan orang tua dengan mencarikan bahan-bahan tugas. Tidak mustahil juga senior akan mengartikan ospek sebagai ajang berburu mangsa baru.
Bagaimana denganku? Bagiku, ospek adalah ajang narsis. Saatnya mengenalkan diri pada dunia bahwa aku calon mahasiswa yang bisa diperhitungkan. Diperhitungkan itu artinya layak dimasukkan dalam daftar mahasiswa baru yang pantas diajak kenalan, diperbincangkan dan dinominasikan sebagai kader yang akan diajak banyak kegiatan kampus. Kedengarannya lebay ya? Judulnya saja narsis… dan bagiku sangat absah narsis untuk memulai karir yang lebih tinggi. Mungkin aku agak beruntung, karena mengalami ospek pada tahun 1999, ketika isu demiliterisasi sedang sangat kuat sehingga ospek-ku tidak banyak berbau militer, tidak ada tugas membawa atribut aneh yang membuat malu di jalan.
Ilustrasi By Google
Acara ospekku jaman dulu lebih banyak dialog dan diskusi di ruangan, dan di situlah aku menampilkan diri sebagai calon mahasiswa yang hobi berkomentar atas topik yang dibicarakan. Maka, setelah ospek selesai, oleh sebagian senior aku disebut peserta yang vokal, walaupun oleh sebagian yang lain disebut peserta yang susah diatur, bawel dan menyebalkan. Alhamdulilah… kebawelan itu kemudian mendapat saluran yang benar, sehingga aku menemukan dunia yang sangat cocok dengan seleraku, yaitu dunia aktivis jalanan yang menuntut pandai berorasi, berdiplomasi, dan berpendapat dan dunia keilmuan yang menuntut pandai berargumentasi.
Ayo para panitia ospek… lakukanlah kebijakan yang menurut kalian ada gunanya buat para peserta… siapkan justifikasinya.
Ayo para peserta, lakukanlah ketaatan seperlunya, jika ada kebijakan yang menurut kalian sia-sia, jangan ragu-ragu melawan dan membangkang… jangan lupa siapkan dalil pembenaran
Para orang tua dan wali, jika mendapati tugas-tugas yang tak membawa kebaikan, jangan mau direpotkan, biarkan anak-anak kita belajar membangkang pada ketidakberesan..

Selamat ber-ospek, untuk seluruh mahasiswa baru di Indonesia

KEMULIAAN KELUARGA ALLAH


Ada ratusan ribu orang kaya di negeri ini yang antri bertahun-tahun untuk berangkat menunaikan ibadah haji. Di Cilacap, kalau daftar haji regular tahun ini maka harus menunggu lebih dari sepuh tahun hingga tiba saatnya berangkat. Kalau tidak salah, di Jawa Timur daftar antriannya lebih dari lima belas tahun. 


Tetapi, kuasa Allah sangat mungkin menjadikan orang yang tidak termasuk kaya melampaui ratusan ribu antrian itu. Aku baru saja menyaksikannya. Seorang supir angkot di Nusa Tenggara Barat dan istrinya yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga serta anaknya yang belum genap 10 tahun mendapat limpahan keajaiban itu. Mereka mendapat undangan khusus dari raja Arab Saudi yang disampaikan melalui duta besarnya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima tahun ini. Ya, tahun ini. Tanpa mendaftar. Tanpa menyetorkan uang terlebih dahulu. Tanpa bersusah payah memakai dana talangan dari perbankan. Bahkan juga mendapat bonus 3 paket umrah dan uang Rp. 50 juta rupiah.

Subhanallah. 
Itulah anugrah indah yang diterima Fuadi, juara 3 Hafiz Indonesia di RCTI. Tentu saja juara 1 dan 2 yang diraih oleh Musa dan Ahza tak kalah mengejutkannya. Demikianlah, cara Allah mencintai keluarganya. Ya,sebagaimana diriwayatkan oleh Anas RA, Rasulullah pernah bersabda : Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri dari manusia.” Kemudian Anas berkata lagi, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Baginda manjawab, “yaitu ahli quran (orang yang membaca atau menghapal quran dan mengamalkannya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.” (HR. Ahmad)

Itulah salah satu anugrah mulia lantaran memuliakan Al Quran dengan cara menghafalnya. 

Itulah kejutan, rizki tak terduga yang mungkin tidak pernah diniatkan sejak awal menghafal. Aku yakin mereka memimpikan akan sampai ke tanah suci, tapi mungkin tidak menduga kalau kesempatan itu datang melalui prestasi anaknya. 

Jika Allah yang memanggil, mana ada yang mustahil?
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang akan diberi kemuliaan di dunia dan akhirat karena istiqomah membaca, mempelajari dan mengamalkan Al Quran. Bukan hanya ketika Ramadhan, melanikan sepanjang tahun, siang maupun malam.

