Seorang perempuan muda
sedang menimang bayinya yang belum berumur satu tahun. Sambil menyuapi,
ia tampak ceria mengajak anaknya itu berbicara. Aku di dekat mereka
sambil menikmati teh hangat buatannya.
“Anak Bunda yang cantik… sholehah ya Nak..? Amin…”
“Kamu serius dengan doamu?”tanyaku.
“Ya pastilah…. Semua ibu pasti serius banget berdoa agar anaknya
sholeh-sholehah? Tiap malam aku bangun untuk tahajud, minta agar
keturunanku jadi anak yang berbakti, berguna bagi nusa bangsa dan agama”
“Tapi kamu masih memusuhi ibumu, bagaimana kamu yakin doamu akan dikabulkan?”
Hampir empat tahun ini dia sering bercerita bahwa hubungannya dengan
ibunya sangat buruk.
Mereka sering bertengkar karena bermacam-macam
persoalan.
“Oh, itu lain urusan. Hubunganku buruk dengan ibuku
karena faktor ibuku, bukan aku. Ibuku yang salah. Ibu yang durhaka. Aku
sudah mati-matian jadi tulang punggung keluarga, tapi apa balasannya?
Aku titip perhiasan malah dijual, dipakai biaya ini-itu tanpa seijinku,
kata tetanggaku dipakai foya-foya. Aku kerja banting tulang, kepala jadi
kaki, kaki jadi kepala tapi yang di rumah enak-enakan. Giliran aku
pulang, nggak ada yang nganggap aku, seolah-olah mereka tidak pernah
makan keringatku. Sakit tau! Sekarang aku sudah menikah, apa ibuku
pernah peduli padaku, jangankan mengunjungiku, menelpon saja tidak
pernah. Beda sama anak-anak lain. Aku dianaktirikan!”
“Kelak,
dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian, bisa saja anakmu mengatakan
hal yang sama.
Bahwa hanya karena berbeda pendapat, atau karena adu
domba orang lain, dia mengemukakan beribu alasan untuk tidak bersikap
baik padamu, lalu melupakan semua kasih sayangmu, menolak bersilaturahim
padamu. Jika itu terjadi, kamu siap apa tidak?”
Aku tidak mendengar ia menjawab. Tapi dari matanya tiba-tiba ada sebutir kristal yang nyaris jatuh.
Aku sudah puluhan kali mendengar cerita sejarah memburuknya hubungan
temanku ini dengan ibunya. Yang jelas, antara cerita versi dia dan versi
ibunya bertolak belakang. Bahwa ibunya tidak pernah mengunjungi, itu
bukan karena tidak mau, melainkan tidak pernah berhasil menemukan alamat
rumah anaknya yang sepertinya dirahasiakan. Bahwa ibunya tidak
menelpon, bukan karena tidak ingin, tapi sangat takut, karena pernah
dibentak-bentak dan diceramahi panjang lebar dengan penuh kemarahan.
Bahwa tuduhan tentang berfoya-foya adalah fitnah semata, yang benar
ibunya terdesak membiayai pengobatan ayahnya menjelang meninggal dan
membiayai adik-adiknya. Kesalahannya adalah tidak minta ijin, kesalahan
itulah yang ingin ditebus dengan bicara baik-baik, apakah dikategorikan
hutang atau bagaimana, tapi dialog telah buntu. Terus terang aku sudah
bosan mendengarnya.
Melihat kristal di matanya, aku terdorong untuk mengatakan sesuatu, berharap situasi akan berubah lebih baik.
“Tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat kesalahan, maka
disediakanlah kata maaf. Kita wajib meminta maaf ketika kita salah, dan
alangkah luhurnya orang yang mengabulkan permintaan maaf sesamanya.
Maaflah yang membuat beban berat menjadi ringan. Jika sampai tua kau
pikul beban menyalahkan ibumu, hidupmu akan sangat berat, nuranimu pasti
berontak, karena tak bisa diingkari, air susu ibumu telah menyatu dalam
darahmu.
Akalmu bisa saja mengatakan ibumu mencuri
perhaiasanmu, nafsu marahmu bisa saja menuruti omongan tetanggamu bahwa
uangmu dipakai foya-foya, tapi hatimu akan menolak. Ada saatnya, hatimu
dengan jujur mengakui bahwa kau bahagia karena hartamu bisa meringankan
masalah ibumu dulu, bahwa karena harta itu adik-adikmu lulus sekolah,
bahwa ayahmu meninggal dalam perawatan yang dibiayai oleh kerja kerasmu.
Jika datang saatnya hatimu berkata demikian, itulah kau yang
sesungguhnya. Kau, sang anak yang tulus berkorban, dari ibu yang
berkorban jauh lebih besar. Membuat perbandingan matematis hanya akan
membuatmu malu, uangmu yang dipakai tanpa seijinmu tidak sebanding
dengan belaian sayangnya, perawatan, pendidikan, dan doa-doanya.
