Namanya Ratna.
Lengkapnya Utari Ratnajuwita. Pekerjaannya berjualan. Tetapi tidak seperti
pedagang ayam, pakaian, sepatu, atau barang elektronik di pasar, karena Ratna
tidak punya tempat jualan yang tetap, oleh karenanya tidak perlu repot-repot
membayar retribusi ke petugas pasar. Berjualan keliling seperti abang bakso
atau penjual es dawet? Tidak juga, makanya dia tidak punya gerobak dorong. Ia
juga tidak pernah terlihat memegang atau membawa barang dagangannya, tidak juga
punya daftar harga dan menu seperti pemilik rumah makan. Lha, lantas bagaimana
ia bisa dikatakan punya pekerjaan berjualan? Ini dia. Ia melakukan
tawar-menawar, kata-katanya sangat meyakinkan bahwa objek yang dijualnya ada
dan tidak akan mengecewakan, konsumennya tidak main-main, para pejabat,
pengusaha besar, aparat keamanan dan deretan nama yang biasa dilekati sebutan
“orang penting”.Keuntungannya jangan ditanya. Sekali jualannya dibeli, mobil
suaminya yang keluaran tahun 80-an bisa mendadak berganti paling mutakhir, atau
perhiasan di badannya bertambah satu ons beratnya. Bisa juga anaknya yang masih
belajar di TK dibelikan laptop baru, biar tanggap teknologi sejak dini katanya,
jadi kalau saat dewasa nanti menjadi anggota DPR tidak dicaci maki rakyat
karena minta laptop dari uang negara tapi sebenarnya tidak bisa
mengoperasikannya. Pandangan Ratna memang jauh ke depan, jauh melebihi
perempuan pada umumnya. Saking jauhnya kadang-kadang apa yang ada di depan
matanya tidak terlihat. Ia bilang itu namanya visioner.
Sebaliknya kalau rugi, tidak main-main juga. Tidak hanya emas di badannya bisa berkurang satu ons sepuluh gram, tetapi berat badannya juga. Pernah bahkan ia menjual telepon genggamnya yang menjadi alat pendukung utama berjualannya. Entah karena memang harus menutup kerugiannya atau karena sengaja menutup saluran komunikasi agar pelanggan yang dikecewakannya tidak bisa memarahinya terus-terusan. Tapi sepanjang sejarah pekerjaannya, kerugian yang pernah dideritanya jauh lebih kecil dibanding keuntungan yang sudah ditimbunnya. Baru dijalani tiga tahun saja, ia sudah bisa membangun rumah yang lebih mirip villa di kampungnya, padahal sebelum itu ia tinggal di rumah orang tuanya yang menurut standar Departemen Kesehatan belum bisa disebut rumah sehat dan layak.
Ratna memang telaten merawat barang jualannya. Keuntungan dari berjualannya banyak yang terserap untuk urusan perawatan, termasuk perawatan hubungan baik dengan konsumen agar tetap setia berbelanja kepadanya.
Pagi ini ia akan
menemui salah satu pelanggan tetapnya, seorang pengusaha minuman kesehatan.
Cermat benar ia mematut diri di depan cermin. Ia ingin memberi kesan sebagai
perempuan yang tidak hanya lihai berjualan, tetapi juga cantik, menjaga
penampilan dan berkelas tinggi, tidak lebih rendah dari pelanggan yang akan
ditemuinya. Berbagai tip dari penasehat busana ia terapkan betul. Mulai dari
perpaduan warna, model, jenis kain serta aksesori dan riasan wajah sangat
diserasikan. Tampilan akhirnya bisa disejajarkan artis Arzeti Bilbina yang
terkenal modis itu.
Ia sudah menyiapkan daftar barang dagangan yang akan ditawarkan. Khawatir lupa, ia membuat catatan di buku kecilnya.
Ia sudah menyiapkan daftar barang dagangan yang akan ditawarkan. Khawatir lupa, ia membuat catatan di buku kecilnya.
Tepat jam 09. 00
sebagaimana yang dijanjikan, Ratna sampai di tempat yang ditentukan, sebuah
rumah makan taman. “Selamat pagi Pak Anton, maaf membuat menunggu” sapa Ratna
pada pelanggannya yang ternyata telah datang lebih dulu. “Pagi Jeng, Anda
datang tepat waktu, jadi tidak perlu minta maaf?” jawab pelanggannya yang
bernama Anton itu. Setelah memesan minuman mereka masuk pada pembicaraan inti.
“Begini Jeng, saya benar-benar dibuat jengkel oleh ulah aparat, barang dagangan
saya kemarin ditahan di perjalanan ke luar kota. Ini sudah yang kelima kalinya.
