YANG LEBIH MAHAL DARIPADA UANG

Dua mingguan yang lalu, aku diminta menjadi narasumber talk show dengan tema Muda Penuh Aksi. Talk show ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah kampusku. Narasumber lain merupakan perwakilan dari Dinas Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Dinas Perindustrian dan Koperasi serta seorang mahasiswi yang sukses berbisnis gamis desainnya sendiri melalui sistem online. Ia memanfaatkan media sosial untuk berjualan sehingga tidak perlu mengeluarkan modal untuk membangun atau menyewa toko. Katanya, “Dengan berjualan online, HP dan Facebook kita jadi lebih bermanfaat”

Aku sangat terkagum-kagum padanya, umurnya baru 20 tahun, kuliahnya baru semester 5, tetapi mampu memimpin perusahaan dengan omset ratusan juta perbulan, memberdayakan 40 lebih penjahit di Tulungagung, dan sangat kreatif menciptakan desain-desain gamis yang indah. Tentu saja, sebagai akademisi aku memberikan apresiasi yang sangat tulus untuk prestasinya yang terbilang langka itu. Pada saat banyak mahasiswa lain tiap bulan meminta kiriman rutin dari orang tuanya, bahkan setelah lulus banyak yang bingung mau kerja apa, dia sudah mampu mandiri, bahkan menciptakan lapangan kerja untuk banyak orang. Aku mengajak mahasiswa lain untuk belajar dari pengalamannya, yakni mendayagunakan sebaik-baiknya potensi yang diberikan Tuhan agar berkembang maksimal. Dukungan teknologi komunikasi yang selalu makin canggih dapat dimanfaatkan untuk memberikan dan mendapatkan manfaat.

Terkait dengan kata-kataku itu, kemarin ada yang “komplain” padaku.

“Kamu mendukung mahasiswa jualan di media sosial, katanya agar media sosial lebih bermanfaat, tapi kamu diajak jualan tidak pernah mau. Tidak konsisten”

Aku kaget mendengar kata-katanya. Dia memang pernah mengajakku mengikuti langkahnya menjadi agen suatu produk, tapi aku tidak bersedia, padahal menurutnya keuntungannya lumayan besar.

“Siapa bilang aku tidak mau jualan?”, sanggahku.

“Mana? Kamu hanya nulis artikel yang panjangnya kaya koran, tulisan yang tidak mendatangkan uang, tidak ada keuntungannya, tidak ada yang mau beli”

Aku tertawa. Geli dengan logika pikirnya yang melulu soal uang.

“Ada yang mendapat manfaat dan keuntungan berupa uang karena berjualan produk. Itu sangat baik.
Sedangkan aku memilih berjualan gagasan dan pemikiran. Aku dibayar sangat mahal, seringkali nilainya lebih dari uang, yaitu kebahagiaan”

“Abstrak. Bahagia itu subjektif, tidak kongkrit”

Mungkin betul, bahagia kesannya abstrak dan tidak jelas. Tapi buatku, bahagia sangat jelas, yaitu perasaan hangat dalam hati yang menjalar ke seluruh tubuh hingga membuat mata lebih berbinar, bibir tergerak bersenyum dan hidup terasa lebih berharga. Aku sangat bahagia ketika gagasanku dibeli pembaca. Memang bukan dengan uang, sehingga tidak dapat dihitung secara matematis.
Aku dibayar dengan pengakuan-pengakuan orang yang berubah setelah membaca tulisanku. Ada yang berubah cara pandangnya terhadap suatu hal, ada yang berubah dari lemah menjadi berdaya, ada yang berubah sikapnya menjadi lebih menghargai sesama, ada yang berubah menjadi lebih dermawan. Ini beberapa contohnya:

“Terima kasih Mba, sejak baca tulisan Mba tentang kekerasan terhadap anak, sikap saya berubah drastis pada anak, sekarang saya tidak pernah lagi membentakbentak, memukul, menjewer atau mencubit anak saya, kalau dia susah dikendalikan saya peluk dan belai, alhamdulilah dia sekarang lebih mudah dibilangin, tidak melawan terus. Saya menyesal pernah menyakitinya, saya akan menebusnya dengan kasih sayang agar dia tumbuh sehat lahir batin”

