KEBIJAKAN PENUTUPAN RUMAH MAKAN PADA BULAN RAMADHAN

 (Sebuah Kajian Identitas Islam di Ruang Publik dalam Perspektif Gender)
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan publik berupa penutupan rumah makan pada bulan Ramadhan dalam perspektif gender. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek gender, baik dalam proses perumusan maupun implementasinya disebut kebijakan yang buta gender (gender blinded). Adapun istilah yang lazim dipakai untuk menyebut kebijakan yang bersifat sebaliknya adalah kebijakan sensitif gender, kebijakan peka gender dan kebijakan responsif gender. Signifikansi dan relevansi perspektif gender dalam kajian ini adalah karena hukum puasa itu sendiri mengenal pembedaan berbasis jenis kelamin. Menurut Naila Kabeer (1994)kebijakan publik yang buta gender berpotensi menimbulkan dampak ketidakadilan gender bagi salah satu pihak, bisa laki-laki atau perempuan. Dihubungkan dengan pendapat david Easton (1994) seagaimana dikutip Thomas Dye ( bahwa dalam setiap kebijakan publik selalu melekat nilai-nilai tertentu yang hendak disosialisasikan oleh pembuat kebijakan yaitu pemerintah kepada masyarakat. Kebijakan yang buta gender rawan  menjadi instrumen untuk melanggengkan nilai-nilai dan peran gender yang tidak adil.
Kata kunci : kebijakan publik, penutupan rumah makan, gender.

