ANTARA PASAR, LANTAI DAN DAPUR


Pagi tadi aku pergi ke pasar berdua. Agar cepat selesai, di beberapa tempat kami berpisah berbagi tugas. Tidak menyangka, beberapa pedagang yang kukenal berkomentar begini:

“Mba, kok tumben pasar, biasanya masnya…”

“Monggo Mba udangnya, kok nggak sama suaminya, biasanya dia belanja di sini”

“Jamurnya Mba… bapak sering cari loh”

Aku tertawa dalam hati. Suamiku tercinta rupanya cukup popular di pasar, terutama di kalangan ibu-ibu pedagang. Yang menarik, ketika sudah hampir pulang kami bersama melewati para pedagang ayam, satu di antara mereka menawari, “Mari… ada ayam kampung Pak”, sedangkan yang tidak jual ayam kampung tidak menawari, hanya tersenyum menyapa. Wah… mereka bahkan sangat hafal apa yang biasa dibeli dan apa yang tidak pernah. Kebetulan aku memang ingin beli ayam kampung, tapi tidak bawa uang sedikitpun. Ketika minta padanya, dia bilang nanti saja balik lagi, uangnya sudah habis.

Tiba-tiba, penjualnya berkata: “Nggak papa bawa aja, uangnya bisa kapan-kapan”, lalu sekilo ayam kampung diberikan padaku. Aku tersenyum senang, kecipratan berkahnya orang yang sering ke pasar, berkah dipercaya. Tentang kesediaannya belanja ke pasar, pernah disangka orang sebagai keterpaksaan karena aku tidak di rumah. Padahal tidak, karena walaupun aku di rumah ia juga tetap sering ke pasar. Tidak jarang, sepulang dari pasar ia cerita, katanya tadi ditanya sesama pengunjung, mengapa belanja sendiri, istrinya kemana. Katanya, orang yang bertanya sering tampak bingung ketika dijawab, “Istri saya ada di rumah, sedang baca buku”, atau, “Di rumah kok, sedang menulis”.
Suatu hari, ia pulang dari pasar dan di rumah sudah ada dua mahasiswi yang sudah menunggu untuk bimbingan skripsi. Melihat dia pulang dengan dua tangannya membawa tas berisi sayuran, buah-buahan dan bumbu, mereka menyambut setengah berteriak, “Ya Alloh… Bapak belanja sendiri… Kok bukan Ibu yang berangkat?”

 “Tidak apa-apa donk, memangnya tidak boleh?”

“Aneh Pak… belanja dapur kan urusan perempuan. Masa Bapak tidak malu”

“Kenapa harus malu, kalau ini disebut pekerjaan perempuan berarti saya bantu istri donk, bantu istri kan perbuatan yang baik. Tapi saya tidak menyebutnya pekerjaan perempuan, ini kebutuhan bersama, bisa dilakukan bergantian, kebetulan sekarang istri saya sibuk baca buku, jadi saya yang berangkat, kalau perlu saya juga yang masak, biar dia belajar dengan baik, bisa mengajar dengan kualitas yang baik. Kalau tidak boleh belajar, apa donk yang mau diajarkan ke mahasiswanya?”

“Waduh Pak… seandainya suami saya begitu.. pasti saya bahagia sekali. Saya pusing bagi waktu antara nulis skripsi, ngerjakan tugas sebagai guru sama pekerjaan rumah, semua saya kerjakan sendiri, belum juga ngurus anak. Suami saya mana mau bantu, walaupun punya waktu ia lebih suka nonton TV atau tidur”

“Apalagi saya Pak, saya kan kepala sekolah, pekerjaan di sekolah menumpuk, bermacam-macam rapat harus diikuti, tapi di rumah ketemu semua pekerjaan. Kata suami, itu resiko jadi wanita karir, tidak boleh dihindari. Kalau suami saya punya pikiran seperti Bapak, saya pasti akan sangat terbantu”

Dari ruang dalam, aku tertawa mendengarnya, curhat nih yee… . Tadi mengatakan aneh, sekarang memberi pujian dan menginginkan. Aku segera keluar, mengantar minuman untuk mereka, sebagai ucapan terima kasih karena “pemihakannya” padaku.

Dialog persis semacam ini juga pernah terjadi saat ada mahasiswa ibu-ibu yang mau minta tanda tangan pengesahan skripsi dan mendapati suamiku sedang mengepel lantai ruang tamu. Lagi-lagi ia “membela”-ku dengan sangat manis. “Saya meyakini bahwa ngepel bukan pekerjaan istri, rujukannya hadis yang diriwayatkan Sahabat Umar. Ngepel bisa dilakukan siapa saja, asal mau”.

“Iya sih Pak, tapi kata suami saya kalau suami memerintahkan istri ngepel ya otomatis jadi kewajiban istri, karena kata agama istri wajib patuh terhadap perintah suaminya”

“Wah… Enak sekali ya kalau begitu. Ibarat presiden mengangkat menteri, seharusnya tugasnya bantu di pemerintahan, tapi malah memerintahkan menterinya untuk nyapu dan ngepel istana, apa tepat?”

“Lalu, yang tepat gimana Pak?”

“Menurut saya dimusyawarahkan, siapa bisa melakukan apa, bukan diperintahkan begitu saja. Kalau istri keberatan, misalnya dia lelah, tidak enak badan, sibuk, atau ada urusan yang lebih penting, suami harus memahami, harus pengertian, tidak boleh memaksakan perintah, apalagi atas nama agama”.
Aku cinta banget dengan pikirannya yang tidak mainstream itu. Suatu saat ia pernah diolok-olok teman karena memasak untuk makan siang, sedangkan aku istirahat di kamar.

“Korban emansipasi wanita, itu resiko punya istri aktivis gender ya… masak sendiri. Makanya aku nggak mau nikah sama mantanku yang aktivis gender, bakal sengsara, ditinggal-tinggal terus, atau disuruh masak, nyuci, ngurus anak, apa gunanya punya istri”

“Jangan salah. Istriku masih sekolah SD, aku sudah ikut training gender tingkat nasional. Justru itu yang membuat aku punya kesadaran untuk memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya. Istri harus dibebaskan dari beban-beban berlebihan. Itu bisa terjadi kalau suami sadar untuk berbagi tanggung jawab. Istri juga harus dibebaskan untuk berkembang sesuai potensinya, sehingga bisa bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya orang, dan itu hanya terjadi kalau suami mendukungnya setulus hati”.

Beribu terima kasih kupersembahkan untuk suamiku… kekasihku… sahabatku…. rekan kerjaku…. Ketulusannya membuat dunia serasa taman bunga yang tak berhenti merona.

0 Response to "ANTARA PASAR, LANTAI DAN DAPUR"

Posting Komentar

Pengunjung Blog