“Saya pernah bacakan status Mba Zulfa pada suami, tentang hak istri untuk berpendapat. Setelah itu dia baca-baca buku, dan alhamdulilah, sekarang dia lebih menghargai saya. Tidak otoriter membuat keputusan sendiri, lebih sering tanya saya dulu, lalu kami bermusyawarah, kadang-kadang pendapat saya dipakai. Saya senang sekali, dia memimpin keluarga dengan lebih baik, menghargai keberadaan istri”

“Saya sudah lama memendam rasa tidak nyaman karena sering dilecehkan atasan, dia sering colek-colek saya, atau sok akrab sentuh-sentuh tubuh saya sambil bercanda. Semula saya takut menegurnya, tapi setelah baca status Mba saya jadi berani, saya niati jihad. Alhamdulilah, dengan pertolongan Allah dia mau merespon keberatan saya, sekarang tidak pernah lagi melakukannya”

“Saya dulu sangat perhitungan, kalau mau sedekah terbayang-bayang rencana belanja yang dibatalkan karena uangnya disedekahkan, akhirnya jarang sekali sedekah. Tapi, setelah baca status Mba tentang bahagianya berbagi, sekarang saya prioritaskan anggaran untuk dibagi dengan tetangga-tetangga saya yang miskin dan yatim. Alhamdulilah, melihat mereka tersenyum saya bahagia sekali.
Saya tidak lagi memikirkan uang yang berpindah ke mereka, tapi mensyukuri kesempatan membahagiakan mereka. Ternyata benar, saya tidak jatuh miskin karena sedekah”

Masih banyak pernyataan lain tentang perubahan yang disampaikan pembaca padaku. Buatku, harga perubahan itu lebih mahal dari uang berapapun. Oleh karena itu, aku terus ingin melakukannya. Ada begitu banyak perubahan yang aku dambakan, antara lain perubahan agar setiap orang dihargai karena kemanusiannya, diperlakukan setara tanpa diskriminasi, terlepas apakah dia kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, difabel atau tidak, beragama sama denganku atau tidak, bahkan tidak beragama sekalipun. Aku mendambakan perubahan agar kekerasan terhadap perempuan dan anak ditiadakan dari muka bumi. Dan aku harus melakukan sesuatu untuk mengupayakan perubahan itu.

“Mengapa tidak menulis artikel sekaligus berjualan? Kan manfaatnya ganda.. “

Setiap orang bebas memilih akan menjemput rizki melalui jalan apa. Tidak melulu yang tidak mengambil suatu jalan, dapat dikatakan menyia-nyiakan kesempatan. Adakalanya, dengan berambisi mengambil semua kesempatan, dia justru kehilangan kesempatan yang telah di tangan, sedangkan yang istiqomah menapaki jalan tertentu secara serius, bisa jadi akan lebih sukses.

ANTARA PASAR, LANTAI DAN DAPUR


Pagi tadi aku pergi ke pasar berdua. Agar cepat selesai, di beberapa tempat kami berpisah berbagi tugas. Tidak menyangka, beberapa pedagang yang kukenal berkomentar begini:

“Mba, kok tumben pasar, biasanya masnya…”

“Monggo Mba udangnya, kok nggak sama suaminya, biasanya dia belanja di sini”

“Jamurnya Mba… bapak sering cari loh”

Aku tertawa dalam hati. Suamiku tercinta rupanya cukup popular di pasar, terutama di kalangan ibu-ibu pedagang. Yang menarik, ketika sudah hampir pulang kami bersama melewati para pedagang ayam, satu di antara mereka menawari, “Mari… ada ayam kampung Pak”, sedangkan yang tidak jual ayam kampung tidak menawari, hanya tersenyum menyapa. Wah… mereka bahkan sangat hafal apa yang biasa dibeli dan apa yang tidak pernah. Kebetulan aku memang ingin beli ayam kampung, tapi tidak bawa uang sedikitpun. Ketika minta padanya, dia bilang nanti saja balik lagi, uangnya sudah habis.