pentupan Tempat Makan di Bulan Puasa
  1. A.    Pendahuluan
Tulisan ini memfokuskan kajiannya pada salah satu fenomena yang lazim terjadi di Indonesia, yaitu penutupan rumah makan pada bulan Ramadhan. Sebagaimana diketahui, demi menghormati umat muslim yang menjalankan puasa banyak warung atau rumah makan yang menutup usahanya pada siang hari, bahkan ada yang tutup pada malam hari juga. Bagi sebagian pengusaha rumah makan yang beragama Islam penutupan ini sekaligus juga dimaknai sebagai waktu cuti setelah sebelas bulan bekerja. Namun demikian, tidak semua rumah makan yang tutup di bulan puasa didasari oleh keinginan sendiri, melainkan karena melaksanakan kebijakan pemerintah daerah setempat. Dengan alasan menciptakan suasana yang kondusif bagi umat muslim yang sedang menjalankan puasa, beberapa daerah membuat kebijakan yang melarang rumah makan buka di siang hari. Larangan juga umumnya berlaku bagi tempat-tempat hiburan malam seperti bar, kafe, diskotik, juga lokalisasi pekerja seks.
Perspektif yang dipakai untuk melihat fenomena penutupan rumah makan dalam tulisan ini adalah perspektif gender. Signifikansi perspektif gender ini adalah karena hukum puasa itu sendiri mengenal pembedaan berbasis jenis kelamin. Bahwa karena kekhususan alat reproduksinya, perempuan dewasa adakalanya boleh tidak berpuasa dan adakalanya haram berpuasa. Dalam kajian gender, kekhususan karakteristik jenis kelamin hampir selalu diikuti oleh perbedaan peran sosial dan budaya yang pada keadaan dan tingkat tertentu menimbulkan dampak berupa ketidakadilan pada salah satu pihak. Kesimpulan yang diharapkan adalah apakah kebijakan penutupan rumah makan di bulan puasa itu merupakan kebijakan yang sensitif gender atau sebaliknya, merupakan kebijakan yang buta gender. Kebijakan yang buta gender berpotensi menimbulkan ketidakadilan gender, yakni ketidakadilan yang berdasarkan jenis kelamin, bisa laki-laki atau perempuan.
  1. B.     Pembahasan
    1. 1.      Tren Kebijakan Penutupan Rumah Makan di Bulan Ramadhan
Di Indonesia yang secara formal memiliki populasi muslim terbesar di dunia, perintah puasa diterjemahkan bukan sekedar ibadah individual yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing  orang, melainkan dalam tingkat tertentu telah menjadi landasan kebijakan pemerintah dan gerakan kolektif beberapa kelompok masyarakat. Beberapa kebijakan pemerintah, khususnya di tingkat kabupaten dan kota yang banyak diberlakukan dalam bulan puasa  adalah perintah menutup tempat hiburan malam yang rawan menjadi tempat mabuk-mabukan, judi dan zina, perintah menutup lokalisasi pekerja seks dan perintah untuk menutup warung makan pada siang hari.  Daerah yang memberlakukan kebijakan ini antara lain Kota Cilegon, yaitu melalui Instruksi Wali Kota Cilegon, Nomor 556.322/2039/Pol PP, tentang penutupan penyelenggaraan hiburan selama bulan suci Ramadan, tertanggal 21 Juli 2011. Tb. Iman Ariyadi, dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa kebijakannya itu mendasarkan pada Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 2 tahun 2003, tentang perizinan penyelenggaraan tempat hiburan, khususnya pasal 22 ayat (1), yang mengatur bahwa tempat hiburan jenis karaoke, live musik, dan biliard, baik sebagai sarana penunjang maupun usaha khusus dilarang menyelenggarakan kegiatan hiburan tiga hari sebelum dan tiga hari setelah lebaran.[1] Dalam intruksi ini rumah makan dimasukkan sebagai tempat usaha yang juga harus berhenti menjalankan usahanya pada pagi dan siang hari. Selain kota Cilegon, beberapa daerah lain yang memberlakukan kebijakan serupa adalah Kota Palangkaraya, Kota Padang dan Kota Pakanbaru, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tembilahan Riau dan Cianjur yang menggunakan instrumen hukum berupa Surat Edaran Bupati atau Walikota.[2]
Demi tegaknya kebijakan ini, pemerintah daerah yang bersangkutan pada umumnya menggelar razia di tempat-tempat yang telah dilarang beroperasi tersebut. Razia ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja yang memang salah satu tugasnya adalah menegakkan peraturan daerah dan kebijakan lokal. Namun tidak hanya oleh mereka, razia tidak jarang juga dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti Front Pembela Islam Selama bulan Ramadhan 1432 razia rumah makan antara lain pernah dilakukan oleh Lasykar pembela Islam yang merupakan underbow FPI melakukan razia rumah makan di kota Makassar pada 12 Agustus 2011, [3]. Di Cianjur razia dilakukan oleh gabungan Satpol Pamong Praja, Majelis Ulama Indonesia dan Polres setempat.[4]
Kebijakan penutupan rumah makan ini di satu sisi di sambut gembira oleh sementara kalangan tetapi di sisi lain juga mengundang kritik dan protes. Akan tetapi kritik dan protes yang disampaikan tidak mempengaruhi keputusan pimpinan daerah yang bersangkutan untuk membatalkan pemberlakuan kebijakan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan daerah-daerah tersebut yang tetap memberlakukan kebijakan tersebut dari tahun ke tahun. Di samping itu, kritik dan protes umumnya disampaikan secara parsial, misalnya dengan menulis pendapat dan komentar di media massa, jejaring sosial, atau diskusi dengan skala kecil.[5] Belum ditemukan informasi protes terbuka oleh massa yang banyak sebagaimana halnya protes atau penentangan terhadap kebijakan lain seperti penggusuran pedagang kaki lima atau demonstrasi kenaikan tarif angkutan kota.