MAAF SAPU JAGAT


Gegap gempita takbir telah berhenti. Akan tetapi Idul Fitri, khususnya di Indonesia, belum usai. Masih banyak pintu rumah yang terbuka tanpa harus diketuk, masih banyak sajian hidangan di meja tamu tanpa sebelumnya ada yang memberi tahu akan bertamu. Di jalanan, masih banyak orang berlalu lalang dengan busana terbaru dan terbaik, bersama keluarga. Dan tentu saja, masih sangat banyak tangan yang saling menjabat, badan yang saling membungkuk penuh rendah hati, lisan yang berikrar saling memaafkan, menanyakan kabar dan berbincang-bincang penuh kehangatan. Indahnya Idul Fitri… di negeri kita.


Di lebaran tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku juga mengunjungi dan dikunjungi. Yang mengunjungi kebanyakan adalah tetangga, kerabat yang lebih muda, sedang yang dikunjungi adalah kerabat yang lebih tua secara garis nasab, para guru dan sesepuh. Di era digital yang serba mudah untuk berkomunikasi jarak jauh, masih pentingkah bertemu fisik? Bukankah sambil tiduran di kamar saja kita bisa berkirm kabar dan kata maaf? Bahkan bisa ngobrol sambil lihat gambar saudara kita? Memang… tapi pertemuan fisik buatku tetap punya makna istimewa sendiri.
Ilustrasi By Google

Dengan bertemu langsung, kita bisa bersalaman, berpeluk cium, bertukar senyum, betul-betul melihat bahwa teman, kerabat atau tetangga kita sehat atau sakit, bisa tahu kabar terbaru sekolah di mana, kerja di mana, bisa tahu juga penambahan anggota keluarga baru, bisa tahu di mana rumahnya. Tanpa bertemu langsung, kerabat atau tetangga hanyalah sekedar nama, karena fungsinya hilang ditelan kesibukan masing-masing lalu menjadi terasing satu sama lain. Bukankah manusia paling menderita adalah manusia yang merasa asing dengan orang-orang di sekitarnya..?

Lalu, bagaimana dengan saling memaafkan? Apakah kalau tidak ada lebaran lantas tidak saling memaafkan? Tentu saja tidak. Menurutku, saling memaafkan di saat lebaran adalah permintaan maaf global, semacam sapu jagat, minta maaf yang tidak ada rincian kesalahannya, dan fungsinya untuk menyapu bersih sisa-sisa kekhilafan dan kekurangan yang pernah dibuat, yang mungkin kurang disadari saat melakukannya. Adapun kesalahan yang sangat kasat mata, mestinya kita sudah saling memaafkan sesaat setelah menyadari kesalahan itu. Tapi tidak ada salahnya juga, kita yang masih menyimpan amarah, luka atau kecewa pada orang lain dan kemarin-kemarin masih menahan diri dari maaf dengan penuh pertimbangan hari ini mengikrarkan untuk memberi maaf. Bukankah tidak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan?

Sahabatku semua, terima kasih atas persahabatan kita selama ini, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Terima kasih yang telah terlebih dahulu mengulurkan tangan, baik lewat SMS, inbox, status, like atau komentar. Aku sungguh berbahagia mendapat perhatian itu. Dengan setulus hati, aku menyatakan memberi maaf. Dan kepada semua teman, aku mengucapkan selamat bernahagia, maafkanlah aku, sekiranya perilaku dan tulisanku kurang membuat hati berkenan, termasuk juga prasangkaku pada teman-teman semua. Insyaallah, aku tidak pernah sengaja menyakiti, tetapi mungkin tetap ada yang tersakiti. Aku tidak pernah sengaja menjauh, tetapi mungkin ada yang merasa jadi jauh atau terjauhi. Aku tidak pernah sengaja menyombongkan diri, tapi mungkin saja terkesan sombong. Aku tidak pernah sengaja sadis, sinis, keras, tapi mungkin saja ada yang menerima perilaku dan tulisanku sebagai bentuk kesadisan. 

Maafkanlah… maafkanlah…. Maafkanlah…
Lahir dan batin

RENDAH HATI KAPAN SAJA


Kemarin sore, ketika berdiri parkiran sebuah toko aku melihat seseorang lewat mengendarai sepeda motor. Ia memandang ke arah kami, membungkukkan kepala sambil tersenyum ramah. Tentu saja kami membalas sapaan itu dengan ramah pula. Tetapi, kemudian ada celetukan dari juru parkirnya, “Sekarang sudah bangkrut mau menyapa 
kita-kita, dulu ya boro-boro, nggak level”. Seseorang yang lain menyahut, 
“Mending kalo cuma nggak menyapa, tetangga-tetangganya yang miskin kenyang dihina, aku mau mengantarkan punjungan (hantaran nasi menjelang hajatan) saja nggak disuruh masuk, cuma ditemui di pintu biar cepat pulang”.