Sebelum ini saya selalu menebus barang itu dengan uang minimal 300 juta. Kali
ini bukannya saya tidak bisa bayar tebusan, tapi saya tidak mau ini jadi
kebiasaan. Jadi saya minta Jeng Ratna mau membantu saya” kata Anton. Ratna
manggut-manggut sambil tidak melepas tatapan mata penuh percaya diri dan wajah
cerahnya. Menurut teori kepribadian ini merupakan bahasa tubuh yang membuat
calon pembeli yakin akan bermitra bisnis dengan penjual. “Jangan khawatir Pak,
saya punya yang Bapak butuhkan. Ada lima ribu orang dan akan saya atur mereka
untuk melakukan tekanan pada aparat. Yang penting sekarang harganya” jawab
Ratna mantap. “Atur sajalah. Berapa yang Jeng mau?”tanya Anton. “Menurut
perhitungan saya satu paket dengan jumlah massa lima ribu orang minimal satu
milyar Pak. Bagaiman, Bapak setuju?” Ratna menawarkan harga setelah
menghitung-hitung angka di kalkulator laptopnya. “Tidak bisa kurang Jeng?”
tawar Anton. Ratna tersenyum meyakinkan. “Wah, ini proyek berat Pak, agar massa
tetap terkendali logistiknya harus seimbang. Saya kira proyek ini akan sangat
menolong bisnis Bapak. Percayalah, pelayanan saya tidak akan mengecewakan”
Ratna berusaha meyakinkan Anton. Dan tidak sampai sejam kemudian mereka sudah
saling setuju tentang hak dan kewajiban masing-masing dalam transaksi ini.
Anton menyediakan tujuh ratus juta rupiah untuk paket layanan Ratna. Transaksi
sebesar itu tidak ditulis dalam bentuk surat perjanjian seperti kalau jual beli
barang berharga, bahkan selembar kuitansipun tidak ada. Yang dibawa pulang
Ratna adalah selembar cek senilai tiga ratus juta rupiah sebagai uang muka
pembelian paket itu.
Sampai di rumah,
Ratna segera menghubungi agen-agen yang diharapkan akan memperlancar jualannya.
Yang pertama adalah suaminya untuk mengabarkan kesepakatannya dengan Anton dan
memberinya instruksi yang harus dilakukan. Setelah itu ia membuat janji
pertemuan dengan para pimpinan organisasi massa, paguyuban buruh sepuluh pabrik
minuman kesehatan yang senasib dengan Anton, lembaga swadaya masyarakat, baik
yang fiktif maupun yang nyata, organisasi perempuan dan yang paling penting
organisasi mahasiswa. Disebut paling penting karena dengan melibatkan
organisasi mahasiswa jualannya akan mudah mendapatkan legitimasi, ibarat
makanan sudah mendapatkan label halal dari MUI. Konon, mahasiswa adalah
kelompok yang paling idealis, selalu bergerak atas nama hati nurani ,
nilai-nilai kebernaran dan keadilan, membela kaum tertindas dan tidak bisa
dibeli. Masyarakat akan berpendapat jika mahasiswa bergerak berarti ada masalah
yang sudah sangat mendesak dan parah yang dialami rakyat, karena mahasiswa
adalah penyambung lidah rakyat dalam menyuarakan kepentingannya. Butuh waktu
satu minggu untuk Ratna mengkondisikan para agen agar mau mendukung bisnisnya
dengan Anton. Dengan meyakinkan, berapi-api dan bahasa penuh provokasi akan
kebiadaban aparat, Ratna menyampaikan ajakannya.
Di forum yang
dihadiri kaum buruh perempuan dan istri buruh, Ratna menyampaikan pidatonya.
“Ibu-ibu para buruh pabrik minuman kesehatan yang saya hormati. Sebagaimana
Ibu-ibu ketahui, pabrik minuman kesehatan adalah sumber pendapatan keluarga
Ibu. Kalau ada orang mengganggu kelancaran pabrik minuman kesehatan maka
Ibu-ibulah orang yang pertama kali akan merasakan penderitaan, karena
pendapatan hilang, padahal kita kaum perempuan memiliki tanggung jawab paling
berat dalam mengelola keuangan rumah tangga. Oleh karena itu, mari kita melakukan
demonstrasi menuntut Kapolres untuk mundur dari jabatannya karena tidak bisa
menjamin keamanan berusaha di sini, tetapi malah menjadi perampok yang secara
semena-mena merampas dagangan pabrik kita demi mendapat tebusan uang ratusan
juta. Ibu-ibu sangat dirugikan, betul?”. “Betuuuuuul” serempak para hadirin
mengamini kata-kata Ratna. Ratna melanjutkan pidatonya denggan penuh semangat
dan meyakinkan. Di akhir pertemuan, semua yang hadir membubuhkan tanda tangan
mendukung akan dilakukannya aksi. Mereka juga membuat rencana aksi bersama-sama
yang sudah disesuaikan dengan rencana besar Ratna. Terlihat para ibu penuh
semangat karena merasa akan memperjuangkan nasib keluarganya dan itu adalah
jihad akbar, sebagaimana kata Ratna dalam pidatonya.