Alasan yang mendukung adalah penutupan warung makan pada siang hari selama bulan Ramadhan akan menjadikan umat Islam lebih khusyu’ dalam menjalankan puasa karena godaan berupa makanan yang berpeluang menjadikannya batal sudah disingkirkan.[6] Dengan kata lain kebijakan ini dimaksudkan untuk menghormati umat muslim yang sedang menjalankan perintah agamanya.[7] Pendapat lain menyebutkan bahwa secara substansial menjual makanan di siang hari di bulan Ramadhan dengan maksud agar orang bisa memakan makanan tersebut di tempat umum/publik atau bisa diakses oleh publik, baik tertutup atau terbuka termasuk perbuatan asusila atau melanggar kesusilaan, seperti dimaksud pada pasal 281 KUHP.[8] Selain itu, pendapat ini  beralasan bahwa secara formal kebijakan penutupan rumah makan pada siang hari di bulan puasa yang ditetapkan oleh pimpinan daerah, baik melalui peraturan daerah, intruksi bupati atau walikota dan surat edaran adalah sumber hukum yang diakui keabsahannya dalam tata hukum di Indonesia sehingga memiliki kekuatan untuk memaksa.
Protes dari pedagang kurang lebih menyangkut pada berkurangnya pendapatan yang diperoleh para pedagang, kebijakan ini terkesan hanya diperuntukkan bagi pedagang kecil, seperti kedai kaki lima dan warung-warung bermodal kecil, sedangkan restoran besar, terutama yang berada di pusat perbelanjaan modern dan restoran waralaba dari luar negeri dapat dikatakan tidak tersentuh oleh larangan buka di siang hari.[9] Menurut pedagang kebijakan ini sangat diskriminatif. Senada dengan protes ini, sejumlah kalangan menilai bahwa kebijakan ini melanggar hak asasi manusia untuk bekerja dan mendapat penghasilan. Berdasarkan konstitusi dan deklarasi Hak Asasi Manusia, setiap warga Negara memiliki hak atas kebebasan untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak secara kemanusiaan.[10]
Adapun kritik dari masyarakat umum, termasuk sebagian umat Islam adalah bahwa rumah makan adalah ruang publik. Rumah makan didirikan untuk melayani kebutuhan makan semua orang tanpa memandang apa agamanya. Dengan demikian, kebijakan penutupan rumah makan di bulan puasa tidak lain merupakan pemaksaan penerapan identitas Islam di ruang publik yang tidak hanya berisi orang beragama Islam saja dan itu menyebabkan orang selain Islam yang tidak wajib berpuasa kesulitan mendapatkan makanan di ruang publik. Dalam bahasa lain kebijakan ini dianggap sebagai wujud egoisme umat Islam atas umat beragam lain. Dapat dipahami bahwa pendapat ini karena kebijakan penutupan rumah makan tidak diberlakukan pada saat umat agama lain menjalankan ibadah puasa, misalnya agama Katholik.
Kritik lain yang dikemukakan adalah bahwa para mujtahid fiqih secara mutlak sepakat  berpendapat bahwa ada beberapa golongan orang yang tidak diwajibkan berpuasa, antara lain orang sakit, musafir, orang tua renta yang sudah pikun, orang gila, laki-laki atau perempuan. Sebagian orang oleh fiqih bahkan diharamkan berpuasa, mereka adalah perempuan haid dan nifas, dan ini hanya bisa terjadi pada perempuan.  Sedangkan perempuan menyusui dibolehkan memilih untuk berpuasa atau tidak, dengan konsekwensi hukum harus mengganti di lain hari dan atau membayar fidyah. Orang yang tidak wajib dan haram berpuasa sudah barang tentu membutuhkan makanan dan minuman. Orang sakit misalnya, ia butuh makan makanan yang bergizi agar lekas sehat, musafir membutuhkan makanan agar tidak kelelahan di perjalanan, perempuan menyusui yang memutuskan tidak berpuasa karena alasan kesehatan dirinya maupun bayinya tentu saja membutuhkan nutrisi yang hanya dapat diperoleh dari makanan. Demikian juga perempuan haid, selain membutuhkan gizi yang baik untuk keseimbangan tubuhnya setelah mengeluarkan sejumlah darah, ia juga membutuhkan makanan, minuman, vitamin atau obat yang dapat memulihkan kesegaran tubuhnya, khususnya pada perempuan yang mengalami
  1. 2.      Kebijakan Publik dan Perspektif Gender
Menurut Thomas R Dye, kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dipilihi oleh pemerintah untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan (whatever government choose to do or not do)[11]. James E. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah, walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah.[12]
Dari definisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah semua keputusan yang dibuat oleh pejabat publik yakni pejabat pemerintahan untu melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu berkaitan dengan masalah publik, yakni masalah yang menyangkut kehidupan bersama. Pengertian ini mengesampingkan kebijakan yang hanya mengatur masalah orang per orang dan golongan tertentu saja. Mengapa pengertian ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan dan tidak dilakukan? Karena melakukan sesuatu atau tidak melakukannya adalah merupakan keputusan pemerintah. Dapat dicontohkan, misalnya di dua buah kabupaten, yakni kabupaten Durian dan Rambutan, terjadi wabah penyakit malaria. Bupati Durian memerintahkan untuk mengadakan pengobatan gratis terhadap penderita malaria dan pengasapan untuk membasmi nyamuk, sedangkan Bupati Rambutan tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi wabah tersebut. Kedua bupati tersebut berbeda, akan tetapi keduanya sama-sama memberlakukan kebijakan publik. Kebijakan publik yang diambil bupati Durian adalah mengobati dan mencegah, sedangkan kebijakan publik yang diambil bupati Rambutan adalah membiarkannya. Keduanya disebut kebijakan publik karena sama-sama memiliki dampak tertentu untuk masyarakat.