“Sekarang baru tahu rasanya miskin. Rumah sudah dalam genggaman bank, sawah, tanah, mobil sudah melayang. Korban investasi”
Rendah hati seperti padi

Jika orang itu mendengar, tentu ia tidak suka diobrolkan semacam ini. Sudah bangkrut, (seolah-olah) disoraki pula. Tapi, obrolan itu memberiku pelajaran penting. Jangan menunggu miskin untuk menjadi pribadi yang rendah hati. Lebih baik bersikap rendah hati kapan saja, apakah ketika berlimpah harta, sekedar berkecukupan atau sedang diuji dengan kekurangan. Kita tidak pernah benar-benar memiliki harta itu. Terlalu mudah bagi Sang Pemilik Sejati untuk mengambilnya, kapan saja Dia mau. Menjadi korban investasi tipu-tipu sebagaimana marak di kampungku hanyalah salah satu cara di mana Dia tunjukkan kekuasaan-Nya. Entah berapa ratus milyar uang mengalir bagai banjir bandang ketika itu, dan tak diketahui ke mana arahnya.

Aku yakin, orang kaya yang rendah hati akan didoakan oleh lebih banyak orang daripada orang kaya yang sombong. Ia memberikan senyum yang sama tulusnya kepada setiap tamunya, apakah tamu itu sama-sama kaya atau miskin papa, apakah tamunya itu berpangkat atau sekedar rakyat jelata, apakah tamunya itu keturunan ningrat atau tak diketahui nasabnya, apakah tamunya itu terpelajar atau tak pernah sekolah. Senyumnya sama, minuman yang disajikan sama, makanan yang dihidangkan sama, keramahan yang ditampilkan sama. Membuat setiap orang yang mengunjunginya merasa berharga, merasa dianggap penting, dan otomatis senang mendoakannya agar semakin sukses.

Bandingkan dengan orang kaya yang sombong, apalagi miskin dan sombong.

KETIKA IBU DIBAHAGIAKAN ANAKNYA


Tengah malam tadi, seorang remaja mengeluhkan perilaku orang tuanya. Ia kecewa dan sakit hati yang teramat sangat karena orang tuanya membuat keputusan yang tidak sesuai harapannya. Karena keputusan itu, sekarang ia hanya tinggal bersama ibunya tetapi dalam situasi seolah-olah bermusuhan.

Aku menasehati, “Tetaplah doakan kedua orang tua, tetaplah bersikap yang sebaik-baiknya, jangan sekalipun berkata kasar, jangan membentak apalagi melakukan tindakan yang menyakitkan badannya”

Tapi Ibuku suka berkata kasar kalau marah, kata-katanya menyakitkan. 
Apa aku harus diam saja? Harus sesabar apa lagi?”

“Jangan dibalas. Diam lebih baik daripada membalas. Berkata kasar apalagi menyakiti badannya tidak akan membuat kita tampak mulia. Tidak juga akan membut keadaan lebih baik. Mengalah dan berdoa lebih bermanfaat sambil berdialog, membiasakan ngobrol, jangan saling mendiamkan. Aku kenal dengan beberapa orang yang di masa mudanya sering membentak ibunya, menendang bahkan meludahinya, sekarang hidupnya dirundung musibah tiada henti. Jangan sampai hidup kita tidak berkah karena menyakiti hati ibu”
Ilustrasi By Google

“Aku ingin Ibu berubah menjadi lebih perhatian dan lemah lembut”

Jika menginginkan orang lain berubah menjadi baik pada kita, ubahlah dulu sikap kita menjadi lebih baik padanya. Jika sudah saling berubah, insyaallah rumah akan terasa seperti surga. Jangan mendiamkan, mengabaikan dan tidak bertegur sapa, apalagi kalian tinggal serumah. Banyak anak yang tidak punya Ibu dan hanya bisa memimpikan bertemu ibunya, sedangkan kamu tiap hari diberi kesempatan bertemu. Menyia-nyiakan kesempatan untuk merajut harmoni bersama Ibu kelak dapat mendatangkan penyesalan terdalam sepanjang hayat. 

"Bagaimana memulainya?"

Besok pagi, ajaklah Ibu shalat berjamaah subuh. Setelah itu tawarkan, Ibu mau dibuatkan teh atau susu, lalu ajak ngobrol sambil minum. Jangan lupa ketika mau berangkat sekolah, pamit dan cium tangan Ibu. Insyaallah Ibu akan tambah sayang dan tidak pernah kasar lagi. 
Jika Ibu tampak kelelahan setelah bekerja, pijatlah kakinya sambil menceritakan pengalamanmu seharian dan bertanya pengalaman ibu hari itu. 

