PLURALISME HUKUM PERCERAIAN PADA MASYARAKAT SASAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN

PLURALISME HUKUM PERCERAIAN PADA MASYARAKAT SASAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN



Zulfatun Ni’mah[1] dan Nur Fadhilah[2]
Abstrak
Pluralisme hukum perceraian pada masyarakat Sasak terlihat dalam praktik hukum, di mana setiap orang dapat menjadi subjek dari hukum adat Sasak, hukum Islam dan hukum negara. Implikasi pluralisme hukum yang berlaku pada masyarakat Sasak adalah perempuan sangat rentan dan terbukti sering mengalami marjinalisasi hak-hak pascaperceraian. Situasi pluralisme hukum yang relatif tidak menguntungkan disiasati oleh banyak perempuan dengan strategi yang dianggap dapat membantu mendapatkan akses terhadap harta bersama pasacaperceraian. Strategi yang ditemukan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu strategi yang bersifat terang-terangan dan strategi tersembunyi.

Kata kunci:    pluralisme hukum, perempuan Sasak, akses kepada harta bersama,
                        pascaperceraian

  1. PENDAHULUAN
Perkawinan, menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah ikatan luhur yang berdimensi lahir batin  antara laki-laki dan perempuan untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal selama-lamanya[3]. Berkaitan dengan pengertian ini, Undang-Undang Perkawinan menetapkan enam prinsip, yaitu (a) tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, (b) suatu perkawinan baru dinyatakan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing dan tercatat dalam administrasi negara, (c) perkawinan menganut asas monogami, (d) hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan di masyarakat, (e) mempelai harus memenuhi batas minimal usia nikah.asas kesukarelaan dan (f) prinsip mempersulit perceraian.[4]
Asas mempersulit perceraian diberlakukan agar para pihak memiliki komitmen yang kuat untuk sedapat mungkin mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi secara bersama-sama. Apabila usaha tersebut gagal, barulah perceraian terpaksa dapat ditempuh.[5] Asas mempersulit perceraian pada dasarnya berlaku secara nasional karena dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum tentang perceraian yang bersifat nasional, antara lain Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, PP No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, PP No 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Secara normatif, peraturan-peraturan tersebut berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia di seluruh wilayah negara Indonesia.
Akan tetapi, secara sosiologis dijumpai beberapa realitas yang menunjukkan bahwa asas ini belum sepenuhnya efektif. Belum efektifnya penerapan ini antara lain dapat dijumpai di masyarakat Sasak di Pulau Lombok di mana, perceraian dilakukan tanpa keterlibatan pengadilan. Masyarakat, terutama laki-laki dapat menjatuhkan talak secara sepihak, dan dapat terbebas dari kewajiban-kewajiban yang timbul akibat perceraian. Perempuan yang menghendaki bercerai dari suaminya, juga dapat melakukan upaya tertentu agar dapat bercerai tanpa keterlibatan pengadilan. Hal ini dikarenakan, selain hukum negara, pada masyarakat Sasak juga berlaku praktik perceraian yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum adat dan hukum Islam. Artinya, terdapat lebih dari satu sistem hukum yang berlaku pada saat yang sama dan mengatur perbuatan hukum yang sama, namun dengan materi pengaturan yang berbeda. Dalam konsep antropologi hukum, adanya tiga sistem hukum yang berlaku pada waktu, tempat dan ditujukan pada subjek hukum situasi seperti ini disebut dengan pluralisme hukum. Seharusnya, keadaan ini dapat membuat para subjek hukum leluasa menentukan pilihan hukum sesuai dengan kepentingannya. Namun, menurut Irianto, pluralisme hukum justru rentan memarjinalkan kelompok tertentu karena adanya kontestasi antar sistem hukum yang menyasar para subjek hukum. Terkait dengan hal ini, Erica Harper mengatakan bahwa salah satu kelompok yang rentan mengalami marjinalisasi dalam pelaksanaan hukum di luar institusi adalah kaum perempuan. Dalam konteks perceraian, maka istri lebih beresiko mengalami marjinalisasi dibanding suami.
Berlakunya hukum negara yang mengandung semangat perlindungan terhadap perempuan di satu sisi, dan hukum adat serta hukum Islam yang melegitimasi adanya perceraian di luar pengadilan di lain sisi, menimbulkan ketertarikan untuk melakukan penelitian tentang keberlakuan antar ketiga sistem hukum tersebut serta implikasinya terhadap perempuan. Selain didasarkan pada asumsi teoritis, ketertarikan meneliti tema ini juga didasari oleh informasi dari penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa tata pergaulan dalam masyarakat Sasak didominasi oleh nilai-nilai sosial yang patriarkhis, di mana laki-laki diberi kekuasaan, hak dan wewenang yang lebih besar dibanding perempuan. Informasi lain yang juga diperoleh dari penelitian terdahulu juga menyebutkan bahwa hukum Islam yang dipahami dan dipraktikkan didominasi oleh rumusan fiqh klasik mazhab Syafii yang relatif memihak pada kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, penelitian terhadap pluralisme hukum perceraian beserta implikasinya terhadap pemenuhan hak-hak perempuan menjadi penting untuk dilakukan.
Tema ini penting dikaji agar sebagai bagian dari upaya akademik dan ilmiah untuk mengurai persoalan perempuan dalam mendapatkan keadilan dan kesetaraan gender. Merujuk pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, marjinalisasi terhadap hak-hak perempuan adalah bentuk dari tindakan yang diskriminatif terhadap perempuan dikarenakan berpotensi memiskinkan perempuan di satu sisi, dan menyejahterakan laki-laki di lain sisi. Konvensi ini mengatur bahwa perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam hal pemutusan perkawinan, di samping memiliki hak yang setara dalam memulai perkawinan[6]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pluralisme hukum perceraian yang berlaku di masyarakat Sasak, implikasi adanya pluralisme hukum perceraian terhadap pemenuhan hak perempuan pascaperceraian, dan strategi perempuan untuk mendapatkan akses terhadap harta bersama pasacaperceraian.