Bayangkan jika anakmu memperlakukanmu kelak seperti kau memperlakukan
ibumu saat ini”
“Aku akan berusaha sebaik mungkin mendidik anakku
agar dia tahu berterima kasih, aku juga akan menjadi ibu yang benar,
belajar dari sakitnya pengalamanku didzalimi aku tidak akan mendzalimi
anakku. Aku akan menjadi ibu yang adil”
“Ya, niat baik boleh
saja, usaha agar niat itu terwujud adalah kewajiban. Tapi, apa yang bisa
kita lakukan seandainya niat dan usaha kita digagalkan oleh Yang Maha
Kuasa. Kita dan anak-anak adalah generasi yang berbeda, yang dilingkupi
oleh perubahan nilai, apa yang kita anggap benar sekarang, belum tentu
benar menurut anak-anak kita kelak, mereka akan mendapat informasi dan
pengetahuan yang berbeda dari apa yang kita ketahui sekarang. Itu pula
yang mungkin terjadi pada kau dan ibumu, perbedaan pendapat yang
berhenti diperbincangkan karena terlanjur ada kemarahan. Kau mestinya
mengubah sikapmu, perlakukan ibumu lebih wajar. Berbaikanlah”
“Tapi ibuku yang salah, kenapa aku yang harus memulai berbaikan?”
“Sampai kiamat tidak akan terjadi perbaikan kalau isi pikiranmu terus
menyalahkan, sekali-kali akuilah kesalahanmu, satu saja dulu. Bahwa kau
membentak-bentak, memarahi dengan kasar, itu jelas kesalahan. Tidak ada
ajaran moral manapun yang membenarkan seorang anak berbuat kasar pada
orang tuanya. Mulailah berpikir dari titik itu, tutup dulu cerita
tentang uangmu yang hilang. Kamu tahu, ibumu sangat takut menelponmu,
karena trauma dengan kemarahanmu, takut berkata salah kagi dank au
marahi lagi. Apa bisa disebut anak sholehah jika ibunya sendiri sangat
takut mengajak bicara? Beranjaklah dari pemikiran ini, aku yakin kau
akan sangat merindukan peluk hangat ibumu, kau akan sangat berharap
maafnya, kalau perlu mengemis dan mencium kakinya”
“Kalau
orang-orang menertawakan aku, mengatai aku menjilat ludah sendiri
bagaimana? Aku sudah bersumpah untuk tidak kembali pada keluargaku, aku
sudah bertekad membangun hidup baru dengan suami dan anak-anakku”
“Itu sumpah atas nama setan, Tuhan tidak sudi menerimanya, batal demi
hukum. Lupakan sumpah itu, atau kau akan sangat menyesal suatu hari
nanti, dan ketika hari itu datang kau hanya dapat memeluk nisan ibumu”
Kristal-kristal itu menderas menjadi hujan. Hujan yang menurutku
menandakan bahwa saat itu hati nurani sedang memenangkan pertarungan
melawan nafsu yang dikobarkan bertahun-tahun oleh dendam dan perasaan
benar sendiri alias kesombongan. Nafsu yang luruh oleh perasaan manusia
paling mendasar, yaitu cinta dan kebutuhan untuk dimaafkan.
Menurutku, menyimpan dendan dan marah hanya akan membuat hidup terasa
berat, dunia sempit dan langit selalu mendung bertabur petir. Terlebih
pada ibu. Aku tidak sedang bermaksud sok tau tentang takdir atau adzab,
tapi beberapa temanku yang punya sejarah memusuhi, membenci, kasar dan
atau menyia-nyiakan ibunya terbukti harus melalui fase hidup yang amat
sangat sulit, misalnya beruntun tertimpa musibah, usahanya gagal terus,
anaknya gila, sakit parah bertahun-tahun, tingkah anak-anaknya sangat
memalukan, terlilit hutang super besar, cacat tubuh, dan lain-lain.
Sekali lagi, Wallahu A’lam…. aku tidak tahu hubungan antara memusuhi
ibu dengan adzab-adzab tersebut secara pasti, tapi menurutku alangkah
baiknya jika kita mengupayakan terhindar dari keadaan semacam itu dengan
cara berbuat sebaik mungkin kepada ibu, melembutkan suara jika
berbicara dengan beliau, mengupayakan terpenuhinya kebutuhan beliau,
menemaninya berbincang-bincang, mengajaknya jalan-jalan, dan lain-lain.
Tentu kepada ayah juga.
Tanpa ibu dan ayah, manalah kita ada
sekarang. Bagi yang berstatus sebagai orang tua, harapan untuk memiliki
anak yang sholeh-sholehah aku kira harus dimulai dari berusaha menjadi
anak yang sholeh-sholehah bagi orang tua kita. Sehebat apapun upaya kita
mewujudkan impian anak-anak yang sholeh-sholehah, serajin apapun kita
berdoa, semua itu omong kosong jika kita masih membanggakan kedurhakaan
kita pada orang tua kita dan bergeming pada perasaan lebih benar.