PANDUAN TUGAS LAPANGAN UNTUK MAHASISWA HES IV A/B/C


Tema: Produk-produk Perbankan


1.       Setiap kelompok terdiri dari 8 mahasiswa
2.       Setiap wajib mengunjungi menjadi empat lokasi, terdiri dari bank umum, bank umum syariah/unit usaha syariah, BPR dan BPRS atau LKS/BMT.
3.       Pada setiap lokasi, lakukan wawancara dengan Customer Service tentang produk-produk perbankan, meliputi penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat.
4.       Setelah melakukan wawancara, diskusikan dengan anggota kelompok tentang produk-produk perbankan yang telah diperoleh.
5.       Secara berkelompok, buatlah tabel yang berisi informasi masing-masing produk dari semua lokasi yang telah dikunjungi.
6.       Secara individu, tulislah pengalaman masing-masing anggota dalam menjalankan tugas kuliah lapangan ini. Unggahlah tulisan tersebut bersama dengan tabel hasil diskusi kelompok. Tulis juga profil lokasi yang dikunjungi.
7.       Kunjungi blog kelompok lain dan tinggalkan komentar untuk mereka!


Materi wawancara:
Apa saja nama produk simpanan dan kredit yang tersedia?
Apa syarat masing-masing produk itu?
Apa keuntungan atau fasilitas yang dapat nasabah nikmati dari produk-produk tersebut?
Apa ketentuan yang sama dan berbeda antar produk-produk tersebut?
Apakah produk-produk tersebut telah sesuai peraturan hukum perbankan yang berlaku?


Pembagian Lokasi:

Kelas IV A:

1.       Bank BRI, BRI Syariah, BPR Nusamba Ngunut, LKS Asri
2.       BNI, BNI Syariah, BPR Bintang, BMT Sahara
3.       Bank Danamon, Bank Syariah Mandiri, BPR Bandung Adhiarta, BMT Peta
Kelas IV B
1.       Bank BTN, Bank Muamalat, BPR Citrahalim Raharja, BMT Pahlawan
2.       Bank BCA,  BRI Syariah, BPR Anugrah Paktomas, BMT Muamalat Kutoanyar
3.       Bank BTPN, Bank Syariah Mandiri, BPR Hambangun Arta Selaras, BMT Istiqomah Bago

Kelas IV C (7 mahasiswa per kelompok)
1.       Bank Mayapada, BNI Syariah, BPR Sumberdana Anda, BMT Umatan Wasatan
2.       Bank Jatim, Bank Muamalat, BPR Bank Daerah Tulungagung, BMT Muamalat Kutoanyar
3.       Bank Permata, BPR Bali Agung Mandiri, Bank Syariah Mandiri, BMT Dinar Amanu Rejotangan
4.       Bank Mandiri, BRI Syariah, BPR Ngunut Arta, BMT Istiqomah Bago





TIADA PERJUANGAN TANPA KEREPOTAN

Subuh pagi tadi, baru beberapa detik aku bangun, dua anak asuhku pamit mau berangkat kerja. Itu yang rutin mereka lakukan tiap hari Selasa-Jumat.  Mereka bekerja di tempat yang sama, yang satu belanja, masak dan membersihkan rumah, yang satu menyetrika dan membereskan pakaian. Waktu kerjanya berkisar antara 2-3 jam, antara jam 5 hingga jam 8. Bayarannya? Tentu tidak sebesar gaji pekerja professional bersertifikat, tetapi cukup berarti bagi mahasiswa di kota kecil ini, setidak-tidaknya bisa untuk membiayai pengerjaan tugas-tugas kuliah, fotokopi buku, jajan atau beli keperluan pribadi.

Selepas mereka pergi, aku teringat obrolanku dengan seorang mantan mahasiswa yang galau atas keputusan yang telah diambilnya. Dia sudah memutuskan meninggalkan kuliah yang sebenarnya tidak berbiaya, karena pertimbangan ekonomi orangtuanya. Orang tuanya janji akan memperjuangkan semaksimal mungkin, tapi ia meragukan janji itu. Selain punya fasilitas beasiswa, ia juga punya fasilitas tempat tinggal dan makan gratis. Beberapa teman dekatnya yang juga kukenal baik sudah berusaha memberinya motivasi agar melanjutkan kuliah, soal biaya bisa dicari, tapi ia tetap nekad pulang dengan alasan tidak mau merepotkan orang tuanya. Setelah berbulan-bulan di rumah, muncul kegalauan baru.