  1. METODE PENELITIAN
1.      Jenis Penelitian
Secara metodologis, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sosiolegal berperspektif perempuan. Bidang hukum yang dikaji adalah hukum perdata, khususnya hukum keluarga bidang perkawinan, yang bersumber dari  hukum positif Indonesia, hukum Islam dan hukum adat Sasak. Hasil kajian atas hukum normatif tersebut  ditindaklanjuti dengan mengkaji penerapan norma hukum tersebut di lapangan sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan hukum tersebut telah memberikan perlindungan secara nyata terhadap hak-hak perempuan yang dicerai, atau justru melemahkannya. Penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan pendekatan metodologis ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yaitu sosiologi hukum dan antropologi hukum.
  1. Lokasi Penelitian
Secara umum, penelitian ini dilakukan di Pulau  Lombok dengan pertimbangan bahwa di pulau ini berlaku sistem hukum yang pluralistik tentang perceraian, sehingga setiap orang adalah subjek dari berbagai sistem hukum yang tengah berlaku, yaitu hukum adat, hukum Islam, hukum negara dan hukum internasional. Secara khusus lokasi yang dikunjungi peneliti untuk melakukan pengumpulan data terdiri dari empat desa yang dipilih dengan kriteria tertentu. Kriteria umumnya adalah desa yang sebagian masyarakatnya benar-benar memiliki pengalaman praktik perceraian secara adat, agama dan negara serta memiliki sikap terbuka sehingga kegiatan pengumpulan data berjalan lancar tanpa hambatan berarti.
Lokasi pertama terletak di dua buah desa di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Dua desa ini semula tergabung dalam satu desa, dan berpisah setelah mengalami pemekaran pada tahun 2008. Pemilihan lokasi ini didasari pertimbangan bahwa desa ini memiliki karakteristik khas Lombok bagian selatan, yaitu memiliki komunal, agraris, memiliki intensitas perceraian yang relatif rendah, dan belum mendapat intervensi dari luar dalam hal pelaksanaan hukum. Praktik hukum perceraian pada masyarakat ini relatiif didominasi hukum adat dan hukum Islam. Untuk kepentingan melindungi responden dan narasumber, desa ini disamarkan dengan nama Barak dan Ruway.[7] Lokasi ketiga dan keempat berupa dua desa yang bersebelahan, terletak di Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah. Desa ini memiliki karakteristik semi urban, memiliki intensitas perceraian yang relatif tinggi dan sudah mendapat intervensi perlindungan hukum dari luar. Yang dimaksud intervensi adalah layanan advokasi hukum dari organisasi yang memiliki perhatian di bidang pemberdayaan perempuan sehingga banyak yang memiliki pengalaman menggunakan hukum negara. Dalam penelitian ini, nama desa tersebut disamarkan dengan nama Balap dan Montan.[8] Keempat lokasi ini peneliti anggap penting untuk dapat melihat perbedaan-perbedaan cara berhukum masyarakat serta kebutuhan perlindungan hukum di masa depan.
3.      Data Penelitian
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data kualitatif, yakni data yang berupa kata-kata, bukan rangkaian angka yang diperoleh dari pengukuran-pengukuran tertentu, tetapi lebih sering berbentuk kalimat pernyataan, uraian, deskripsi yang mengandung suatu maka dan nilai tertentu.[9] Berdasarkan sumbernya, data dalam penelitian dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Subjek penelitian dalam penelitian ini yang dituju sebagai sumber data primer disebut informan, dipilih secara purposive, yaitu didasarkan atas pertimbangan peneliti bahwa yang bersangkutan memiliki data yang relevan dan bersedia memberikan data.
Informan yang menjadi sumber data primer yang direncanakan dalam penelitian ini : 1) Perempuan yang pernah bercerai dan melakukan upaya penyelesaian sengketa untuk mendapatkan akses terhadap hak-hak pascaperceraian[10] 2) Laki-laki yang pernah bercerai dan terlibat penyelesaian sengketa dengan bekas istrinya[11]. Selain itu, penelitian ini juga mengumpulkan data dari subjek penelitian yang disebut narasumber, yakni orang yang dianggap tahu mengenai persoalan akses perempuan terhadap harta bersama pascaperceraian tetapi tidak mengalami langsung. Narasumber dalam penelitian ini adalah : 1) pemuka adat[12] 2) Pemuka agama[13], 3) Perangkat desa[14] 4) hakim pada pengadilan agama,[15] 4) aktivis pembela hak-hak perempuan[16] dan 5) akademisi yang mendalami persoalan hukum dan isu perempuan[17].
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan hukum dan bahan non hukum.  Bahan hukum adalah dokumen peraturan perundang-undangan,  terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.[18] Bahan hukum primer yang dijadikan sumber data antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 2) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan; 3) Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam; 4) Kitab-kitab fiqih klasik tentang perkawinan dan perceraian, antara lain, Bidayatul Mujtahid, Fiqh Sunnah, Fath al Muin, Kifayah al Akhyar dan I’anah Al Thalibin.
Selain bahan hukum primer, dikaji pula bahan hukum sekunder, yakni dokumen-dokumen yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi[19]: hasil-hasil penelitian tentang perceraian dan hak-hak perempuan dalam perkawinan, meliputi skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian individu dan kelompok, artikel jurnal, buku, artikel media massa dan artikel media pribadi. Penelusuran terhadap bahan hukum skunder ini dilakukan di berbagai perpustakaan online, website jurnal online, perpustakaan manual berbagai perguruan tinggi dan perpustakaan daerah di pulau Lombok dan perpustakaan organisasi yang menekuni aktivitas pemberdayaan perempuan.
4.      Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam[20], observasi dan studi dokumen.[21] Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dari informan dan narasumber. Dalam penelitian ini, teknik observasi digunakan untuk mengumpulkan data primer berupa kehidupan sehari-hari para responden untuk dapat menangkap fakta tentang jangkauan perempuan terhadap perlindungan hukum yang tersedia. Observasi juga digunakan untuk mempelajari relasi sosial antar individu dalam masyarakat, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam kegiatan yang bersifat seremonial. Adapun data yang dikumpulkan dengan teknik studi dokumen meliputi informasi statistik tentang lokasi dan subjek penelitian, pendapat para pakar, informasi peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan tema penelitian dan ketentuan-ketentuan hukum, baik yang tengah diberlakukan maupun yang sudah tidak berlaku.
