Membaca berita tentang proses dan hasil perhitungan cepat Pemilu di beberapa media, saya sungguh sangat bersyukur bahwa Pemilu berjalan aman, relatif tertib meskipun ada beberapa insiden teknis, dan mudah-mudahan jujur . Salah satu hal yang menarik pasca Pemilu bagi saya adalah membaca komentar para petinggi partai terhadap perolehan suara partainya. Dan di antara semua komentar itu, saya paling suka pada pernyataan Pak SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat. Menurut saya, beliau menampilkan sikap yang sangat terpuji dalam menerima “kekalahan” partainya. Berterima kasih pada para pemilih, legowo mengakui peminat partainya turun, menyadari kekurangannya, tidak menyalahkan siapa-siapa dan dengan rendah hati mengucapkan selamat pada PDIP, Golkar dan Gerindra yang sementara menempati posisi tiga besar menggeser partainya yang perolehan suaranya turun lebih dari 100% dibanding Pemilu 2009.
Sikap tersebut sungguh sangat berbeda dengan pernyataan beberapa petinggi partai yang dengan segala apologinya belum mau mengakui kenyataan menurunnya pamor partainya. Saya bahkan tertawa, ketika membaca instruksi petinggi sebuah partai yang menyerukan kader-kadernya untuk tidak menonton TV karena perhitungan cepat disetting untuk menurunkan mental mereka, merupakan rekayasa jahat kelompok-kelompok tertentu, sedangkan menurut perhitungan mereka partainya memperoleh suara 2 x lipat quick count di TV-TV dan akan menjadi tiga besar. Bahkan, ada seruan untuk tetap waspada terhadap musuh, jika sampai lengah musuh-musuh itu akan terus melemahkan mereka. Saya mengelus dada, prihatin… setidakdewasa itu cara para “pemimpin” ini menerima kenyataan, selalu merasa dimusuhi dan memusuhi orang di luar kelompoknya.
Susilo Bambang Yudhoyono |
Ada rasa hangat di hati saya saat menyimak pernyataan Bapak SBY. Meskipun saya tidak memilih partainya, tapi saya berbahagia di negeri ada beliau. Saya menilai, beliau betul-betul orang yang memiliki jiwa demokratis. Sebagai pejabat eksekutif tertinggi, kalau mau beliau dapat mengerahkan seluruh jajaran birokrasi dan keluarganya untuk memenangkan partainya. Pada masa lalu, cara ini pernah dipakai oleh presiden yang berkuasa. Dengan ancaman tertentu, seluruh aparatur negara takluk di bawah komandonya dan hasilnya, selama berpuluh-puluh tahun golongannya (waktu itu belum dinamai partai) selalu menang mutlak dan mengukuhkan kekuasaannya sebagai seorang tirani dan dikatator.
Bapak SBY juga seorang petinggi militer. Jika mau, beliau dapat mengintruksikan seluruh anggota militer untuk mengamankan kekuasaannya. Cara ini pula yang dipakai oleh presiden terdahulu yang berpangkat jenderal untuk mengebiri semua orang yang dianggap mengganggu kekuasaannya. Maka, pada saat itu, berani mengkritik atau menentang keputusan pemerintah sama artinya dengan setor nyawa. Tapi Pak SBY tidak melakukannya. Beliau lebih memilih menjadi bulan-bulanan media dan masyarakat yang tidak menyukainya, daripada menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Pun ketika pejabat-pejabat partainya disangka korupsi, beliau sama sekali tidak berkomentar yang bersifat membela, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK. Sangat menyejukkan. Ini sungguh berbeda dengan komentar pejabat partai lain yang menuding KPK berkonspirasi dengan kekuatan zionis ketika petinggi partainya tertangkap KPK. Dan setelah itu mereka bersyahwat membubarkan KPK.
Saya rasa, ketika beliau tidak berkuasa lagi nanti, saya akan rindu figurnya, figur seorang negarawan, yang menempatkan kepentingan negara diatas segala-galanya, bukan sekedar politisi partai. Saya berterima kasih atas keteladanan beliau.