Penutupan rumah makan di bulan puasa yang diatur melalui intruksi walikota, bupati, dapat disebut kebijakan publik karena pertama, dilakukan oleh administrator publik, yakni walikota dan bupati, bukan oleh pimpinan organisasi atau golongan tertentu saja. Kedua, yang diatur adalah masalah kehidupan bersama, yakni rumah makan pada umumnya , bukan rumah makan yang dimiliki oleh golongan tertentu saja. Ketiga dampak kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat secara umum. Meskipun dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap orang Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, namun dampak penutupan rumah makan tersebut tidak hanya dirasakan oleh orang Islam yang terkena hukum kewajiban berpuasa, melainkan juga dirasakan oleh orang yang tidak terkena kewajiban berpuasa, baik yang beragama Islam dan terutama yang beragama selain Islam.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penutupan rumah makan adalah upaya menghadirkan identitas Islam ke ruang publik. Identitas Islam yang dimaksud adalah ritual puasa yang dihadirkan dalam ruang publik di mana di dalamnya terdapat orang-orang yang tidak terkena hukum wajib berpuasa.
            Dikarenakan banyak pihak yang berkepentingan dengannya, kebijakan publik sejauh ini relatif banyak menarik perhatian baik dalam tataran keilmuan maupun pergaulan sehari-hari. Berbagai hal yang menunjukkan itu antara lain banyaknya program studi dan pusat penelitian dalam perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan diri untuk mengkaji kebijakan publik.[13]  Di samping itu, setiap hari media massa sebagai alat komunikasi publik juga tidak pernah berhenti memberitakan dan membahas soal kebijakan publik.  
Dalam pandangan David Easton sebagaimana dikutip Dye dan Subarsono, ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya.[14] Harrold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini berarti menurutnya kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Untuk menelisik apa nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kebijakan publik, lazim dipakai sudut pandang atau perspektif tertentu.
Dewasa ini berkembang berbagai perspektif untuk menganalisis suatu kebijakan, salah satunya adalah gender.  Sebagai suatu perspektif, kekhususan gender dapat digunakan untuk melihat bagaimana sebuah kebijakan publik menyikapi kepentingan dan permasalahan subjek yang terkena dampak kebijakan itu berdasarkan jenis kelaminnya.[15] Tugas utama perspektif ini adalah memberikan makna, konsepsi, asumsi, ideology dan praktik relasi antara laki-laki daan perempuan serta implikasinya dalam kehidupan, yang tidak dilihat oleh perspektif lain.[16] Dengan perspektif ini, akan terlihat, apakah kebijakan itu mengakomodir kebutuhan perempuan dan laki-laki sekaligus secara adil, atau sebaliknya. Kebijakan publik yang mempertimbangkan kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki akan menciptakan suatu keadaan yang memungkinkan kedua belah pihak menerima manfaat yang setara.
Perspektif gender berangkat dari asumsi dan kenyataan dalam masyarakat bahwa terdapat kesenjangan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Kesenjangan yang dimaksud meliputi aspek partisipasi, kontrol, manfaat dan akses dalam berbagai hal, termasuk kebijakan publik.[17]. Kesenjangan ini disebabkan oleh pembedaan peran dan nilai yang dilekatkan pada keduanya. Sebuah peran yang sama akan bernilai beda jika dikerjakan oleh jenis kelamin yang berbeda. Di banyak masyarakat, pekerjaan sehari-hari memasak untuk keluarga jika dilakukan oleh perempuan maka pelakunya akan diapresiasi sebagai perempuan yang baik dan ideal, tetapi jika dikerjakan oleh laki-laki, maka pelakunya bisa dikenai penilaian buruk, misalnya laki-laki yang takut istri, laki-laki ayam sayur.[18]
Perbedaan penilaian ini disebabkan karena setiap masyarakat memiliki idealitas tertentu bagi peran-peran yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Peran-peran yang dimaksud adalah peran yang bersifat sosial dan budaya, dalam arti terbentuk karena kehendak masyarakat dan disosialisasikan secara sistematis melalui institusi-institusi sosial seperti keluarga, sekolah, media massa dan lembaga keagamaan..[19] Pembedaan peran dan nilai ini menjadi sangat kuat dan mapan dalam masyarakat karena dipahami sebagai kodrat atau ketentuan terberikan dari Tuhan yang tidak bisa dirubah dan harus diikuti apa adanya. Konsekwensinya, orang yang menyimpangi idealitas peran ini dianggap menyimpangi kodrat jenis kelaminnya. Dalam tingkat yang paling tinggi, melanggar kodrat dapat dimaknai sebagai perlawanan atas kehendak dan perintah Tuhan.
Sebagai upaya dekonstruksi atas kekeliruan memahami peran sosial sebagai kodrat atau takdir, para pemikir dan aktivis kemudian membuat definisi ulang tentang peran-peran berdasarkan jenis kelamin. Untuk kepentingan tersebut, dibuatlah klasifikasi antara peran yang merupakan kodrat dan peran yang bukan kodrat. Seks dan gender dipilih sebagai kata kunci untuk membedakan pemahaman tersebut. Seks dimaknai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis dalam tubuh jasmani, sehingga peran-peran yang tercipta akibat perbedaan itu disebut peran seks.[20] Adapun gender, kemudian dipilih untuk menyebut perbedaan di antara keduanya yang bersifat bentukan masyarakat. Peran gender bukanlah peran yang harus diikuti secara kaku, tetapi memungkinkan dirubah jika dikehendaki. seperti memasak sebagai peran perempuan, mencari nafkah sebagai peran laki-laki.[21] Memimpin institusi publik, bekerja demi mencari nafkah di luar rumah yang sebelumnya dipahami sebagai peran laki-laki misalnya didekontruksi sebagai peran gender yang berarti bisa saja dilakukan oleh perempuan.  Demikian pula pekerjaan yang biasanya dilakukan dalam rumah dan dipahami sebagai kodrat perempuan, dikategorikan sebagai peran gender sehingga bisa saja dilakukan oleh laki-laki tanpa harus diberi penilaian buruk.