“Aku sangat ingin kuliah, tapi tidak yakin ayahku bisa membiayai sampai selesai. Penghasilannya kecil, masih membiayai adik-adikku. Sekarang setelah berhenti aku bingung sekali, ingin kuliah lagi tahun depan, tapi bingung biayanya, kadang-kadang aku juga iri dengan teman-teman yang sudah bisa kasih uang ke orang tua, sementara aku masih jadi bebannya, sebaiknya aku bagaimana? Kuliah apa kerja, kalau kuliah binging biaya, kalau kerja selalu terbayang kuliah”
Aku menjawab, kamu hanya butuh kemauan yang kuat dan jelas, selebihnya kemauan itu akan membuka banyak jalan untuk mewujudkannya. Kalau punya kemauan kuat untuk kuliah, maka jalan untuk dapat kuliah akan terbuka, entah itu dengan bekerja paruh waktu, mendapat donator dari dermawan, menang undian berhadiah, atau sumber lain yang belum diketahui. Kalau kamu punya kemauan kerja yang kuat, maka jalan menuju kesana juga akan terbuka. Bisa juga, kerja dulu yang fokus, tabung uangnya, simpan untuk biaya kuliah setelah cukup, jadi dua-duanya tercapai.

Ya, kemauan. Aku percaya sekali bahwa kemauan adalah sumber energi yang sangat menentukan. Pepatah mengatakan, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Untuk kuliah, uang memang penting. Tapi, tanpa kemauan, uang tidak bisa mengkuliahkan seseorang. Sebaliknya, dengan kemauan yang kuat, orang bisa tetap kuliah walaupun tidak punya sumber uang yang pasti. Sangat banyak orang yang telah membuktikan ini. Dua anak asuhku yang berangkat kerja di pagi buta adalah contoh yang aku kenal. Mereka niat kuliah dari rumah, memanfaatkan kesempatan beasiswa, lalu jalan-jalan lain menyusul terbuka.

Tapi, mahasiswa kok kerja jadi pembantu? Apa tidak malu kalau teman-teman kampus tahu?
Mengapa harus malu? Kerja menggerakkan tangan sendiri, meneteskan keringat sendiri, membantu orang lain yang tidak punya kemampuan dan kesempatan untuk membereskan rumahnya, jelas upahnya sangat halal. Nilai positif lainnya, ia juga bisa membangun reputasi sebagai pemasak dan penyetrika yang handal, dan itu sangat mendukung untuk bekal menjadi pengusaha di bidang catering dan laundry.

Di beberapa negara maju, justru mahasiswa akan sangat malu jika biaya hidupnya masih ditanggung orang tuanya, karena itu berarti mereka tidak mandiri, padahal mereka bukan anak-anak lagi, punya tenaga yang kuat dan punya waktu luang. Melewatkan waktu luang tanpa hasil yang kongkrit adalah sesuatu yang tidak membanggakan.

Aku pernah bertemu dengan seorang mahasiswa S2 di Sydney yang bekerja sebagai kuli angkat barang, padahal, kata teman-temannya, ia anak seorang pejabat tinggi di Jakarta. Waktu rombonganku baru tiba, anak pejabat itu mengangkat koper besar dan berat dua sekaligus, dan ia menceritakan bahwa di luar waktu kuliah ia memang kerja sebagai kuli angkut. Kalau mau memanfaatkan fasilitas ayahnya, mungkin ia tidak perlu bersusah payah seperti itu.

Tentu saja pekerjaan paruh waktu yang tersedia bukan hanya di sektor  rumah tangga. Di antara banyak mahasisa kampusku, aku tahu puluhan yang bekerja di luar jam kuliahnya, ada yang buka usaha mandiri berjualan makanan, kerja di warung orang lain, mengasuh anak, memberi les, menjadi tukang foto kopi, pengantar jemput anak sekolah, buka toko baju, desainer, dan lain-lain. Mereka tidak malu, meskipun diketahui teman-teman sekelasnya, bahkan banyak juga yang kuliah sambil membawa jajanan buatannya sendiri, dijual kepada teman-temannya. Aku sering berjumpa mereka di tempat-tempat kerjanya.

Anak asuhku yang lain bekerja sebagai guru ekstrakurikuler di tiga sekolah sekaligus berjualan keperluan sekolah. Ada pula yang kerja di tiga tempat yang berbeda, dengan pengaturan hari sedemikian rupa agar tidak mengganggu waktu kuliah dan pengerjaan tugas. Itupun masih ditambah aktif di organisasi kemahasiswaan.

Apa tidak repot bagi waktu?

Tentu repot, kalau tidak repot namanya bukan perjuangan. Kalau tidak ada perjuangan, bagaimana kemauan dapat menjadi kenyataan?