Beberapa teman seprofesi
Ratna mendapat cipratan rejeki Ratna. Diantara mereka mendapat tanggungjawab
yang sama dengan Ratna, yakni menggalang dukungan berbagai organisasi yang
mempunyai massa. Ada yang bertugas membuat setting acara di lapangan, ada pula
yang sekedar menemani Ratna menghadiri pertemuan dan menguatkan argumentasi
Ratna di forum.
Usaha menggalang dukungan demonstrasi paling sulit dilakukan dengan organisasi mahasiswa. Benar, kelompok ini memang sangat hati-hati dan cerdas dalam membuat analisa kepentingan. Ratna sampai kewalahan meyakinkan mereka karena ternyata ada komentar yang sangat tidak diduganya. Seorang mahasiswi bertubuh kecil dan tidak begitu terkenal berkata, “Maaf sebelumnya Mba Ratna. Saya terus terang tidak setuju organisasi kami mendukung aksi yang Mba usulkan. Berdasarakan diskusi ilmiah di kampus dengan dosen hukum perlindungan konsumen, saya tahu bahwa ada persoalan yang krusial. Bahwa di internal pabrik minuman kesehatan sendiri ada pelanggaran peraturan tentang komposisi minuman kesehatan. Ada zat kimia berbahaya yang menurut peraturan perundangan mestinya tidak dimasukkan dalam minuman kesehatan karena zat itu bisa menyebabkan kanker bagi yang mengkonsumsinya. Artinya, saya melihat ada konflik kepentingan antara pengusaha dan aparat dalam konteks penahanan minuman kesehatan itu. Pengusaha ingin bisnisnya lancar walaupun melanggar aturan dan membahayakan keselamatan umum, dan aparat kepolisiann memanfaatkan posisi mereka yang lemah di hadapan hukum dengan menahan produk dan meminta tebusan secara rutin. Saya kira mahasiswa tidak dalam kapasitas membela siapapun dalam masalah ini karena ini hanya konflik kepentingan elit semata, bukan kepentingan rakyat lemah”. Kata-katanya sangat tajam di telinga Ratna. “Begini Saudari Tatia, yang kita lihat adalah dampak perbuatan sewenang-wenang aparat. Kalau ini dibiarkan pabrik bisa bangkrut dan akan banyak buruh yang terlantar. Bagaimana nasib keluarga mereka. Ini yang kita bela. Mereka rakyat tertindas, di mana tanggungjawab mahasiswa ketika ada rakyat menjerit seperti sekarang ini?” Ratna menjawab dengan berapi-api. “Benar Mba Ratna, kami tidak dapat membela pihak yang secara moral melakukan pelanggaran. Apalagi ini menyangkut keselamatan ribuan nyawa konsumen. Saya sangat keberatan jika organisasi ini masuk dalam wilayah konflik elit ini. Soal kehidupan buruh adalah tanggungjawab perusahaan. Mereka yang mestinya menjamin keberlangsungan perusahaan dan menghidupi buruh dengan memakai aturan hukum yang benar”, kalimat ini keluar dari mulut pimpinan organisasi. Seorang mahasiswi yang yang kelihatan tenang, namanya Berlian. Perdebatan berlangsung lama. Akhirnya dihentikan sejenak dan Ratna mengajak seorang pengurus bernama Hendri bicara empat mata. “Hendri, aku tahu kamu mau maju di bursa pemilihan ketua umum GMI. Mengapa kita tidak bekerjasama saja? Saling menguntungkan!” kata Ratna. “Berapa tawaranmu? aku bisa mengerahkan seratus mahasiswa, membawa bendera GMI. Soal Berlian dan Tatia biar aku yang selesaikan” Hendri balik bertanya. “Maumu berapa? Seratus kali lima puluh ribu, lima juta ya? Cukup kan untuk operasional? Khusus buatmu aku kasih bonus satu juta. Bagaimana?” tawar Ratna. “Kurang Mba, Berlian juga harus disuap, kalo satu juta dia nggak bakalan mau. Sepuluh juta beres semuanya. Pengurus ada lima belas, jatahnya dua ratus ribuan. OK? Aku butuh saving buat kampanye besok” Hendri menawar lebih tinggi. “Ya sudah, aku setuju. Kalian diskusikan lagi sendiri. Aku menyerah menghadapi dua temanmu itu” kata Ratna menutup transaksinya. Dengan muka masam yang tampak dipaksakan ramah, Ratna meninggalkan markas organisasi itu. Terakhir ia berkata, “Baik, saya kira tidak ada gunanya berdebat panjang karena hanya membuang-buang waktu saja, sementara persoalan sudah sedemikian mendesak untuk diselesaikan. Saya pamit, dan tawaran saya masih terbuka untuk kalian. Sewaktu-waktu kalian memutuskan untuk mendukung gerakan rakyat melawan kezaliman penguasa, saya akan dengan tangan terbuka menerima dan kita akan menjadi kekuatan besar. Saya kira ini kesempatan emas untuk membuktikan komitmen mahasiswa akan mandat sosial yang diemban. Selamat siang!”.