Salah satu peran gender yang telah mapan dalam masyarakat adalah pembagian wilayah peran. Bahwa laki-laki dikonsepsikan sebagai orang yang lebih memiliki kebebasan dan keleluasaan bergerak di ruang publik dan perempuan adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap keberlangsungan urusan privat.[22] Yang dimaksud dengan publik dan privat dalam konteks ini adalah ruang yang dibatasi secara fisik oleh rumah dan oleh ikatan keluarga secara non fisik. Konsep pembagian wilayah publik-privat berbasis gender menurut Julia Suryakusuma sebagaimana dikutip Riant Nugroho diterapkan oleh negara dengan mengusung ideologi ibuisme.[23]  Menurutnya, ideologi ini mengidealkan bahwa  perempuan hanya bisa disebut “perempuan’ apabila ia menjadi ibu. Dan untuk menjadi ibu yang baik maka perempuan sebaiknya berada di ruang privat, yaitu rumah tinggalnya agar dapat merawat dan mengasuh anaknya secara optimal. Sedangkan ruang laki-laki dikonsepsikan sebagai pencari nafkah yang bebas melenggang di ruang publik.  
Pembagian ini mengakibatkan terciptanya pemahaman bahwa ruang publik adalah milik laki-laki, dalam arti bahwa laki-laki lebih memiliki hak untuk menentukan bagaimana seharusnya proses pergaulan antara subjek dalam masyarakat. Administratur publik, yakni para pejabat pemerintahan yang memiliki otoritas membuat kebijakan publik yang secara kuantitas didominasi laki-laki dan cenderung menggunakan ukuran laki-laki dalam membuat keputusan. Apa yang menurut laki-laki baik, mudah diterapkan, dan menguntungkan seringkali dianggap baik pula bagi masyarakat, termasuk perempuan. Suara perempuan hampir tidak terwakili karena sudah dianggap terwakili oleh suara laki-laki. Akibatnya kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan persoalan masyarakat secara komprehensif, karena perempuan sebagai salah satu anggota masyarakat tidak dapat menikmati manfaat dari kebijakan tersebut.
Islam, sebagai agama, oleh sebagian kalangan ditafsirkan menganut idealisme ini. Untuk menegaskan domestikasi perempuan, kalangan ini mengkampanyekan agar perempuan tidak beraktivitas di ruang publik kecuali untuk urusan darurat dan itu harus didampingi oleh laki-laki mahram atau suaminya.[24] Oleh kalangan ini perempuan dipandang sebagai sosok yang berpotensi menimbulkan fitnah karena dalam dirinya terdapat unsur-unsur yang secara seksual sangat menarik bagi laki-laki, dapat menimbulkan hasrat seks bagi laki-laki yang melihatnya. Kehadiran perempuan di ruang publik tanpa didampingi laki-laki mahram atau suaminya dikhawatirkan membahayakan keselamatan dirinya dari gangguan laki-laki lain. Dengan jelas pendapat ini memperlihatkan bahwa ruang publik adalah milik laki-laki dan perempuan hanya merupakan tamu yang karena urusan darurat saja boleh berada di dalamnya, itupun harus didampingi laki-laki sebagai pemilik sah ruang publik tersebut.
Perspektif gender hadir dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat akan keadilan yang sebelumnya seringkali terabaikan. Dalam hal ini perempuan merupakan bagaian dari masyarakat yang lebih banyak dan lebih sering mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin yang disandangnya. Sebagai contoh, dalam penanganan bencana alam, bantuan untuk korban seringkali tidak mempertimbangkan aspek permasalahan khas perempuan melainkan hanya diukur berdasarkan standar laki-laki, sehingga permasalahan khas perempuan tidak terjawab.[25] Oleh karena itu, kebutuhan akan pembalut perempuan dan pakaian dalam kurang mendapat prioritas karena persoalan kebutuhan darurat hanya diukur berdasarkan kebutuhan laki-laki, yaitu makanan, pakaian luar dan tempat mengungsi. Akibatnya dalam memanfaatkan bantuan tersebut perempuan tidak mendapat kenyamanan yang setara dengan laki-laki. Itulah sebabnya dalam setiap upaya men-gender-kan kebijakan, program, termasuk penanggulangan bencana, kecenderungan lebih difokuskan pada perempuan, yaitu dengan memberi keadilan gender melalui kebijakan, program dan kegiatan agar mereka dapat ikut serta dengan memperhatikan kesulitan mereka sebagai perempuan.
Kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek gender, dalam arti tidak mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, didasarkan pada anggapan-anggapan yang keliru akan peran gender, baik dalam proses perumusan maupun implementasinya dalam istilah Naila Kabeer disebut kebijakan yang buta gender (gender blinded).[26]Adapun istilah yang lazim dipakai untuk menyebut kebijakan yang bersifat sebaliknya adalah kebijakan sensitif gender, kebijakan peka gender dan kebijakan responsif gender. Kebijakan responsif gender pada hakekatnya merupakan manifestasi dari salah satu prinsip good governance. Hal ini terkait dengan upaya kebijakan responsif gender yang secara khusus  mempertimbangkan manfaat kebijakan secara adil terhadap perempuan dan laki-laki, baik menurut kelompok umur (tua-muda), kelompok ekonomi (kaya-miskin) maupun kelompok marginal (cacat-normal). Dasar filosofis dari gagasan ini adalah bahwa semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
                       