Tugas untuk UTS Mata Kuliah Studi Feminisme Mahasiswa Filsafat Agama



1.       Temukan seorang perempuan yang menurut Anda inferior dan mengalami opresi oleh suami atau kekasihnya. Deskrisikan alasan Anda mengangapnya inferior dan teropresi!
Lakukan wawancara dengannya mengenai inferioritas serta opresinya, meliputi mulai kapan merasa inferior, mengapa, persepsinya tentang inferioritas dan opresi, pernahkan melakukan upaya perlawanan, jika pernah dengan cara apa, bagaimana hasilnya, apa harapannya, dan lain-lain.
2.       Temukan seorang laki-laki yang menurut Anda superior dan melakukan opresi terhadap kekasih atau istrinya. Deskripsikan alasan Anda menganggapnya superior dan mengopresi. Lakukan wawancara tentang superioritas dan pengalamannya melakukan opresi.
Laki-laki dan perempuan dalam point 1 dan 2 boleh merupakan sepasang suami istri atau kekasih, boleh pula tidak berpasangan satu sama lain.
3.       Temukan perempuan yang menurut Anda memiliki sifat-sifat maskulin cukup dominan. Lakukan wawancara dengannya tentang maskulinitasnya.
4.       Analisalah data yang Anda peroleh dengan teori-teori feminism yang telah dibahas dalam kuliah, Anda boleh memilih satu atau lebih teori.
Ketentuan tulisan: Gaya penulisan artikel popular, minimal 1500 kata, nama disamarkan, tapi data harus valid, menggunakan referensi ilmiah. Ditayangkan di blog maksimal hari Selasa 19 April 2016.

Selamat mengerjakan.


CARA INDAH ITU BERNAMA "TERIMA KASIH"



Pada suatu perjalanan dengan bis, aku bersama semua kru dan penumpang beristirahat di sebuah rumah makan. Selesai makan aku menuju mushola yang terletak di sampingnya, waktu itu pukul 10 pagi. Usai shalat, ketika sedang bersiap memakai sepatu lagi tiba-tiba dua orang pemuda yang melintas dari toilet, salah satu di antara mereka menyapaku.

“Shalat subuh kesiangan ya Mbak?”

“Bukan. Saya shalat duha”

“Oooh, shalat yang gunanya untuk minta rejeki ya, untuk menurunkan rejeki yang masih tergantung di langit ? Memangnya Mba tidak yakin kalau tidak shalat duha rejekinya akan diturunkan ke bumi?”
Aku sempat terkejut mendengar pertanyaannya yang di telingaku terasa ketus. Tapi segera aku tersenyum dan menjawab:

“Selama saya hidup saya yakin akan selalu ada rejeki untuk saya di bumi, karena Tuhan tidak menciptakan manusia untuk menjadi terlantar. Hanya saja, rejeki apa yang pantas untuk saya, harus saya usahakan sendiri. Apakah saya hanya pantas mendapatkan udara untuk bernafas, atau udara dan sekedar makanan, atau udara, makanan enak, pakaian bagus sayalah yang harus berusaha memantaskan diri. Begitu pula setelah menerima, harus tetap memantaskan diri”

“Jadi Mba shalat duha agar pantas dapat rejeki banyak? Berati Mba mendikte Tuhan”

“TIdak. Saya memantaskan diri dapat rejeki yang cukup dengan bekerja, sedangkan saya shalat duha untuk berterima kasih atas semua rejeki yang pernah saya terima. Dengan demikian saya telah berusaha menjadi hamba yang pantas alias sopan. Kamu pasti tahu sopan santun orang yang menerima pemberian harus melakukan apa? Paling tidak mengucapkan terima kasih, jika bisa lebih alangkah sopannya berterima kasih dengan perbuatan, terutama perbuatan yang disukai si pemberi. Saya meyakini shalat sunat adalah perbuatan yang disukai Tuhan, maka saya lakukan sebagai ucapan terima kasih saya pada-Nya”

“Dan berharap agar rejeki selanjutnya ditambah kan? Sama saja mendikte Tuhan, merayu dengan perbuatan, itu namanya ibadah Mba sifatnya transaksional, tidak ikhlas. Mungkin Mba kalau memberi kepada orang lain juga melihat-lihat dulu apakah ia berterima kasih apa tidak, kalau berterima kasih besok akan Mba beri lebih banyak. Mba mengukur Tuhan dengan sifat Mba sendiri”
“Itu hakmu membuat kesimpulan demikian. Hak saya juga meyakini bahwa janji Tuhan adalah kebenaran. Saya beriman kepada Tuhan dan segala firman-Nya, termasuk firman untuk menambah nikmat bagi siapa saja yang pandai berterima kasih, dan ancaman akan mendapat siksa bagi siapa saja yang tidak mau berterima kasih, entah siksa itu di dunia ataupun kelak di akherat. Hak saya juga memilih cara berterima kasih yang paling saya mampu dan saya sukai, termasuk dengan shalat duha, dan lain-lain”

Obrolan kami berlanjut sampai di atas bis. Ia sengaja pindah kursi di sebelahku, mungkin masih ingin mendebatku.