5.      Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode triangulasi untuk proses pemeriksaan kredibilitas data. Dalam penelitian ini akan dilakukan triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu[22]. Dalam penelitian ini proses analisis data berlangsung selama penelitian. Analisis data dalam penelitian ini akan mengacu pada model interaktif yang dikenalkan oleh Miles dan Huberman, yakni terdiri dari tiga sub proses yang saling berkaitan, yaitu reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan[23].
Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif ini akan menggunakan metode induktif. Induktif berarti proses mengambil suatu kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha mengumpulkan fakta dari fenomena atau peristiwa-peristiwa yang bersifat khusus, kemudian berdasarkan fenomena atau peristiwa yang bersifat khusus tadi, diambil kesimpulan yang bersifat umum.[24]

  1. PEMBAHASAN
  1. Pluralisme Hukum Perceraian yang Berlaku di Masyarakat Sasak
Secara umum, berdasarkan lembaga yang menangani, perceraian pada masyarakat Sasak dapat dikategorikan menjadi dua yaitu perceraian yang diproses di lembaga hukum negara, yaitu pengadilan agama dan perceraian yang diproses di luar pengadilan. Perceraian yang diproses di luar pengadilan, adakalanya dilakukan sendiri oleh para pihak, adakalanya pula melibatkan pihak lain sebagai mediator. Adapun hukum yang dipakai dalam proses perceraian pada masyarakat Sasak terdiri dari dari hukum negara yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, hukum Islam klasik yang bersumber dari kitab-kitab fiqh dan hukum adat yang bersumber dari praktik dan kebiasaan.
Ketiga sistem hukum tersebut tidak selalu dipraktikkan secara terpisah, melainkan sering bertautan satu sama lain dalam sebuah peristiwa perceraian. Sebagai contoh, seorang suami menyatakan perceraian dengan mengucapkan talak di hadapan istrinya, di dalam rumah mereka, setelah itu ia meminta tokoh agama dan tokoh adat untuk membuatkan surat pernyataan talak yang dikukuhkan dengan stempel dusun, maka orang itu di satu sisi mempraktikkan materi hukum Islam berupa pernyataan talak, dan di sisi lain mempraktikkan materi hukum adat berupa pembuatan surat pernyataan talak yang disahkan oleh otoritas setempat. Contoh lain yang sering terjadi adalah, suami menyatakan talak kepada istri dalam forum penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh tokoh-tokoh setempat, namun setelah itu istri mengajukan gugatan cerai di pengadilan guna mendapatkan status hukum yang lebih kuat atas perceraiannya. Dalam kasus ini, dapat ditemukan tiga hukum yang dipraktikkan, yaitu hukum Islam berupa pernyataan talak, hukum adat berupa mediasi oleh tokoh-tokoh setempat dan hukum negara berupa pengajuan gugatan cerai  ke pengadilan.
Hukum Islam yang dikenal dan dipraktikkan sebagai legitimasi perceraian pada masyarakat Sasak telah mengalami distorsi sehingga menampilkan hukum Islam yang parsial. Disebut parsial ini karena hanya dipraktikan bagian-bagian tertentu yang menguntungkan kaum laki-laki, yaitu bahwa menceraikan adalah hak mutlak laki-laki. Namun, bagian yang merupakan konsekwensi dari pengunaan hak tersebut tidak dikenalkan secara luas, sehingga tidak dipedomani dalam praktik perceraian. Dapat dikatakan bahwa ada ketimpangan dalam sosialisasi hukum Islam, di mana bagian yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki disampaikan, namun bagian yang memberatkan disembunyikan.
Situasi tersebut sesuai dengan satu bagian dari teori hukum feminis yang dinyatakan oleh Agnes Widanti, bahwa hukum yang senyatanya hidup dalam masyarakat, diinformasikan oleh laki-laki, bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan sosial yang patriarkhis, yakni hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman dan kekuasaan laki-laki. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil penelusuran alur pengetahuan masyarakat tentang hukum perceraian yang antara lain menghasilkan informasi tentang saluran informasi hukum yang dapat diakses masyarakat, yaitu sekolah atau madrasah formal, pondok pesantren, pergaulan, media massa dan pertemuan-pertemuan umum.
Pada madrasah dan pesantren, berdasarkan wawancara dengan para pengelola pendidikan diketahui bahwa terdapat penekanan yang berbeda antara pengajaran hukum perkawinan dan perceraian kepada laki-laki dan perempuan. Beberapa kyai mengatakan bahwa mereka mempelajari hukum perkawinan Islam semasa menempuh pendidikan pesantren sewaktu belum menikah. Dalam pelajaran tersebut ia mengetahui bahwa hak talak adalah milik suami, bahwa istri yang dijatuhi talak harus menjalankan masa iddah.[25]
Kewajiban perempuan untuk menjalani masa iddah disosialisasikan kepada mereka, dengan titik tekan untuk tidak menikah dulu dengan orang lain. Di samping untuk memastikan situasi rahim, hal ini untuk mengantisipasi apabila suami menghendaki rujuk selama masa iddah, karena suami yang menjatuhkan talak berhak mengubah keputusannya yakni dengan menyatakan rujuk. Namun, di sisi lain, kewajiban-kewajiban bekas suami dalam masa iddah tidak diinformasikan secara komprehensif. Para tokoh agama memilih bersikap membenarkan tradisi bahwa perempuan yang tertalak sudah sewajarnya keluar dari rumah suami daripada menyampaikan hak-hak perempuan yang sedang menjalankan masa iddah, yakni berhak mendapat fasilitas tempat tempat tinggal, pakaian dan biaya hidup sehari-hari sebagaimana ketika masih menjadi istrinya. Hak-hak perempuan yang menjalani masa iddah ini sebenarnya tersurat dalam berbagai sumber hukum Islam, meliputi Al Quran, Hadis, kitab-kitab klasik karya para ulama, maupun hukum positif Indonesia. Adapun terhadap hak laki-laki, para tokoh agama bersikap aktif menyosialisasikannya dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam klasik.