  1. 3.      Perspektif Gender terhadap Kebijakan Penutupan Rumah Makan
Secara tradisional, menyediakan makanan adalah bagian dari pekerjaan rumah tangga,. Artinya setiap rumah tangga pada umumnya menjalankan fungsi menyediakan makanan untuk semua anggota keluarganya. Hal ini dapat ditandai antara lain dengan desain rumah yang di seluruh belahan dunia hampir pasti dilengkapi dengan  ruang dan peralatan dapur. Fungsi menyediakan makanan untuk keluarga secara tradisional dilakukan dengan kegiatan yang bernama memasak..
 Selain memasak, pekerjaan yang lazim dilakukan dalam area privat rumah tangga antara lain mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengasuh anak, memandikan anak, mencuci piring, menyetrika, dan sejenisnya. Pekerjaan-pekerjaan domestik ini pada umumnya dilekatkan pada perempuan, terutama perempuan yang berstatus sebagai istri atau ibu. Sehubungan dengan hal ini, maka dalam masyarakat dikenal istilah ibu rumah tangga yang secara otomatis dilekatkan pada perempuan yang telah menikah.[27] Ibu rumah tangga merupakan kedudukan yang menunjuk pada tanggung jawab akan seluruh pekerjaan dalam area privat rumah tangga. Kedudukan ini menngidealkan bahwa perempuan sebaiknya lebih banyak di rumah agar dapat menjalankan tanggung jawabnya secara optimal.
Seiring perubahan sosial yang memberri kesempatan pada ada saat ini, pekerjaan domestik sepenuhnya selalu dilakukan oleh perempuan. Karena perempuan disibukkan oleh urusan di ruang publik maka sebagaian perempuan mendistribusikan  tugasnya kepada pihak lain. Sebagian perempuan mendistribusikan pekerjaan-pekerjaan domestik kepada pekerja rumah tangga yang lazimnya juga perempuan. Sebagian yang lain berbagi tanggung jawab dengan anak-anaknya yang perempuan, ada pula yang berbagi dengan suami dan anggota keluarganya yang lain, termasuk anak laki-laki.
Selain didistribusikan pada orang per orang, saat ini banyak rumah tangga memilih mendistribusikan pekerjaan domestik pada layanan umum komersial. Urusan mencuci dan menyetrika pakaian diserahkan kepada jasa laundri, urusan membersihkan dan merapikan rumah diserahkan kepada penyedia jasa kebersihan. Warung makan, rumah makan, kantin, restoran atau apapun namanya hadir antara lain untuk menjawab kesulitan sebagian rumah tangga yang kesulitan menjalankan tugas menyediakan makanan bagi keluarga dengan memasak di rumah.
Melihat masih kuatnya pembagian peran publik dan privat berdasarkan gender maka dapat dikatakan bahwa keberadaan rumah makan umum merupakan fasilitas yang membantu kaum perempuan dalam meringankan tanggung jawabnya di ruang domestik. Bagi perempuan yang telah menikah dan punya anak, tanggung jawab Dengan adanya rumah makan, ibu rumah tangga yang memiliki tingkat kesibukan tinggi dapat mengurangi kerepotannya dengan membeli makanan yang sudah siap saji, sehingga kebutuhan konsumsi diri dan keluarganya dapat terpenuhi tanpa menambah kerepotan tersendiri.
Fungsi ini juga berlaku bagi perempuan lajang yang harus beraktivitas di luar rumah pada jam makan tiba, misalnya pekerja kantoran, buruh, wartawan, petugas pemasaran, pelajar, mahasiswa dan lain sebagainya. Bagi kalangan ini, keberadaan rumah makan, kantin, jasa katering dan sejenisnya adalah solusi yang banyak dipilih  untuk menjawab kebutuhan akan makanan. Bagi perempuan lajang, terutama yang tidak tinggal bersama keluarganya karena alasan pendidikan dan pekerjaannya memasak hanya untuk dirinya sendiri tidak lebih efisien secara tenaga, waktu dan biaya dibanding membeli.
Perintah puasa pada dasarnya ditujukan kepada orang per orang yang telah mencapai batas mukalaf, yakni beragama Islam, baligh, berakal sehat dan kuat puasa.[28] Hanya orang yang menyandang akumulasi empat syarat tersebut yang wajib berpuasa. Dan ulama fiqih bersepakat bahwa tidak semua orang mukallaf menyandang kewajiban puasa secara mutlak. Akan tetapi, melalui kebijakan penutupan rumah makan ini puasa dihadirkan sebagai sebuah ritual kolektif yang standar dan situasinya diciptakan oleh negara. Standar puasa versi negara ini adalah tidak makan dan minum pada siang hari. Oleh karena itu rumah makan sebagai ruang publik yang memiliki kekhususan fungsi untuk menyediakan makanan dan minuman harus menghentikan aktivitasnya pada pagi dan siang hari. Lebih dari itu, dari aspek gender standar puasa yang dianut oleh pengambil kebijakan adalah standar laki-laki. Bahwa laki-laki adalah orang yang secara teknis relatif tidak bertanggungjawab pada urusan menyediakan makanan bagi keluarga, melainkan lebih bertanggungjawab pada bagaimana biaya untuk makan itu ada. Dengan peran seperti ini, ketika rumah makan tutup maka laki-laki tidak akan mengalami masalah serius. Sebaliknya, masalah serius akan ditemui perempuan, khususnya bagi keluarga yang di dalamnya terdapat anak yang belum masuk usia puasa, orang tua yang sudah uzur dan orang sakit.
Standar laki-laki dalam kebijakan ini juga tampak jelas jika dilihat dari aspek peran seks. Bahwa laki-laki tidak mungkin menjalani peran reproduksi yang membuatnya terkena hukum boleh tidak berpuasa atau haram berpuasa. Adapun perempuan, secara umum akan mengalaminya. Bila dalam kondisi tidak menikah, perempuan usia subur akan mengalami haid yang mempunyai siklus satu bulan sekali selama beberapa hari. Tanpa ada perselisihan pendapat, seluruh ulama mujtahid hukum Islam merumuskan hukum bahwa perempuan haid haram berpuasa. Konsekwensi teologis dari hukum haram ini adalah apabila perempuan haid berpuasa maka ia berdosa, sedangkan apabila ia tidak berpuasa, pahala akan menjadi haknya. Hukum puasa bagi perempuan haid berlaku sama bagi perempuan nifas, yakni perempuan yang mengalami pendarahan pasca melahirkan.[29]
Perempuan usia subur, yang pernah menikah memiliki beberapa kemungkinan peran reproduksi, antara lain haid tiap bulan, hamil, nifas dan menyusui. Bagi perempuan hamil, berlaku hukum alternatif. Perempuan hamil boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Hukum ini memberikan konsekwensi teologis bahwa apabila dilakukan, pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Kepada perempuan yang memilih tidak berpuasa, ulama fiqh merinci hukumnya. Apabila tidak berpuasa karena khawatir akan kesehatan dirinya sendiri maka ia hanya wajib mengganti sejumlah hari puasa yang ditinggalkan pada hari lain setelah tidak dalam kondisi hamil.[30] Namun, apabila perempuan hamil itu tidak berpuasa karena  khawatir akan kesehatan diri dan bayi yang dikandungnya maka selain wajib mengganti puasa sejumlah hari yang ditinggalkannya itu, ia juga wajib membayar fidyah atau tebusan berupa bahan makanan pokok sebesar 1 mud, yakni setara dengan ¾ liter beras. Hukum puasa untuk perempuan hamil juga berlaku bagi perempuan menyusui.[31]