Tiba-tiba, penjualnya berkata: “Nggak papa bawa aja, uangnya bisa kapan-kapan”, lalu sekilo ayam kampung diberikan padaku. Aku tersenyum senang, kecipratan berkahnya orang yang sering ke pasar, berkah dipercaya. Tentang kesediaannya belanja ke pasar, pernah disangka orang sebagai keterpaksaan karena aku tidak di rumah. Padahal tidak, karena walaupun aku di rumah ia juga tetap sering ke pasar. Tidak jarang, sepulang dari pasar ia cerita, katanya tadi ditanya sesama pengunjung, mengapa belanja sendiri, istrinya kemana. Katanya, orang yang bertanya sering tampak bingung ketika dijawab, “Istri saya ada di rumah, sedang baca buku”, atau, “Di rumah kok, sedang menulis”.
Suatu hari, ia pulang dari pasar dan di rumah sudah ada dua mahasiswi yang sudah menunggu untuk bimbingan skripsi. Melihat dia pulang dengan dua tangannya membawa tas berisi sayuran, buah-buahan dan bumbu, mereka menyambut setengah berteriak, “Ya Alloh… Bapak belanja sendiri… Kok bukan Ibu yang berangkat?”

 “Tidak apa-apa donk, memangnya tidak boleh?”

“Aneh Pak… belanja dapur kan urusan perempuan. Masa Bapak tidak malu”

“Kenapa harus malu, kalau ini disebut pekerjaan perempuan berarti saya bantu istri donk, bantu istri kan perbuatan yang baik. Tapi saya tidak menyebutnya pekerjaan perempuan, ini kebutuhan bersama, bisa dilakukan bergantian, kebetulan sekarang istri saya sibuk baca buku, jadi saya yang berangkat, kalau perlu saya juga yang masak, biar dia belajar dengan baik, bisa mengajar dengan kualitas yang baik. Kalau tidak boleh belajar, apa donk yang mau diajarkan ke mahasiswanya?”

“Waduh Pak… seandainya suami saya begitu.. pasti saya bahagia sekali. Saya pusing bagi waktu antara nulis skripsi, ngerjakan tugas sebagai guru sama pekerjaan rumah, semua saya kerjakan sendiri, belum juga ngurus anak. Suami saya mana mau bantu, walaupun punya waktu ia lebih suka nonton TV atau tidur”

“Apalagi saya Pak, saya kan kepala sekolah, pekerjaan di sekolah menumpuk, bermacam-macam rapat harus diikuti, tapi di rumah ketemu semua pekerjaan. Kata suami, itu resiko jadi wanita karir, tidak boleh dihindari. Kalau suami saya punya pikiran seperti Bapak, saya pasti akan sangat terbantu”

Dari ruang dalam, aku tertawa mendengarnya, curhat nih yee… . Tadi mengatakan aneh, sekarang memberi pujian dan menginginkan. Aku segera keluar, mengantar minuman untuk mereka, sebagai ucapan terima kasih karena “pemihakannya” padaku.

Dialog persis semacam ini juga pernah terjadi saat ada mahasiswa ibu-ibu yang mau minta tanda tangan pengesahan skripsi dan mendapati suamiku sedang mengepel lantai ruang tamu. Lagi-lagi ia “membela”-ku dengan sangat manis. “Saya meyakini bahwa ngepel bukan pekerjaan istri, rujukannya hadis yang diriwayatkan Sahabat Umar. Ngepel bisa dilakukan siapa saja, asal mau”.

“Iya sih Pak, tapi kata suami saya kalau suami memerintahkan istri ngepel ya otomatis jadi kewajiban istri, karena kata agama istri wajib patuh terhadap perintah suaminya”

“Wah… Enak sekali ya kalau begitu. Ibarat presiden mengangkat menteri, seharusnya tugasnya bantu di pemerintahan, tapi malah memerintahkan menterinya untuk nyapu dan ngepel istana, apa tepat?”

“Lalu, yang tepat gimana Pak?”