Pluralisme hukum perceraian pada masyarakat Sasak terlihat dalam praktik hukum, di mana setiap orang dapat menjadi subjek dari hukum adat Sasak, hukum Islam dan hukum negara. Masing-masing sistem hukum ini dipraktikkan secara parsial dengan mengambil bagian-bagian tertentu dan meninggalkan bagian lainnya. Bagian dari hukum Islam yang paling banyak dipraktikan adalah talak, di mana laki-laki yang bermaksud meceraikan istrinya dapat menyatakan talak dengan ucapan maupun tulisan, langsung kepada istri atau melalui perantaraan orang lain. Adapun istri yang menghendaki bercerai, dapat meminta suaminya menyatakan talak, dengan atau tanpa tebusan sejumlah harta. Adapun kewajiban suami memberikan mut’ah dan nafkah masa iddah lebih banyak diabaikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hukum Islam ini bersifat parsial.
Hukum adat dipraktikkan dalam bentuk pulangnya istri dari rumah suami setelah suami menyatakan talak,  dengan membawa harta tidak bergerak berupa perabot rumah tangga. Rumah dan tanah pada umumnya ditinggal karena diklaim sebagai hak suami. Pelaksanaan hukum adat juga ditemukan dalam bentuk pendokumentasian pernyataan talak dengan surat pernyataan yang ditandatangani oleh suami dan istri sebagai pihak yang bercerai dan tokoh-tokoh lokal sebagai saksi. Tokoh-tokoh lokal ini adalah kyai sebagai representasi tokoh agama dan kepala dusun sebagai representasi tokoh pemerintahan sekaligus tokoh adat, selain dapat berperan sebagai saksi talak juga adakalanya berperan sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa tentang hak-hak pascaperceraian, meliputi pelunasan maskawin dan pembagian harta bersama.
Adapun hukum negara, pada umumnya dipraktikkan oleh masyarakat Sasak untuk menyelesaikan sengketa terkait hak-hak pascaperceraian yang tidak dapat diselesaikan secara adat. Orang yang mengajukan gugatan perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat pada umumnya telah bercerai secara adat dan agama di luar pengadilan. Perkara cerai di pengadilan didominasi perkara cerai gugat yang diajukan oleh pihak bekas istri sebagai upaya meresmikan status janda yang diperoleh sebelumnya melalui hukum adat dan agama.

  1. Implikasi Pluralisme Hukum Perceraian terhadap Pemenuhan Hak Perempuan Pascaperceraian
Implikasi pluralisme hukum yang berlaku pada masyarakat Sasak adalah perempuan sangat rentan dan terbukti sering mengalami marjinalisasi hak-hak pascaperceraian, antara lain perempuan sangat mudah menjadi objek talak sewenang-wenang suami, meskipun tidak melakukan kesalahan yang berakibat pada disharmoni rumah tangga. Sebaliknya, perempuan yang keberatan dengan perilaku suaminya dan menghendaki bercerai sering dipermainkan oleh suami dengan cara digantung statusnya, yakni suami hanya bersedia menjatuhkan talak apabila istri membayar uang dalam jumlah besar.
Masyarakat Sasak memahami bahwa talak adalah hak laki-laki. Pemahaman sebaliknya yang terbentuk adalah perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menceraikan. Apabila perempuan menghendaki bercerai, keputusannya sangat tergantung pada suaminya. Jika suaminya setuju bercerai, maka kehendak istri dapat terlaksana dengan mudah. Pranata adat akan memudahkan proses perceraian mereka melalui instrumen mubaraah. Lain halnya apabila suami tidak setuju, perempuan seringkali terpaksa membayar sejumlah uang kepada suaminya agar suaminya bersedia menyatakan talak.
Karena memegang kekuasaan talak yang sangat besar, tidak jarang ada laki-laki yang memanfaatkan kekuasaannya tersebut untuk mengambil keuntungan finansial dari istrinya. Para suami ini sengaja mempermainkan istrinya dengan cara membuat kondisi yang menyebabkan istrinya menuntut cerai, misalnya dengan cara menikah diam-diam dengan perempuan lain. Kedudukan istri pertama tidak menjadi pertimbangan penting, dalam arti pernikahan tetap dapat berlangsung meskipun istri pertama tidak memberi ijin atau bahkan tidak diberi tahu. 
Hal ini, dalam konsepsi Islam secara sepintas dapat digolongkan sebagai instrumen khulu’. Namun, penelitian ini menemukan kesenjangan yang signifikan antara khulu dalam konsepsi hukum Islam dengan pembayaran talak dari istri kepada suami pada masyarakat Sasak. Dalam hukum Islam, khulu adalah instrumen perceraian yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan yang menghendaki perceraian tetapi suami tidak menghendaki. Dalam hal ini, kehendak istri dapat disertai alasan tertentu, misalnya istri memiliki rasa tidak cocok dengan suami sehingga ia merasa tidak akan dapat memberikan hak-hak suaminya dengan baik karena ketidakcocokan itu.
Berbeda dengan konsep khulu di atas, praktik pada masyarakat Sasak menunjukkan bahwa perempuan yang membyar sejumlah uang kepada suaminya bukan selalu disebabkan oleh karena perempuan memang menginginkan bercerai, melainkan karena suami mendahului menciptakan situasi yang sulit bagi istrinya. Suami telah menikah lagi adalah kenyataan paling banyak yang ditemui dalam penelitian ini yang menyebabkan istri terpaksa meminta cerai. Beberapa informan perempuan yang menempuh jalan ini mengatakan mereka terpaksa membayar suaminya untuk mrenghindari ketidakpastian status karena suaminya telah menikah lagi tetapi belum menyatakan talak sedangkan mereka tidak bersedia dimadu.
Perempuan-perempuan yang membayar sejumlah uang agar suaminya mau menyatakan talak mengaku tidak mengetahui bahwa ada mekanisme hukum yang dapat membantu menyelesaikan masalahnya dengan lebih murah. Mereka tidak mencari bantuan kepada otoritas yang memiliki informasi tentang pengadilan, melainkan menyelesaikan urusan pemutusan perkawinanya sesuai tuntutan suaminya. Salah satu informan yang menebus talak dengan uang 10.000.000 memahami bahwa talak hanya dapat dinyatakan oleh suami. Menurut pemahamannya, sampai kapanpun, apabila suami belum mengatakan talak maka ia masih berstatus sebagai istrinya.