Hukum Islam atau fiqh yang mengatur tentang hukum puasa berdasarkan peran seks di atas, secara sosiologis tentu saja membawa dampak terhadap berbedanya kebutuhan dan persoalan bagi laki-laki dan perempuan dalam soal penyediaan makanan.  Laki-laki karena tidak memiliki kekhususan hukum berdasarkan peran reproduksinya, relatif dapat berpuasa sebulan penuh, kecuali jika ia sakit, bepergian atau uzur. Maka ketersediaan makanan pada pagi dan siang hari baginya bukan merupakan kebutuhan. Ketika rumah makan yang fungsi utamanya menyediakan makanan diutup atas perintah kebijakan publik maka tidak akan menimbulkan persoalan baginya. Perempuan, khususnya usia subur sudah jelas memiliki peluang besar untuk tidak berpuasa.
Faktor penyebab ketidakpuasaan perempuan sangat berhubungan dengan soal kesehatan dan kebutuhan makanan bergizi. Maka ketika ruang publik yang berfungsi memudahkannya menyediakan makanan ditutup sangat besar peluang untuk ia mengalami persoalan. Solusi untuk memecahkan persoalan tiadanya akses makan di ruang publik antara lain adalah memasak sendiri di rumah. Solusi ini tidak lain  adalah bentuk mendomestikkan kembali perempuan secara paksa. Semangat yang terkandung di dalamnya kurang lebih adalah bahwa memang sudah seharusnya perempuan memasak dan mengurusi dapur, jadi kalau ada kebijakan rumah makan ditutup pada bulan puasa dan ada perempuan yang butuh makan sudah sewajarnya dan seharusnya ia membuatnya sendiri di rumah agar tidak mengganggu orang yang sedang berpuasa karena demikianlah kodratnya. Semangat ini mementahkan perjuangan perempuan untuk meluruskan kekeliruan pemahaman akan kodrat yang terbukti membelenggu, membatasi dan menghambat akses terhadap pemenuhan hak-haknya.
Bagi perempuan yang memiliki kesibukan pekerjaan yang tinggi di luar rumah, mendomestikkan kembali berarti menjadikannya harus menanggung beban majemuk, yakni beban pekerjaan sebagai sumbangan atas nafkah bagi keluarganya dan beban untuk menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan memasak bagi dirinya ketika tidak berpuasa dan atau bagi anggota keluarganya yang tidak berpuasa. Dalam beragam keadaan, perempuan memang paling rentan mengalami beban majemuk. Hal ini tidak lain disebabkan karena kekeliruan memahami kedudukan ibu rumah tangga yang secara otomatis disematkan ke dalam diri perempuan sesaat setelah menikah.
Menjadi ibu rumah tangga dipahami sebagai kodrat perempuan sehingga segala pekerjaan yang berwilayah di dalam rumah dibebankan dalam tanggung jawab perempuan. Dalam hal ini, mengerjakan pekerjaan rumah tangga seolah-olah kewajiban yang tidak boleh dihindari. Akibatnya, apabila seorang perempuan yang telah menikah tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, baik karena pilihan bebasnya atau terpaksa, sebutan sebagai “bukan perempuan yang baik” akan menghampirinya. Persoalannya, oleh masyarakat pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dinilai sebagai pekerjaan yang mudah, tidak butuh pendidikan tinggi, maka perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan atau tidak diidealkan harus bisa mengerjakannya.[32] Akibatnya menjadi ibu rumah tangga tidak mendapat penghargaan yang setara kualitasnya dengan mencari nafkah di luar rumah yang menjadi tanggung jawab laki-laki. Ibu rumah tangga dianggap hanya profesi natural yang sudah seharusnya bagi perempuan sehingga tidak perlu diapresiasi. Karena sudah dianggap seharusnya, maka dianggap tidak menjadi masalah apabila ada kebijakan publik yang  membawa dampak memaksa perempuan kembali ke dalam rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Pemahaman distortif tentang ibu rumah tangga dan pekerjaan rumah tangga , termasuk memasak ini dapat dikatakan sebagai wujud dari pemberlakuan teori  fungsional struktural dalam pembagian peran gender. Teori fungsionalisme struktural berpendapat bahwa perbedaan peran dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan  adalah sesuatu yang wajar dan begitulah seharusnya agar tercipta harmoni dan keseimbangan fungsi dalam kehidupan manusia.[33] Suka atau tidak suka, bisa atau tidak bisa, perempuan harus mau menjadi ibu rumah tangga beserta paket tanggung jawab pekerjaan domestiknya. Demikian pula laki-laki, suka atau tidak, bisa atau tidak, ia  harus menanggung beban ekonomi keluarga sebagai konsekwensi dari kedudukannya sebagai kepala keluarga.
Alasan lain yang oleh hukum dapat menjadi pembenar untuk tidak berpuasa adalah bepergian jauh, sakit dan uzur.[34]Ketiga hal ini dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini secara pribadi tingkat kesulitan yang akan dialami oleh keduanya dalam tingkat yang sama. Akan tetapi dilihat dalam hal pembagian peran gender, umumnya orang sakit dan uzur yang dirawat oleh anggota keluarga yang perempuan. Hal ini tidak terlepas dari kontruksi sifat telaten, cermat dan sabar yang oleh masyarakat banyak dilekatkan pada perempuan. Laki-laki sering dipersepsikan sebagai orang yang tidak teliti, cermat dan sabar sehingga tidak sesuai jika diberikan tanggung jawab untuk merawat orang sakit dan orang tua yang telah pikun.
  1. C.    Penutup
Pembahasan yang telah dilakukan di atas tentang kebijakan penutupan rumah makan pada pagi dan siang hari di bulan Ramadhan yang ditetapkan oleh beberapa pimpinan pemerintah daerah di Indonesia seperti Cilegon, Tangerang Selatan, Cianjur, Tembilahan, Banjarmasin, dan lain-lain menghasilkan kesimpulan bahwa :,
Pertama, kebijakan tersebut adalah kebijakan yang buta gender. Disebut demikian karena kebijakan tersebut tidak mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam arti tidak mempertimbangkan persoalan dan kebutuhan khusus laki-laki dan perempun. Permasalahan khusus perempuan yang diabaikan antara lain bahwa perempuan, khususnya dalam usia subur memiliki peran reproduksi seperti haid, hamil, nifas dan menyusui yang oleh hukum puasa tidak dijadikan sebab mendapat dispensasi boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Khusus untuk perempuanhaid dan nifas bahkan puasa diharamkan.
Kedua, Ketidakadilan gender yang diakibatkan oleh kebijakan yang buta gender ini adalah penguatan domestikasi perempuan, yakni pemaksaan perempuan untuk kembali harus bekerja di rumah tangga agar dapat memenuhi kebutuhan makanannya di bulan puasa, baik ketika dirinya sendiri tidak berpuasa maupun ketika berpuasa tetapi harus merawat atau mengasuh anggota keluarganya yang tidak puasa seperti anak-anak, orang sakit, orang tua yang sudah uzur.
Kajian ini merekomendasikan kepada pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan aspek gender dalam setiap pengambilan kebijakan agar tidak ada pihak yang dirugikan oleh pelaksanaan kebijakan itu. Kebijakan penutupan rumah makan pada pagi dan siang hari di bulan ramadhan sebaiknya ditinjau ulang, dalam arti dihapuskan atau dirumuskan ulang agar secara teknis tidak menyulitkan perempuan dan secara ideologis mengandung gagasan keadilan dan kesetaraan gender.