“Menurut saya dimusyawarahkan, siapa bisa melakukan apa, bukan diperintahkan begitu saja. Kalau istri keberatan, misalnya dia lelah, tidak enak badan, sibuk, atau ada urusan yang lebih penting, suami harus memahami, harus pengertian, tidak boleh memaksakan perintah, apalagi atas nama agama”.
Aku cinta banget dengan pikirannya yang tidak mainstream itu. Suatu saat ia pernah diolok-olok teman karena memasak untuk makan siang, sedangkan aku istirahat di kamar.

“Korban emansipasi wanita, itu resiko punya istri aktivis gender ya… masak sendiri. Makanya aku nggak mau nikah sama mantanku yang aktivis gender, bakal sengsara, ditinggal-tinggal terus, atau disuruh masak, nyuci, ngurus anak, apa gunanya punya istri”

“Jangan salah. Istriku masih sekolah SD, aku sudah ikut training gender tingkat nasional. Justru itu yang membuat aku punya kesadaran untuk memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya. Istri harus dibebaskan dari beban-beban berlebihan. Itu bisa terjadi kalau suami sadar untuk berbagi tanggung jawab. Istri juga harus dibebaskan untuk berkembang sesuai potensinya, sehingga bisa bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya orang, dan itu hanya terjadi kalau suami mendukungnya setulus hati”.

Beribu terima kasih kupersembahkan untuk suamiku… kekasihku… sahabatku…. rekan kerjaku…. Ketulusannya membuat dunia serasa taman bunga yang tak berhenti merona.
TUGAS PENGGANTI KETIDAKHADIRAN  DAN KETERLAMBATAN SEBAGAI SYARAT MENGIKUTI UAS

TUGAS PENGGANTI KETIDAKHADIRAN DAN KETERLAMBATAN SEBAGAI SYARAT MENGIKUTI UAS


1.       Tugas pengganti untuk Saudara Muhammad Tajud, mahasiswa HES 5, mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen.
a.       Buatlah makalah tentang perlindungan konsumen bidang kesehatan. Ketentuan makalah sama dengan ketentuan makalah untuk kelompok. Diunggah di blog paling lambat pada 10 Desember 2015.
Setelah diunggah, kabari teman-teman agar berkunjung ke blog Saudara. Berilah tanggapan ilmiah terhadap komentar teman-teman.
b.      Buatlah makalah tentang perlindungan konsumen bidang kesehatan. Ketentuan makalah sama dengan ketentuan makalah untuk kelompok. Diunggah di blog paling lambat pada 16 Desember 2015.

2.       Tugas pengganti untuk Saudara Adi Sutrisno, mahasiswa HES 3B, mata kuliah Sosiologi Hukum.
a.       Tulislah artikel tentang penegakan hukum. Anda dapat memilih salah satu bidang hukum yang Anda minati, misalnya hukum lalu lintas, korupsi, KDRT, dan lain-lain. Artikel minimal memuat realitas penegakan hukum dalam bidang yang Anda pilih, dan analisislah berdasarkan teori-teori penegakan hukum yang dipelajari dalam perkuliahan, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Artikel diunggah paling lambat tanggal
b.      Tulislah artikel tentang penegakan hukum. Anda dapat memilih salah satu bidang hukum yang Anda minati, misalnya hukum lalu lintas, korupsi, KDRT, dan lain-lain. Artikel minimal memuat realitas kepatuhan masyarakat dalam bidang yang Anda pilih, dan analisislah berdasarkan teori-teori yang dipelajari dalam perkuliahan.

3.       Tugas pengganti untuk mahasiswa HES 3 A/B/C yang terlambat datang kuliah dan tidak masuk tanpa ijin lebih dari tiga kali.
Bacalah peraturan-peraturan kampus di Kode Etik Mahasiswa IAIN Tulungagung. Lakukan wawancara dengan 10 mahasiswa tentang kepatuhan mereka terhadap etika kampus dalam bab larangan bagi mahasiswa.  Berdasarkan hasil wawancara, buatlah artikel minimal 800 kata tentang kepatuhan mahasiswa terhadap Kode Etik Mahasiswa, berisi narasi laporan wawancara dan analisis berdasarkan teori-teori kepatuhan masyarakat terhadap hukum.


 Selamat mengerjakan, semoga sukses.

Pengunjung Blog