Beberapa hari yang lalu, seorang teman yang anaknya baru dinyatakan lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur non ujian (jalur penilaian raport) mengunjungi aku. Ia ingin aku menjelaskan tentang jenis-jenis biaya kuliah, kata anaknya untuk her registrasi ia harus bayar Uang Kuliah Tunggal 1.700.000, OSPEK 250.000 dan jas almamater 200.000. Temanku yang tidak pernah kuliah ini bingung dengan istilah-istilah itu.
Sebelum menjawab pertanyaannya, aku tanya beberapa mahasiswaku, apa benar kalau sudah bayar UKT masih harus bayar OSPEK dan jas alamamter lagi, bukannya UKT itu sudah mencakup semua biaya kuliah, namanya juga uang kuliah tunggal, kok masih ada biaya lain.
Jawaban 5 mahasiswaku sama: Di kampus kita tidak bayar Bu, semua gratis. Ospek gratis, jas gratis, dapat majalah kampus pula, malah kalau lulus seleksi ma’had (asrama) juga bisa tinggal gratis selama satu tahun. Semua sudah dicover UKT.
Nah, mestinya begini…. Tidak ada biaya lain selain UKT. Kampusku, IAIN Tulungagung memang keren, tidak ada pungutan liar.
Segera setelah itu, aku telpon ke kampus anak temanku itu. Kepada resepsionis aku bertanya tentang biaya masuk kuliah.
Ternyata benar, mereka memang menarik uang 450.000 dari mahasiswa baru, di luar UKT. Aku penasaran, lalu menelpon salah satu dosennya yang kebetulan pernah bertemu denganku di beberapa acara. Setelah ngobrol, aku baru tahu, rupanya, temanku itu bukan pejabat kampus, hanya dosen biasa, jadi tidak tahu asal mula lahirnya kebijakan menarik uang di luar UKT.
“Kalau aku amati sih itu permainan orang-orang tertentu saja yang memanfaatkan ketidaktahuan mahasiswa baru dan orang tuanya. Uang OSPEK itu nanti dikelola elit mahasiswa, untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dibiayai negara, misalnya transpot pengurus menghadiri acara di luar kampus, kalau jas almamater itu pesan ke orang dekatnya pejabat, agak mahal memang, istilahnya aji mumpung, mumpung jadi teman dekatnya pejabat. Wali mahasiswa biasanya tidak komplain, manut saja suruh bayar apa”
Aku tertegun. Ada bau mafia di cerita itu. Kata temanku yang pakar mafia peradilan, mafia itu seperti kentut, ada baunya tapi tidak jelas wujudnya. Tapi aku tidak berani buru-buru menyimpulkan, wong pemberi informasinya juga orang yang tidak tahu persis proses pengambilan keputusannya. Hanya saja, jika informasinya itu benar, maka ada pelanggaran terhadap peraturan menteri tentang UKT.
Juga, jika benar, sayang sekali, mahasiswa kok belajar jadi mafia. Bagaimana kalau sudah lulus nanti mau jadi pemimpin yang bersih kalau pengalaman masa mudanya justru bermain kong kalikong dengan pejabat, membebani kaumnya sendiri dengan menarik biaya illegal, itu kan melawan logika umum bahwa mahasiswa adalah corong suara kebenaran.
Entahlah, sama-sama dosen biasa, agak sulit menangkap logika kebijakan yang tidak umum semacam ini.
“Bagaimana kalau itu bagian dari kreatifitas mahasiswa?”, tanya temanku.
“Beda donk kreatifitas dengan pembodohan dan pemalakan. Kalau mau kreatif, jualan ya bilang saja jualan dengan terus terang, tidak menyusup diam-diam seolah-olah itu bagian dari kewajiban administrasi kampus. Contoh, ketika kampus menyediakan jas tapi kualitasnya biasa saja dari uang UKT, si pengusaha itu bisa jual jas tandingan yang bagus, yang sesuai dengan selera kekinian, kalau memang produknya keren nggak pakai diperintah mahasiswa yang punya uang pasti mau beli, beli atas kerelaannya sendiri. Kalau pakai penyusupan, itu namanya modus. Bisnis tapi tidak terus terang, tidak berdasarkan asas kesepakatan, suka sama suka, jelas melanggar prinsip ekonomi syariah. Percuma di kampusmu ada jurusan Ekonomi syariah, tapi ilmunya nggak dipakai”
Belum selesai obrolan kami, belum ada kesimpulannya, tiba-tiba di sekitarku terdengar kegaduhan, maka kumatikan telponku.
Kualihkan perhatianku pada mereka.
“Nggak bisa donk ada biaya lain, kita kan sudah bayar UKT. Uang Kuliah Tunggal. Tunggal itu artinya tidak ada yang lain lagi. Baca peraturan mentri”
“Aku tidak mau bayar jas lagi, kita sudah punya jas alamamter, buat apa ada jas lagi. Tidak substansial. Kita kan bukan mau fashion show, tapi mau pengabdian kepada masyarakat, harusnya kita bicara tentang rencana mau apa di sana, bukan mau pakai baju apa”
“Aku menolak membayar. Ini pungutan liar, tidak ada dasar hukumnya. Penjelasan lisan nggak bisa diterima, alasan apapun kalau illegal aku nggak mau bayar”
“Ini namanya gratifikasi, saudara kembarnya korupsi. Kenapa mahasiswa belajar jadi koruptor, harusnya kita anti korupsi. Ini harus kita lawan. Lawan”
Aduh, ada apa ini…..?
Aku amati, siapa mereka. Dari wajah-wajahnya yang tidak lagi imut, jelas mereka bukan mahasiswa baru seperti anak temanku. Mereka lebih mirip mahasiswa yang hampir lulus. Aku membatin, pantas kalau sudah pandai berargumentasi untuk menolak membayar sesuatu yang menurut mereka tidak perlu dibayar. Artinya, pembelajaran nalar kritis itu sukses. Bahagia aku kalau lihat anak muda nalar kritisnya jalan. Sebaliknya, kasihan sekali jika sampai mau lulus nalarnya mirip anak kecil, selalu membebek apa kata orang lain, sekalipun haknya terlanggar.
Melihat nyala semangat mereka yang lantang bersuara kritis, aku jadi ingat kata seniorku dulu di organisasi pergerakan.
“Mahasiswa yang tidak berani bersuara kritis, ibarat harimau tidak punya taring. Tidak ada bedanya dengan kambing berjiwa bebek”