Implikasi lain bagi perempuan adalah rentan kehilangan hak atas pelunasan maskawin karena pada umumnya meskipun maskawin dihutang oleh suami, dalam kutipan akta cerai ditulis telah dibayar tunai. Berdasarkan hukum Islam, suami yang menceraikan istrinya wajib melunasi maskawin yang masih terhutang. Disebutkan dalam Surat Al Baqarah ayat 237 bahwa istri yang diceraikan suaminya dalam keadaan telah berhubungan kelamin (bakda dukhul) maka berhak dilunasi maskawinnya secara keseluruhan. Namun, apabila perceraian itu terjadi sebelum keduanya melakukan hubungan kelamin (qobla dukhul), suami wajib memberikan setengan dari nilai mahar yang telah dijanjikan.
 Berbeda dari ketentuan tersebut, penelitian ini menemukan beberapa informan perempuan yang kehilangan akses terhadap pelunasan maskawin karena suami menolak membayar mas kawin yang telah dijanjikan pada saat akad nikah. Informan pertama, seorang sarjana, dijanjikan mas kawin sebsar 10 gram emas dalam akad nikah. Pada saat akad nikah berlangsung, ia baru menerima 5 gram emas, berupa cincin, sedangkan sisanya dijanjikan akan diberikan kemudian. Janji itu tidak kunjung ditunaikan oleh suaminya hingga setahun kemudian mereka bercerai suami tetap tidak melunasi. Pada masyarakat Sasak yang diteliti memang lazim terjadi adanya suami yang menunda pembyaran mas kawin pada istrinya, baik sebagian maupun keseluruhannya. Praktik ini dilandasi oleh pemahaman bahwa dalam aturan hukum Islam, adalah diperbolehkan menunda pembayaran mas kawin hingga yang bersangkutan mampu melunasinya.
Pengalaman informan menunjukkan bahwa laki-laki relatif diuntungkan dengan berlakunya pluralism hukum. Ia dapat menikahi perempuan  dengan mekanisme nikah bawah tangan yang keabsahannya didasarkan pada kaidah hukum Islam, Namun, saat menghendaki cerai ia mengabaikan kaidah hukum Islam yang mengatur tentang kewajiban melunasi mas kawin. Ia justru mendapatkan keuntungan ganda karena dapat menekan istrinya agar mau merelakan mas kawinnya tidak dibayar sama sekali dengan menyandra talak. Istri tidak memiliki pilihan lain kecuali menuruti tekanan suaminya agar mau dicerai tanpa dilunasi mas kawinnya daripada tetap menjadi istrinya tetapi sudah diusir dari rumah suaminya. Dalam posisi ini, istri tidak dapat mengakses perlindungan hukum yang disediakan negara karena pernikahannya tidak tercatat oleh negara. Pranata hukum adat juga tidak dapat membantu perempuan karena para fungsionarisnya tunduk pada norma hukum Islam yang dipahami bahwa selama suami belum mengucapkan tapak maka istri masih terikat perkawinann dengannya.
Istri juga rentan mengalami ketidakpastian hukum tentang status jandanya dikarenakan surat pernyataan talak yang dibuat secara adat tidak dapat digunakan untuk berbagai kepentingan yang membutuhkan dokumen administrasi kependudukan, misalnya mendaftar sebagai buruh migran, menerima bantuan pemerintah, membuat KTP, akta kelahiran anak, dan lain-lain. Secara normatif, berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiunan Pegawai dan Pensiuanan Janda/Duda Pegawai karena tidak lagi terikat dalam perkawinan dengan orang lain, informan berhak mendapatkan dana pensiun suami pertamanya.[26] Akan tetapi, karena perceraian dengan suami keduanya dilakukan secara sepihak dan tidak dapat dibuktikan dengan akta cerai dari pengadilan maka status informan di muka hukum adalah janda PNS yang telah menikah lagi dengan orang lain. Status ini menyebabkan haknya atas dana pensiunan  tidak dapat dinikmati. Hal ini menunjukkan bahwa perceraian sepihak adalah melemahkan partisipasi perempuan, khususnya janda PNS dalam menikmati hak ekonominya.  
Pengalaman informan menunjukkan bahwa pluralisme hukum membawa dampak pada perempuan dalam hal pemenuhan hak selaku janda, yakni hak untuk menikah lagi secara tercatat. Surat talak yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai surat resmi karena dikeluarkan dan dikukuhkan oleh aparat pemerintah tidak dapat digunakan sebagai pembuktian tentang perceraianya ketika akan digunakan untuk ke daerah luar. Standar keabsahan perceraian sepihak yang berlaku di Lombok tidak dapat diakui secara nasional karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Informan lain yang memiliki persoalan sama menceritakan bahwa suaminya telah menyatakan talak secara lisan di hadapan keluarga besarnya, tetapi hingga satu tahun kemudian tidak bersedia menandatangani surat pernyataan talak. Namun demikian, bekas suaminya itu dapat menikah dengan perempuan lain. Hal ini membuat informan merasa sangat terganggu  karena ada perasaan seolah-olah berada dalam perkawinan poligami, padahal secara nyata mereka telah satu tahun tidak memiliki hubungan apapun.[27]

  1. Strategi Perempuan untuk Mendapatkan Akses terhadap Harta Bersama Pasacaperceraian
Situasi pluralisme hukum yang relatif tidak menguntungkan disiasati oleh banyak perempuan dengan strategi yang dianggap dapat membantu mendapatkan akses terhadap harta bersama pasacaperceraian. Harta bersama oleh masyarakat setempat disebut dengan harta gono-gini, yakni harta yang diperoleh setelah terjadinya pernikahan. Pada dasarnya, sebagaimana dipaparkan dalam bagian terdahulu, akibat perceraian, suami mendapatkan rumah dan istri mendapatkan semua barang tidak bergerak. Namun, tidak selamanya para pihak tunduk pada ketentuan adat ini. Beberapa informan terpaksa bersengketa dengan bekas suaminya karena tidak puas dengan bagian yang diterimanya. Objek sengketa yang banyak diperebutkan adalah rumah apabila istri memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunannya. Objek lainnya adalah kendaraan bermotor, uang, tanah yang dibeli bersama beserta hasilnya. Dalam harta bersama ini, baik suami maupun istri dianggap memiliki hak yang sama, Maka, apabila terjadi perceraian masing-masing berhak mendapatkan separuhnya.