Jangan membenci Ibu karena sibuk bekerja, tapi bersyukurlah punya Ibu yang bertanggungjawab. Banyak orang tua yang menelantarkan anaknya setelah bercerai, tapi ibumu giat mencari nafkah, membiayai sekolahmu, membuatkan rumah tinggal yang layak, memberimu pakaian yang layak, mengambil tanggung jawab melebihi kewajibannya. Ayo hargai perjuangan Ibu dengan tidak lupa mempersembahkan senyum termanismu, setiap hari. Insyaallah, Allah akan memberimu hadiah yang jauh lebih dari yang kamu harapkan. 

Tadi pagi aku SMS ibunya, menanyakan kabar anaknya. Katanya, "Alhamdulilah... pagi ini dia manis sekali. Mau berangkat sekolah pamit dulu. Aku terharu dan bahagia sekali"

Aku juga terharu dan bahagia mendengarnya.

Aku percaya bahwa kebahagiaan adalah anugrah yang mudah sekali menular. Ibu yang berbahagia, akan selalu berusaha membahagiakan anaknya.

KENANG-KENANGAN YANG BERPINDAH TANGAN


Aku menemukan beberapa bungkusan bersampul kertas kado di antara sekian banyak buku yang dibawa suami dari kampus dalam rangka membereskan kantornya. Setelah aku buka, ada satu yang berisi baju koko, selebihnya kain-kain yang belum dijahit. Kata dia, “Kenang-kenangan dari mahasiswa yang sudah lulus, sudah lama di meja tapi lupa mau bawa pulang. Buku-buku ini juga hadiah semua”. Aku tertarik memiliki kain-kain itu, dan ia langsung mengiyakan ketika aku memintanya. Sedangkan baju kokonya tampak lebih kecil dari badannya. Dia meminta pendapatku, “Boleh aku memberikan pada dia?” sambil menunjuk ke seorang tetangga yang biasa menyapukan halaman rumah. Aku setuju.

“Alhamdulilah…” sambutnya riang gembira. Aku jadi ikut gembira melihat sambutannya. 

Pemberian orang kok diberikan pada orang lain lagi? Apakah itu namanya tidak menghargai? Mungkin ada yang bertanya begitu. Dulu aku juga berpikir begitu, bahwa pemberian atau kenang-kenangan dari seseorang harus dijaga sebaik mungkin, jangan sampai berpindah tangan. Selain untuk mengingat dan mengenang orang yang memberikan, juga untuk menjaga perasaannya agar tidak merasa pemberiannya disia-siakan. Tapi, dampak dari pemikiran itu, lemariku jadi seperti museum barang-barang antik. Banyak baju yang tidak pas lagi dengan badanku tetap bertumpuk tanpa pernah kupakai lagi. Begitu juga dengan barang-barang lain, seperti tas, jam, sepatu dan jilbab. Aku sampai kewalahan mengatur letak barang-barang itu, membersihkannya dari jamur dan debu serta menjaganya agar tidak rusak.

Setelah tak lagi punya banyak waktu, aku berubah pikiran. Tidak ada salahnya memberikan barang-barang pemberian orang lain kepada orang lain lagi dengan pertimbangan kemanfaatan yang lebih besar. Bisa jadi, suatu barang nilainya akan lebih besar ketika dipakai oleh orang lain. Tahun kemarin aku diberi oleh-oleh baju bagus dari teman yang pulang dari luar negeri, tapi ukurannya terlalu besar. Setelah dikecilkan, ternyata bentuknya jadi aneh di badanku. 

Setelah tergantung selama 4 bulan dan hanya dipakai satu kali, akhirnya aku bungkus kertas kado, dan kuhadiahkan pada seorang gadis anak tetanggaku menjelang lebaran. Aku terharu sekali ketika hari lebaran baju itu dipakai untuk bersilaturahim keliling lingkungan. Beberapa saat kemudian aku memberitahukan teman yang memberi, meminta maaf dan menceritakan asal muasal mengapa aku tak memakai pemberiannya. Alhamdulilah ia tidak keberatan, katanya, “Nggak papa, yang penting bermanfaat”.

Begitu juga ketika aku dalam posisi sebagai pemberi hadiah. Tidak perlu berkecil hati jika tak pernah melihat pemberian kita dipakai oleh si penerima. Bukankah pemberian itu bertujuan untuk membahagiakan penerimanya? Bila menyedekahkan lebih membahagiakan daripada menyimpannya, maka tidak perlu mempersoalkan mengapa ia tak memakai pemberian kita. Aku yakin, ketulusan kita memberi tidak akan dihapus dari catatan amal baik hanya karena pemberian kita berpindah tangan lagi.

Pengunjung Blog