DAFTAR PUSTAKA

 Chamman Pincha,  Gender Sensitive Disaster Management, NANBAN Trust dan
Oxfam International, 2008, Mumbay.

Euis Amaliah (Ed). Pengantar Fiqih, Pusat Studi Wanita UIN Syarif hidayatullah,
Jakarta, 2005.

Imam Khanafi el Jauhari, Analisis Gender untuk Rekonstruksi Keadilan, Jurnal
Muwazah, Volume 1, Vomor 1, januari 2009, Pusat Studi Gender STAIN Pekalongan.

James E. Anderson, Public Policy Making, Holt, Rineheart dan Winston, New York.

Koesparmono, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2009.

M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Culture Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005.

Mudhofar Badri, dkk, Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren, Yayasan
Kesejahteraan Fatayat, Yogyakarta, 2002.

Muhammad Bagir, Fiqih Praktisi, Mizan Publika, Bandung, 2010.

Naila Kabeer, Reversed Realities : Gender, Hierarchies in Development Thought,
Verso, London, 1994.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al qur’an, Dian Rakyat,
Jakarta, 2010.

Ratna Saptari, Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi
Perempuan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2007.

Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, Studi Tentang Kualitas Kesetaraan
Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.

_______________, Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.

Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar,
2010.

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, bandung, 1994.

Thomas R Dye, 1995, Understanding Public Analysis : Prentice-Hall, New Jersey,
1994.

Trisakti Handayani dkk, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, UMM Press, Malang,
2002. 

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Zulfatun Ni’mah, Persepsi Urang Sumando mengenai Keadilan dalam Perkawinan
dan Pembagian Harta Warisan, Jurnal Antarbudaya, Edisi 1, tahun 1, Juli 2009, Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Yogyakarta.

B. Media Massa

Tiga Hari Sebelum Puasa, Tempat Hiburan Harus Tutup, http://kabar-banten.com/news/detail/1242

Selama Ramadhan, Tempat Hiburan dan Rumah Makan Wajib Tutuphttp://riaubisnis.com/index.php/cosmo-news/cosmo-news/51-cosmo/3552-

FPI Makin Beringas Razia rumah Makan, http://www.ujungpandangekspres.com/, diakses tanggal 14 Agustus 2011

Cianjur Razia rumah makan yang Buka Siang Hari, http://www.inilahjabar.com/read/detail/, diakses tanggal 12 Agustus 2011

Tempat Hiburan Malam dan Warung Makan Diminta Hormati Ramadhan,http://www.rripalangkaraya.co.id/, diakses tanggal 9 Agustus 2011 .

Abdullah Ibnu Ahmad, Langgar Perda Ramadhan Sama dengan Langgar KUHP,http://www.wikimu.com/News/Display,  diakses tanggal 10 Agustus 2011


Ditutup Satpol PP Purwakarta, Pemilik Soto Padang Protes ,http://www.forumpurwakarta.com/berita/35-lokal/189, diakses 10 Agustus 2011


[1] Tiga Hari Sebelum Puasa, Tempat Hiburan Harus Tutup, http://kabar-banten.com/news/detail/1242

[3] FPI Makin Beringas Razia rumah Makan, http://www.ujungpandangekspres.com/, diakses tanggal 14 Agustus 2011
[4] Cianjur Razia rumah makan yang Buka Siang Hari, http://www.inilahjabar.com/read/detail/, diakses tanggal 12 Agustus 2011
[5]  

[6] Tempat Hiburan Malam dan Warung Makan Diminta Hormati Ramadhan,http://www.rripalangkaraya.co.id/, diakses tanggal 9 Agustus 2011 .


[8] Abdullah Ibnu Ahmad, Langgar Perda Ramadhan Sama dengan Langgar KUHP,http://www.wikimu.com/News/Display,  diakses tanggal 10 Agustus 2011


[9] Ditutup Satpol PP Purwakarta, Pemilik Soto Padang Protes ,http://www.forumpurwakarta.com/berita/35-lokal/189, diakses 10 Agustus 2011
[10]  Pasal 38 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Baca : Koesparmono, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2009, halaman : 129
[11] Thomas R Dye, 1995, Understanding Public Analysis : Prentice-Hall, New Jersey, 1994, hlm : 2
[12] James E. Anderson, Public Policy Making, Holt, Rineheart dan Winston, New York, halaman : 3
[13] Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Universitas Gadjah Mada memiliki Program Pascasarjana Administrasi Publik Konsentrasi Kebijakan Publik dan Program Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik. Universitas Indonesia memiliki Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik dan Universitas Padjajaran menyelenggarakan Program Studi Magister Kebijakan Publik.
[14] Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, 2010, halaman : 3
[15]  Trisakti Handayani dkk, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, UMM Press, Malang, 2002, halaman : 
[16] Imam Khanafi el Jauhari, Analisis Gender untuk Rekonstruksi Keadilan, Jurnal Muwazah, Volume 1, Vomor 1, januari 2009, Pusat Studi Gender STAIN Pekalongan, halaman : 52
[17]  Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman : 18
[18] Zulfatun Ni’mah, Persepsi Urang Sumando mengenai Keadilan dalam Perkawinan dan Pembagian Harta Warisan, Jurnal Antarbudaya, Edisi 1, tahun 1, Juli 2009, Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Yogyakarta, halaman : 108
[19]  M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Culture Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta, 2005, halaman : 112
[20]  Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, halaman : 7
[21]  Ibid, halaman : 8
[22]  Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, Studi Tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman : 206
[23] Ibid.halaman : 207.
[24] Mudhofar Badri, dkk, Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren, Yayasan Kesejahteraan Fatayat,Yogyakarta, 2002, halaman : 57
[25] Chamman Pincha,  Gender Sensitive Disaster Management, NANBAN Trust dan Oxfam International, 2008, Mumbay,  halaman : 24
[26]  Naila Kabeer, Reversed Realities : Gender, Hierarchies in Development Thought, Verso, London, 1994,  halaman : 307.
[27] Penyebutan ibu rumah tangga secara otomatis, selain berlaku secara sosiologis juga dilegitimasi oleh Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Dalam ketentauan yang mengatur kedudukan  suami istri dalam keluarga, yakni Pasal 34, disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
[28] Muhammad Bagir, Fiqih Praktisi, Mizan Publika, Bandung, 2010, halaman : 341.
[29]  Ibid.
[30] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, bandung, 1994, halaman : 234
[31] Ibid.
[32] Ratna Saptari, Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial:Ssebuah Pengantar Studi Perempuan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, halaman :  45
[33] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al qur’an, Dian Rakyat, Jakarta, 2010, halaman : 47
[34] Euis Amaliah (Ed). Pengantar Fiqih, Pusat Studi Wanita UIN Syarif hidayatullah, Jakarta, 2005, halaman : 128

Pengunjung Blog