Strategi yang ditemukan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu strategi yang bersifat terang-terangan dan strategi tersembunyi. Strategi yang bersifat terang-terangan yaitu mengajukan penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa alternatif yang difasilitasi tokoh-tokoh lokal, meminta bantuan kader paralegal dari organisasi pemberdayaan perempuan untuk beracara di pengadilan. Kebanyakan perempuan yang menjadi informan penelitian ini memiliki hambatan akses informasi hukum negara sehingga tidak memiliki rasa percaya diri serta keberanian untuk mengajukan sendiri gugatan ke pengadilan.
Pada masyarakat Sasak yang diteliti, saluran penyelesaiaan sengketa yang dipraktikkan oleh sebagian informan adalah negosiasi, mediasi, dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang tergolong murah dan lokasinya cukup terjangkau karena diselenggarakan oleh tokoh-tokoh di tingkat dusun. Menurut para narasumber, apabila pada tingkat dusun tidak dicapai kesepakatan, sengketa diteruskan pada tingkat desa dan difasilitasi oleh kepala desa beserta perangkatnya.[28] Apabila mediasi tingkat desa tidak menghasilkan kesepakatan, maka para pihak disilakan untuk bersengketa di pengadilan. Para mediator berusaha semampu mungkin mendamaikan dan membuat kesepakatan antar para pihak sehingga. Mediasi di tingkat dusun dan desa melayani segala macam persoalan yang timbul di masyarakat, baik yang termasuk dalam kategori hukum perdata maupun pidana.[29] Adapun mengajukan gugatan ke pengadilan pada umumnya baru akan dilakukan apabila proses-proses penyelesaian sengketa alternatif telah ditempuh dan gagal menghasilkan kata sepakat.
Adapun strategi tersembunyi yang dipilih para perempuan adalah diam-diam memindahkan harta bersama ketika indikasi akan diceraikan sudah mulai terlihat. Sebagian dari mereka tidak menunggu suaminya benar-benar mengucapkan talak untuk mendapatkan bagian atas harta bersama. Seorang informan perempuan mengaku telah mengusung sedikit demi sedikit barang-barang di rumah tinggalnya setelah mereka sering terlibat pertengkaran selama sebulan terakhir. Secara subjektif ia merasa bahwa suatu saat suaminya akan mengucapkan talak. Ketika suatu hari mereka bertengkar lagi dan suaminya benar-benar mengucapkan kata talak ia sudah membawa lebih dari setengah barang yang ada di rumahnya. Ditemukan pula strategi menyembunyikan harta bersama dari pantauan suami  karena menyadari bahwa suaminya mempunyai riwayat mengingkari kewajiban-kewajibannya terhadap bekas istri-istri sebelumnya.
Strategi pertama dan kedua dalam perspektif teori resistensi Scott[30] dapat dikategorikan sebagai perlawanan terbuka (public transcript). Dalam perlawanan ini, perempuan berusaha menggunakan segala kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan akses terhadap pemenuhan hak atas harta bersama, pelunasan maskawin  dan kepastian hukum. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan pengetahuan, kekuatan jaringan yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga yang berpotensi dapat membantunya, yaitu tokoh-tokoh setempat dan kader paralegal. Tokoh setempat dipilih atas dasar pertimbangan kedekatan emosional dan kedekatan geografis yang diharapkan memiliki empati terhadap persoalan mereka. Adapun kader paralegal digunakan sebagai tenaga perlawanan terhadap dominasi hukum adat dan hukum Islam parsial untuk menjembatani mereka dengan instansi negara yang secara yuridis berwenang menangani perkara perceraian. Pilihan perempuan terhadap perlawanan terbuka agaknya telah didasari pertimbangan bahwa perkaranya akan dapat selesai sesuai keinginnya. Seorang yang telah ditalak dan mengalami ketidakpastian status misalnya, ketika memutuskan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan telah cukup mengerti apa yang harus dilakukan dan apa yang akan didapatkan dari pengadilan.
Secara teoritis, hasil penelitian ini menguatkan teori pluralisme hukum baru yang menyatakan bahwa tersedianya berbagai sistem hukum tidak secara merta menjadikan perempuan dapat dengan leluasa memilih hukum yang sesuai dengan kepentinganya, melainkan justru menjadikan perempuan mengalami dilema karena antar sistem hukum yang tersedia justru berkontestasi menyudutkan kepentingan-kepentingannya. Penelitian ini juga menguatkan teori hukum feminis, khususnya pada bagian-bagian berikut: 1) hukum yang diketahui masyarakat diinformasikan oleh laki-laki, mengunakan logika laki-laki dan bertujuan melanggengkan kekuasaan laki-laki atas perempuan; 2) hukum negara cenderung berfokus pada hal-hal yang logis dan prosedural, sehingga pengalaman-pengalaman perempuan yang tidak sesuai logika hukum tidak dapat diakomodasi oleh hukum negara, akibatnya perempuan sulit mengakses hak-haknya pascaperceraian.
  1. PENUTUP
  1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pluralisme hukum perceraian pada masyarakat Sasak terlihat dalam praktik hukum, di mana setiap orang dapat menjadi subjek dari hukum adat Sasak, hukum Islam dan hukum negara. Masing-masing sistem hukum ini dipraktikkan secara parsial dengan mengambil bagian-bagian tertentu dan meninggalkan bagian lainnya.
2.      Implikasi pluralisme hukum yang berlaku pada masyarakat Sasak adalah perempuan sangat rentan dan terbukti sering mengalami marjinalisasi hak-hak pascaperceraian, antara lain perempuan sangat mudah menjadi objek talak sewenang-wenang suami, meskipun tidak melakukan kesalahan yang berakibat pada disharmoni rumah tangga. Implikasi lain bagi perempuan adalah rentan kehilangan hak atas pelunasan maskawin karena pada umumnya meskipun maskawin dihutang oleh suami, dalam kutipan akta cerai ditulis telah dibayar tunai. Istri juga rentan mengalami ketidakpastian hukum tentang status jandanya dikarenakan surat pernyataan talak yang dibuat secara adat tidak dapat digunakan untuk berbagai kepentingan yang membutuhkan dokumen administrasi kependudukan, misalnya mendaftar sebagai buruh migran, menerima bantuan pemerintah, membuat KTP, akta kelahiran anak, dan lain-lain. 