“Seandainya Mba adalah ibu saya, pasti Mba tidak bahagia punya anak seperti saya. Saya ini pemalas, tiap hari bangun kesiangan, pulang malam karena selalu begadang dengan teman-teman, nilai kuliah saya jelek, kalau di rumah saya tidak pernah membantu orang tua, tapi untungnya orang tua saya ikhlas punya anak saya, mereka tidak pernah mengurangi jatah makan saya, tidak menghentikan uang saku, fasilitas saya tidak ada yang dicabut, sepeda motor, HP, laptop, uang kontrakan, semua diberikan dengan tulus, walaupun saya tidak pernah berterima kasih, bahkan dengan ucapan sekalipun. Malah saya sering marah-marah jika masakan ibu tidak enak atau ayah telat mengirimkan uang. Saya bangga pada orang tua saya yang ikhlas menerima takdir jadi orang tua saya, mereka tidak menyiksa saya, tidak mengurangi fasilitas apapun yang biasa saya terima”

“Bisa jadi orang tuamu memperlakukanmu demikian karena sangat berterima kasih pada Tuhan, biarpun amburadul dan sering marah-marah kamu masih diberi anugrah bisa bicara, mungkin mereka membandingkan dengan anak orang lain yang bisu. Biarpun kamu pemalas, tapi kamu masih bisa makan sendiri, bisa jadi mereka membandingkanmu dengan anak-anak yang tidak punya tangan dan kaki dan harus disuapi, harus dicebokin, harus diangkat kemana-mana. Biarpun kamu nilainya jelek, tapi kamu tidak perlu jadi pasien rumah sakit jiwa yang merepotkan dan memalukan.

Bisa jadi orang tuamu sabar punya anak yang membanggakan kebodohan dan ketidakbergunaan karena membandingkan dengan anak orang lain yang penyakitan dan butuh banyak uang untuk berobat, paling tidak memeliharamu bisa menghemat uang agar tidak sakit. Apa kamu bangga ketika orangtuamu menggunakan standar syukur orang tua yang anaknya penyakitan, bisu, orang tidak punya tangan dan kaki plus gila, sementara sebenarnya kamu sehat jasmani rohani dan anggota badanmu lengkap. Saya mengapresiasi kesabaran orang tuamu, tapi terus terang saya mengecam kebanggaanmu pada kebodohanmu, kemalasanmu dan ketidaksantunanmu pada orang tua. Tidak pantas pemuda berperilaku semacam itu”

Jawabanku yang panjang itu akhirnya membuatnya tidak perlu berkata apa-apa lagi.

Menjelang turun, ia minta alamat kontakku.

Tadi pagi ia mengirimiku email. Isinya kurang lebih demikian:

“Mba Zulfa, dari hati yang paling dalam saya menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kecaman yang Mba sampaikan dulu waktu di bis. Sungguh saya terus terbayang kata-kata Mba tentang perbandingan saya dengan orang gila dan cacat. Saya yang selama ini nyaman dengan keadaan saya tiba-tiba menjadi risau, benarkah orang tua saya selama ini tulus menerima saya, atau terpaksa menerima daripada saya gila dan cacat. Setelah itu, saya menguji ketulusan beliau berdua. Selama libur semester dan tinggal di rumah, saya bangun pagi, saya berjuang agar mereka melihat saya shalat subuh setiap hari, saya membantu dan menemani ibu di dapur, saya belajar setiap malam sambil menemani ayah di rumah, tidak lagi begadang dan pulang larut malam.
Mba tahu apa yang terjadi? Ketika saya tunjukkan nilai semester kemarin, tiba-tiba saya diberi hadiah sepeda motor baru, uang saku saya ditambah, ayah dan ibu sekarang lebih sering tersenyum, wajahnya lebih cerah. Ternyata benar, setulus-tulusnya orang tua saya menerima saya yang pemalas dan berakhlak buruk, mereka lebih tulus menerima saya yang rajin, pintar dan sopan. Terima kasih telah menjelaskan makna penting terima kasih kepada saya. Sekarang saya lebih bahagia bersama orang tua saya”.

Aku berkaca-kaca membaca emailnya.

Aku makin meyakini bahwa berterima kasih adalah cara paling indah untuk memantaskan diri, entah sebagai hamba, anak, istri, teman, sahabat, orang tua, atau lainnya.

Terima kasih telah membaca tulisan ini..

Pengunjung Blog