Pada suatu perjalanan
dengan bis, aku bersama semua kru dan penumpang beristirahat di sebuah
rumah makan. Selesai makan aku menuju mushola yang terletak di
sampingnya, waktu itu pukul 10 pagi. Usai shalat, ketika sedang bersiap
memakai sepatu lagi tiba-tiba dua orang pemuda yang melintas dari
toilet, salah satu di antara mereka menyapaku.
“Shalat subuh kesiangan ya Mbak?”
“Bukan. Saya shalat duha”
“Oooh, shalat yang gunanya untuk minta rejeki ya, untuk menurunkan
rejeki yang masih tergantung di langit ? Memangnya Mba tidak yakin kalau
tidak shalat duha rejekinya akan diturunkan ke bumi?”
Aku sempat terkejut mendengar pertanyaannya yang di telingaku terasa ketus. Tapi segera aku tersenyum dan menjawab:
“Selama saya hidup saya yakin akan selalu ada rejeki untuk saya di
bumi, karena Tuhan tidak menciptakan manusia untuk menjadi terlantar.
Hanya saja, rejeki apa yang pantas untuk saya, harus saya usahakan
sendiri. Apakah saya hanya pantas mendapatkan udara untuk bernafas, atau
udara dan sekedar makanan, atau udara, makanan enak, pakaian bagus
sayalah yang harus berusaha memantaskan diri. Begitu pula setelah
menerima, harus tetap memantaskan diri”
“Jadi Mba shalat duha agar pantas dapat rejeki banyak? Berati Mba mendikte Tuhan”
“TIdak. Saya memantaskan diri dapat rejeki yang cukup dengan bekerja,
sedangkan saya shalat duha untuk berterima kasih atas semua rejeki yang
pernah saya terima. Dengan demikian saya telah berusaha menjadi hamba
yang pantas alias sopan. Kamu pasti tahu sopan santun orang yang
menerima pemberian harus melakukan apa? Paling tidak mengucapkan terima
kasih, jika bisa lebih alangkah sopannya berterima kasih dengan
perbuatan, terutama perbuatan yang disukai si pemberi. Saya meyakini
shalat sunat adalah perbuatan yang disukai Tuhan, maka saya lakukan
sebagai ucapan terima kasih saya pada-Nya”
“Dan berharap agar
rejeki selanjutnya ditambah kan? Sama saja mendikte Tuhan, merayu dengan
perbuatan, itu namanya ibadah Mba sifatnya transaksional, tidak ikhlas.
Mungkin Mba kalau memberi kepada orang lain juga melihat-lihat dulu
apakah ia berterima kasih apa tidak, kalau berterima kasih besok akan
Mba beri lebih banyak. Mba mengukur Tuhan dengan sifat Mba sendiri”
“Itu hakmu membuat kesimpulan demikian. Hak saya juga meyakini bahwa
janji Tuhan adalah kebenaran. Saya beriman kepada Tuhan dan segala
firman-Nya, termasuk firman untuk menambah nikmat bagi siapa saja yang
pandai berterima kasih, dan ancaman akan mendapat siksa bagi siapa saja
yang tidak mau berterima kasih, entah siksa itu di dunia ataupun kelak
di akherat. Hak saya juga memilih cara berterima kasih yang paling saya
mampu dan saya sukai, termasuk dengan shalat duha, dan lain-lain”
Obrolan kami berlanjut sampai di atas bis. Ia sengaja pindah kursi di sebelahku, mungkin masih ingin mendebatku.