3.      Situasi pluralisme hukum yang relatif tidak menguntungkan disiasati oleh banyak perempuan dengan strategi yang dianggap dapat membantu mendapatkan akses terhadap harta bersama pasacaperceraian. Strategi yang ditemukan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu strategi yang bersifat terang-terangan dan strategi tersembunyi. Kesimpulan penelitian ini secara teoritis menguatkan teori pluralisme hukum baru yang menyatakan bahwa tersedianya berbagai sistem hukum tidak secara merta menjadikan perempuan dapat dengan leluasa memilih hukum yang sesuai dengan kepentinganya, melainkan justru menjadikan perempuan mengalami dilema karena antar sistem hukum yang tersedia justru berkontestasi menyudutkan kepentingan-kepentingannya. Penelitian ini juga menguatkan teori hukum feminis, khususnya pada bagian-bagian berikut: 1) hukum yang diketahui masyarakat diinformasikan oleh laki-laki, mengunakan logika laki-laki dan bertujuan melanggengkan kekuasaan laki-laki atas perempuan; 2) hukum negara cenderung berfokus pada hal-hal yang logis dan prosedural, sehingga pengalaman-pengalaman perempuan yang tidak sesuai logika hukum tidak dapat diakomodasi oleh hukum negara, akibatnya perempuan sulit mengakses hak-haknya pascaperceraian.
2.      Saran-saran
Berpijak pada kesimpulan tersebut di atas, peneliti menyampaikan saran-saran kepada:
1.      Pemerintah daerah setempat, hendaknya menyelenggarakan program pemberdayaan hukum untuk masyarakat berupa sosialisasi hak-hak perempuan yang dilindungi oleh hukum negara, agar perceraian dapat dilaksanakan dengan lebih menjamin martabat perempuan.
2.      Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung, hendaknya dapat merespon dengan kebijakan khusus persoalan perempuan Sasak yang rentan kehilangan hak-hak pascaperceraian akibat dominasi hukum adat dan hukum Islam parsial. Disarankan juga agar lembaga yudikatif ini untuk bekerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk mengenalkan layanan peradilan baik yang regular maupun yang prodeo kepada masyarakat, khususnya kaum perempuan agar mereka memiliki referensi hukum negara yang memadai ketika berkepentingan dengan urusan perceraian.
3.      Lembaga keagamaan, hendaknya lebih berperan aktif dalam pemberdayaan perempuan melalui pengkajian dan penyebarluasan hukum perceraian Islam secara komprehensif agar lebih memudahkan perempuan mengakses hak-haknya pascaperceraian. Peran ini diharapkan akan berkontribusi pada perubahan sosial di masa depan sehingga praktik hukum perceraian Islam lebih memuat idealisme keadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
4.      Peneliti selanjutnya, untuk mendalami persoalan pluralisme hukum pada masyarakat Sasak dari sudut pandang atau fokus yang berbeda dari penelitian ini. Terdapat cukup banyak aspek yang penting dan menarik untuk diteliti, antara lain pluralisme hukum waris yang juga rentan memarjinalkan perempuan, pluralisme hukum perkawinan dan pluralisme hukum pidana. 


DAFTAR PUSTAKA
Burhan Bungin (Ed), 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta
Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum; Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Herdiansyah, Haris. 2013, Wawancara, Observasi dan Focus Group sebagai Instrumen Penggalian Data Kualitatif, Rajawali Pers, Jakarta
Miles, Mathew dan Huberman, Michael. 1992,  Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. 2004.  Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974, sampai KHI, Kencana
Scott, James. 1993, Perlawanan Kaum Tani, penerjemah: Budi Kusworo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2011, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat., Rajawali Press, Jakarta
Usman, Sabian. 2013, Restorative Justice, Hukum Masyarakat Nelayan Saka dalam Sistem Hukum Nasional, STAIN Palangkaraya Press dan Pustaka Pelajar Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiunan Pegawai dan Pensiuanan Janda/Duda Pegawai
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan
Syahrul Budiman, “Pengolahan dan Analisis Data  dalam Penelitian Kualitatif”, www.academia.edu, diakses tanggal 5 April 2014


[1] Dosen Tetap IAIN Tulungagung, zulfa_ma@yahoo.com
[2] Dosen Tetap IAIN Tulungagung, nurfafiya@yahoo.com
[3] Definisi ini termaktub dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[4] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974, sampai KHI, Kencana, hlm : 47
[5]  Ibid, hlm : 48
[6]  Ketentuan tentang hak perempuan dalam perkawinan dan perceraian diatur dalam Pasal 16 Konvensi Perempuan. Secara lengkap Pasal ini berbunyi: Pasal 16: Perkawinan dan hubungan keluarga. Kewajiban melakukan langkah tindak yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga atas dasar kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, dan khususnya akan menjamin: hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan; hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya; hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan.
[7] Komak dan Antap adalah nama sayuran yang banyak dikonsumsi oleh warga dua desa ini. Komak merupakan biji dari tumbuhan merambat yang ditanam pada musim hujan tetapi baru dapat dipanen pada musim kemarau, sedangkan antap adalah kata dalam bahasa Sasak yang berarti kacang panjang, banyak dikonsumsi pada musim hujan.  
[8] Balap diambil dari nama makanan yang dipromosikan sebagai ikon pariwisata desa ini.
[9]  Mathew Miles dan  Michael Huberman, 1992,  Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, hlm: 15
[10] Dari kelompok ini, peneliti mengumpulkan data tentang gambaran praktik perceraian bawah tangan yang telah mereka alami. Gambaran tersebut meliputi informasi tentang peristiwanya, tentang hak-haknya ketika dicerai dan setelah bercerai, perasaan perempuan, pikiran dan harapannya terhadap hukum.
[11] Dari kelompok ini, peneliti mngumpulkan data tentang gambaran perceraian yang mereka lakukan beserta penyelesaian sengketa harta bersama yang diajukan oleh bekas istrinya. Gambaran tersebut meliputi informasi tentang alasan perceraian, cara bercerai, pengetahuan tentang harta bersama, informasi tentang partisipasi suami istri dalam pengumpulan harta bersama, tanggapan atas tuntutan harta bersama dari istrinya dan keputusan akhir serta eksekusi atas putusan harta bersama.
