Kemarin malam aku terlibat diskusi yang cukup seru dengan para mahasiswi. Tema diskusinya adalah tentang ungkapan-ungkapan masyarakat yang menyasar perempuan belum menikah dan bersifat menggangu kenyamanan dan menghilangkan hak. Diskusi ini diawali oleh pertanyaan salah satu peserta, yaitu:
“Bu, kalau orang tua kita sudah menerima lamaran seseorang
untuk kita, sedangkan kita tidak cocok dengan orangnya apa kita boleh menolak?
Saya ditakut-takuti nanti nggak laku kalau berani menolak lamaran, sementara
usia saya sekarang 20 tahun, hampir semua teman saya di kampung sudah menikah,
kalau saya menolak katanya orang tua akan malu, padahal saya betul-betul tidak
menemukan kecocokan dengan dia”
Aku belum menyampaikan pendapatku, peserta lain sudah
menimpali:
“Kata dosenku, perempuan nggak boleh pilih-pilih, kalau
pilih-pilih nanti keburu jadi perawan tua, nggak laku baru tau rasa. Aku nggak
setuju banget dengan pernyataan ini, tapi nggak bisa menyusun alasan buat
membantah”
Tidak laku?
Mungkin semua orang pernah mendengar atau mengatakan kata
tidak laku yang ditujukan kepada orang yang belum bertemu jodohnya alias belum
menikah. Kata-kata ini adakalanya diucapkan untuk merendah, adakalanya untuk
mengejek, adakalanya pula untuk menakut-nakuti. Aku sendiri karena tidak setuju
dengan istilah ini, sangat menghindari agar jangan sampai mengucapkan, baik
untuk diri sendiri maupun orang lain, termasuk untuk bercanda. JIka yang
mendengar kebetulan sedang sensitif, sebutan semacam ini bisa saja dimaknai
sebagai intimidasi atau bahkan terror yang menyakitkan. Menurutku ada banyak
sebutan lain yang lebih nyaman didengar, misalnya lajang, gadis, perawan,
jejaka, atau single.
Kembali pada dua pertanyaan di atas, berdasarkan
pengamatanku, perempuan memang lebih rentan ditakut-takuti tidak laku daripada
laki-laki. Pada usia 25 misalnya, laki-laki mungkin baru mulai diolok-olok
tidak laku, tapi perempuan, pada umumnya
sudah sangat kenyang menelan olok-olok itu. Modus menakut-nakuti itu salah
satunya dengan kalimat “Jangan pilih-pilih”. Akibatnya, kalau dalam usia
tertentu belum menikah, rentan dituduh, “Kelamaan pilih-pilih sih”, “terlalu
idealis”, “terlalu mengejar yang sempurna”, dan sejenisnya, yang mengandung
arti tersirat seolah-olah perempuan telah kehilangan hak pilih jika sudah
melewati usia tertentu, dan ditekankan untuk menerima saja siapapun yang
mendekati.
Menurutku, kalimat ini mengandung unsur ketidakadilan. Bagaimana
bisa hak memilih pasangan dibatasi dengan umur tertentu. Umur 50 sekalipun menurutku
tetap berhak memilih, apakah memilih sendiri atau menikah, jika memilih menikah
dia berhak memilih pasangan yang cocok dengan seleranya, dia juga berhak
menolak ajakan menikah orang yang tidak cocok dengan seleranya. Mengapa? Karena
yang menjalani hidupnya adalah dia sendiri, suka dukanya dia yang akan
merasakan, yang berhak menetapkan ukuran bahagia buat hidupnya adalah dia
sendiri.
“Kalau ketuaan nanti makin nggak laku. Susah dapat keturunan”,
kadang-kadang ada juga yang berargumen semacam ini.
Aku mengenal banyak teman yang terprovokasi oleh kalimat
semacam ini, memutuskan menikah semata-mata karena pertimbangan umur, dan
menjadikan unsur kecocokan sebagai pertimbangan terakhir. Akibatnya, dia dan
pasangannya harus melewati terlalu banyak waktu untuk menyesuaikan, untuk
mengenal, untuk menahan perasaan ketidakcocokan. Bayangan tentang indahnya
hidup dalam ikatan yang halal menguap seiring banyaknya ketidakcocokan yang aru
ditemukan kemudian. Sebagian dari mereka sukses menemukan kecocokan setelah
berjuang berdarah-darah, sebagian lagi menyerah karena tidak kuat.
Dalam situasi semacam ini, apakah orang-orang yang dulu
menakut-nakuti “tidak laku” akan turut menanggung deritanya? Mustahil. Mereka
entah sedang apa, mungkin sedang menakut-nakuti perempuan lain yang belum menikah,
nanti jika bertemu bisa jadi hanya akan menambah komentar lagi, “Yang sabar ya…
hidup memang butuh perjuangan“.
Memang betul, hidup butuh perjuangan. Tapi ada beberapa
jenis perjuangan yang tidak perlu dilalui, jika antara suami dan istri menikah
atas dasar banyaknya kecocokan, bukan sekedar atas dasar umur atau takut tidak
laku. Apa indahnya pernikahan kalau sebagian besar waktunya habis dipakai untuk
berkorban perasaan akibat ketidakcocokan? Bukan indah, tapi lelah. Oleh karena
itu, menurutku, perempuan harus memiliki keberanian menentukan sikap, berani
untuk menggunakan hak pilihnya tanpa tekanan.