“Seandainya Mba adalah ibu saya, pasti Mba tidak bahagia punya anak
seperti saya. Saya ini pemalas, tiap hari bangun kesiangan, pulang malam
karena selalu begadang dengan teman-teman, nilai kuliah saya jelek,
kalau di rumah saya tidak pernah membantu orang tua, tapi untungnya
orang tua saya ikhlas punya anak saya, mereka tidak pernah mengurangi
jatah makan saya, tidak menghentikan uang saku, fasilitas saya tidak ada
yang dicabut, sepeda motor, HP, laptop, uang kontrakan, semua diberikan
dengan tulus, walaupun saya tidak pernah berterima kasih, bahkan dengan
ucapan sekalipun. Malah saya sering marah-marah jika masakan ibu tidak
enak atau ayah telat mengirimkan uang. Saya bangga pada orang tua saya
yang ikhlas menerima takdir jadi orang tua saya, mereka tidak menyiksa
saya, tidak mengurangi fasilitas apapun yang biasa saya terima”
“Bisa jadi orang tuamu memperlakukanmu demikian karena sangat berterima
kasih pada Tuhan, biarpun amburadul dan sering marah-marah kamu masih
diberi anugrah bisa bicara, mungkin mereka membandingkan dengan anak
orang lain yang bisu. Biarpun kamu pemalas, tapi kamu masih bisa makan
sendiri, bisa jadi mereka membandingkanmu dengan anak-anak yang tidak
punya tangan dan kaki dan harus disuapi, harus dicebokin, harus diangkat
kemana-mana. Biarpun kamu nilainya jelek, tapi kamu tidak perlu jadi pasien rumah sakit jiwa yang merepotkan dan memalukan.
Bisa jadi orang tuamu sabar punya anak yang membanggakan kebodohan dan
ketidakbergunaan karena membandingkan dengan anak orang lain yang
penyakitan dan butuh banyak uang untuk berobat, paling tidak
memeliharamu bisa menghemat uang agar tidak sakit. Apa kamu bangga
ketika orangtuamu menggunakan standar syukur orang tua yang anaknya
penyakitan, bisu, orang tidak punya tangan dan kaki plus gila,
sementara sebenarnya kamu sehat jasmani rohani dan anggota badanmu
lengkap. Saya mengapresiasi kesabaran orang tuamu, tapi terus terang
saya mengecam kebanggaanmu pada kebodohanmu, kemalasanmu dan
ketidaksantunanmu pada orang tua. Tidak pantas pemuda berperilaku
semacam itu”
Jawabanku yang panjang itu akhirnya membuatnya tidak perlu berkata apa-apa lagi.
Menjelang turun, ia minta alamat kontakku.
Tadi pagi ia mengirimiku email. Isinya kurang lebih demikian:
“Mba Zulfa, dari hati yang paling dalam saya menyampaikan terima kasih
yang sedalam-dalamnya atas kecaman yang Mba sampaikan dulu waktu di bis.
Sungguh saya terus terbayang kata-kata Mba tentang perbandingan saya
dengan orang gila dan cacat. Saya yang selama ini nyaman dengan keadaan
saya tiba-tiba menjadi risau, benarkah orang tua saya selama ini tulus
menerima saya, atau terpaksa menerima daripada saya gila dan cacat.
Setelah itu, saya menguji ketulusan beliau berdua. Selama libur semester
dan tinggal di rumah, saya bangun pagi, saya berjuang agar mereka
melihat saya shalat subuh setiap hari, saya membantu dan menemani ibu di
dapur, saya belajar setiap malam sambil menemani ayah di rumah, tidak
lagi begadang dan pulang larut malam.
Mba tahu apa yang terjadi?
Ketika saya tunjukkan nilai semester kemarin, tiba-tiba saya diberi
hadiah sepeda motor baru, uang saku saya ditambah, ayah dan ibu sekarang
lebih sering tersenyum, wajahnya lebih cerah. Ternyata benar,
setulus-tulusnya orang tua saya menerima saya yang pemalas dan berakhlak
buruk, mereka lebih tulus menerima saya yang rajin, pintar dan sopan.
Terima kasih telah menjelaskan makna penting terima kasih kepada saya.
Sekarang saya lebih bahagia bersama orang tua saya”.
Aku berkaca-kaca membaca emailnya.
Aku makin meyakini bahwa berterima kasih adalah cara paling indah untuk
memantaskan diri, entah sebagai hamba, anak, istri, teman, sahabat,
orang tua, atau lainnya.
Terima kasih telah membaca tulisan ini..