[12] Data yang dikumpulkan dari kelompok ini adalah informasi tentang sejarah lokasi penelitian, pedoman perilaku orang Sasak, hukum adat tentang perceraian dan pembagian harta bersama, wewenang dan peran lembaga adat dalam proses perceraian dan pembagian harta bersama, perasaan, pikiran dan harapan terhadap hukum kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap harta bersama para pihak yang bercerai, khususnya kaum perempuan.
[13] Dari kelompok pemuka agama, peneliti berusaha menggali data tentang pengetahuan agama terkait perceraian dan akibat hukumnya terhadap harta bersama, praktik penerapan hukum Islam di masyarakat Sasak dalam hal perceraian dan haeta bersama, peran serta pengalaman pemuka agama dalam hal terjadi perceraian dan penyelesaian sengketa harta bersama.
[14] Data yang dikumpulkan dari perangkat desa adalah pengalaman memfasilitasi mediasi dalam rangka penyelesaian sengketa harta bersama pascaperceraian dan data pendampingan jika pihak yang bersangkutan bersengketa di pengadilan serta kebijakan pemerintah desa dalam menyikapi potensi sengketa harta bersama.
[15] Data yang dikumpulkan dari pengadilan agama adalah pandangan dan pengalaman para hakim pengadilan agama setempat dalam rangka menangani penyelesaian sengketa harta bersama yang diajukan bekas istri, kebijakan khusus pengadilan terkait dengan situasi sosio kultural Sasak yang patriarkhis.
[16]  Data yang dikumpulkan dari aktivis organisasi perempuan adalah pandangan dan sikap organisasi perempuan atas kecenderungan termarjinalkanya perempuan dalam perceraian di masyarakat Sasak, termasuk upaya-upaya advokasi yang mungkin pernah dilakukan untuk membantu perempuan dalam mendapatkan akses terhadap harta bersama. Aktivis organisasi perempuan yang akan diwawancarai adalah dari Fatayat Nu, Muslimat NU, Aisyah dan Nasyiatul Aisyiah, Muslimat Nahdlatul Wathan dan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan NTB.
[17] Akademisi yang dituju adalah pengajar pada perguruan Tinggi di Pulau Lombok yang mendalami persoalan hukum dan isu gender. Data yang diharapkan dari kalangan akademisi ini adalah pikiran-pikiran kritis tentang pluralismen hukum perceraian dan dampaknya terhadap perempuan.
[18] Bahan hukum primer adalah dokumen hukum yang bersifat otoritatif, merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yg berwenang untuk itu. Bahan hukum skunder adalah dokumen hukum  yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil penelitian, buku teks,koran, pamflet, brosur, leafleat, internet. Adapun bahan hukum tersier adalah dokumen yang menjelaskan bahan hukum primer dan skunder, meliputi kamus dan eksiklopedia. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum; Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm: 156.
[19] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2011, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat., Rajawali Press, Jakarta, hlm. 13.
[20] Mengacu pada Herdiansyah,  wawancara dalam penelitian ini merupakan proses interaksi komunikasi yang dilakukan oleh peneliti dan subjek penelitian, atas dasar ketersediaan dan dalam setting alamiah, di mana arah pembicaraan mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan dengan mengedepankan trust sebagai landasan utama dalam proses memahami. 
[21]Haris Herdiansyah, 2013, Wawancara, Observasi dan Focus Group sebagai Instrumen Penggalian Data Kualitatif, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 3. Obervasi partisipatoris adalah kegiatan peneliti mengamati objek dan subjek penelitian dengan cara melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas yang berhubungan dengan tema penelitian. Setya Yuwana Sudikan, “Ragam Metode Pengumpulan Data ; Mengulas Kembali Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklore”, Burhan Bungin (Ed), 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 89
[22] Triangulasi dengan sumber data berarti membandingkan dan memeriksa ulang derajat kepercayaan suatu informasi melali waktu dan alat yang berbeda, dengan cara : (1) membandingkan data hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan, membandingkan apa yang dikatakan seseorang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi (3) membandingkan keadaaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang kaya, dan pejabat pemerintahan (4) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. Sabian Usman, 2013, Restorative Justice, Hukum Masyarakat Nelayan Saka dalam Sistem Hukum Nasional, STAIN Palangkaraya Press dan Pustaka Pelajar Yogyakarta,  hlm: 72 
[23] Mathew Miles dan Michael Huberman, Op. Cit, hlm: 15
[24] Syahrul Budiman, “Pengolahan dan Analisis Data  dalam Penelitian Kualitatif”, www.academia.edu, diakses tanggal 5 April 2014.

[26] Pasal 28: (1) Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang di berikan kepada janda/duda yang tidak mempunyai anak, dibatalkan jika janda/duda yang bersangkutan nikah lagi, terhitung dari bulan berikutnya perkawinana itu dilangsungkan. (2)  Apabila kemudian khusus dalam hal janda (janda-janda) perkawinan termaksud pada ayat (1) pasal ini terputus, maka terhitung dari bulan berikutnya kepada janda yang bersangkutan diberikan lagi pensiun-janda atau bagian pensiun-janda yang telah dibatalkan, atau jika lebih menguntungkan, kepadanya diberikan pensiun-janda yang menurut Undang-undang ini dapat diperolehnya karena perkawinan terakhir.

[27] Wawancara dengan Ahillah tanggal 30 September 2016

[28] Wawancara dengan Kadus Renong dan Kepala Desa Balap tanggal 24 September 2016, Perangkat Desa Ruway tanggal 25 September 2016.
[29] Menurut para narasumber, persoalan perdata yang pernah dimediasi antara lain hutang piutang, pertengkaran dalam rumah tangga, waris dan perceraian, sedangkan masalah pidana antara lain berupa kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan antar warga. Wawancara dengan Kaur Kesejahteraan Rakyat desa Ruway tanggal 6 Oktober 2016
[30] James Scott, 1993, Perlawanan Kaum Tani, penerjemah: Budi Kusworo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,hlm: 268

Pengunjung Blog