Bagaimana kalau akibat penolakan itu keluarga menjadi malu?
Lebih baik malu sebentar di awal, daripada menderita berkepanjangan
hanya karena menuruti kehendak orang lain dan mengingkari hati nurani sendiri. Logikanya,
membatalkan lamaran yang sudah disetujui pihak orang tua mungkin akan
digunjingkan. Tapi, gunjingan itu akan berhenti sendiri ketika kita menemukan
pasangan yang tepat. Atau, jikapun belum, biarkan saja mereka bergunjing, toh
bergunjingnya tidak meminjam mulut kita. Ada baiknya sesekali kita mengabaikan
gunjingan orang, jika menurutinya tidak membuat kita merasa lebih baik.
“Bu, ada orang mau melamarku, tapi waktu aku diskusi tentang
rencana masa depan dengan dia ada hal yang aku berat sekali menerimanya. Dia
ingin aku tinggal bersama orang tuanya, karena dia anak bungsu, sementara aku
tahu bahwa orang tuanya sangat bawel, suka ngatur, aturannya kuno pula,
menantu-menantunya yang tidak tinggal serumah saja pada stress kalau pas
datang. Aku keberatan kalau harus tinggal di sana, tapi dia nggak bisa
ninggalin orang tuanya, karena ingin berbakti. Apa boleh aku menolak lamaran
dia dengan alasan tidak sanggup tinggal dengan orang tuanya, padahal kan itu
bentuk baktinya dia, berarti kan dia orang baik”
“Boleh saja. Itu hakmu. Berbakti pada orang tua adalah
kewajiban dia, jika cara menjalankan kewajibannya tidak cocok dengan
kepentinganmu boleh saja kamu menolaknya. Bisa jadi nanti dia akan berjodoh
dengan perempuan yang memang dianugerahi kekuatan untuk tinggal dan melayani
orang tuanya dengan enjoy, jika kamu tidak yakin akan enjoy ya tidak perlu
memaksakan diri. Tapi jika kamu punya banyak kecocokan dengan laki-laki itu,
lalu berkomitmen untuk bersama-sama berbakti ya harus konsekwen. Apapun yang
terjadi, kalian harus saling mendukung”
Aku setuju, menikah itu perlu direncanakan arahnya. Diskusi
dengan kandidat suami atau istri tentang arah rumah tangga yang akan dibangun
adalah hal yang penting. Kenapa? Karena pernikahan bukan sekedar urusan
menghalalkan hubungan antar dua jenis kelamin yang berbeda. Sekali lagi bukan
sebatas itu. Ada banyak hal lain yang akan sangat menentukan bahagia atau tidaknya
suami istri
Selain soal kehalalan hubungan seksual, pernikahan juga soal
bagaimana hidup bersama, soal silaturahim antara dua keluarga, soal ekonomi,
soal tangung jawab kepada pasangan dan keturunan. Jika tidak direncanakan
dengan matang, bisa saja kelabakan di belakang hari, sementara persoalan sudah
makin menumpuk dari berbagai sisi. Misalnya, sudah punya anak, masih tinggal
bersama mertua dan saudara-saudara ipar yang perilakunya kurang bersahabat,
tidak punya privasi, tidak punya kedaulatan mengatur rumah tangga sendiri,
terlalu dicampuri dalam urusan mendidik anak, dan lain-lain. Menurutku, sangat
baik ketika dalam fase merencanakan nikah diadakan dialog atau diskusi secara
jujur, agar masing-masing tahu batas kesanggupan pasangannya.
Contoh, aku pernah mendiskusikan soal tugas-tugas
kerumahtanggaan sebelum menikah. Aku katakan dengan jujur, “Aku tidak sanggup
mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga setiap hari, aku tidak punya kemampuan
begitu”. Dia menjawab, “Aku tidak menuntutmu melakukannya, itu tidak akan
menjadi tanggung jawabmu sendirian, tapi tanggung jawab kita, soal
pelaksanaannya fleksibel, bisa kita kerjakan bersama, bisa kita limpahkan orang
yang ahli”. Karena jawabannya begitu, maka aku mau. Jika semua dilimpahkan
menjadi tanggung jawabku, aku pastikan menolak menjadi istrinya.
Bagaimana hasilnya? Selama menikah, kami konsekwen dengan
kesepakatan, sehingga belum pernah mengalami konflik hanya gara-gara aku tidak
memasak, tidak mencuci piring atau tidak menyapu.
“Yang penting nikah dulu, hubungan halal, urusan lain
belakangan”
Boleh saja bersemboyan begitu, tapi harus konsekwen. Jika
ada pahit getirnya jangan menyalahkan siapa-siapa, tapi nikmati sepenuh hati.
Jika tidak, bagaimana bisa akan bahagia?
0 Response to "PEREMPUAN MENGHADAPI PROVOKASI “TIDAK LAKU”"
Posting Komentar