Setelah Ratna pergi, Hendri memimpin rapat. “Teman-teman, dalam dunia gerakan, kongkrit kita butuh jaringan. Saya pikir Ratna dan para pengusaha adalah pihak yang bisa jadi teman gerakan kita. Mereka aset besar, jangan kita tinggalkan, ini kesempatan menjalin kemitraan. Di waktu yang akan datang, kalau kita akan mengadakan kegiatan, mereka bisa kita mintai sumbangan. Ini bicara kebutuhan kongkrit. Baru pertama bekerjasama saja mereka sudah menawarkan harga tujuh juta, jumlah yang sebelum ini sangat sulit kita kumpulkan” kata Hendri membuka rapat lanjutan. Ia memanipulasi kesepakatannya dengan Ratna yang sebenarnya sepuluh juta. “Saya setuju, sudah saatnya kita bicara yang kongkrit-kongkrit. Idealis memang perlu, tetapi tidak selamanya bisa diterapkan” kata Biyan, pengurus bidang pengkaderan. “Saya malu ternyata GMI hanya bicara saja. Bisa dibeli dengan sangat murah, hanya tujuh juta!”timpal Tatia sengit. Karena tidak ada titik temu, akhirnya pengambilan keputusan menggunakan cara voting. Tatia dan Berlian mendapat dua teman, yaitu Samsul dan Kholis. Sebelas pengurus lainnya setuju dengan Hendri. Mau tidak mau Berlian menyerah. Di akhir pertemuan ia berkata, “Teman-teman, kita sudah melalui proses pengambilan keputusan yang demokratis. Meskipun secara pribadi saya sangat tidak setuju, atas nama demokrasi saya tidak akan memaksakan kehendak saya. Silakan kerjasama ini dilaksanakan. Namun, maaf, saya tidak bisa berpartisipasi secara pribadi. Saya tidak bisa mengingkari hati nurani untuk tunduk pada kepentingan uang. Hari ini saya benar-benar berduka atas matinya idealisme yang selama ini kita junjung tinggi”. Diikuti oleh ketiga pendukungnya, Berlian meninggalkan forum. Hendri melanjutkan pertemuan membicarakan persoalan teknis.
Pertemuan dengan Ratna dan pimpinan organisasi yang sudah dijaring Ratna digelar setiap malam untuk membicarakan perkembangan terbaru. Tempat pertemuan selalu berubah-ubah dan hanya diketahui peserta setengah jam sebelum acara. Ratna berdalih ini strategi untuk menghindari bocornya informasi ke pihak lawan, terutama intelejen. Suatu saat mereka bertemu di rumah salah satu pengusaha, gudang pabrik minuman kesehatan, kolam pemancingan, namun yang paling sering adalah di rumah makan yang mempunyai ruang rahasia. Sebuah ruang bawah tanah yang dilengkapi area parkir sehingga dari luar tidak terdeteksi sedang ada pertemuan. Di ruang itu juga terdapat meja bilyar dan fasilitas karaoke yang biasa mereka pakai setelah rapat yang serius selesai dilaksanakan. Ratna tidak selalu datang secara pribadi, kadang-kadang suaminya mewakilinya. Hendri dan Biyan selalu hadir mewakili kelompok mahasiswa.
Lima belas hari sejak Ratna membuat kesepakatan jual beli dengan Anton, terjadi kehebohan di jalan sepanjang empat puluh kilometer dari sentra perusahaan minuman kesehatan menuju ke markas kepolisian resort. Seratus truk dengan jumlah penumpang minimal empat puluh orang berjalan beriringan sambil meneriakkan yel-yel dan lagu-lagu perjuangan. Dibelakang truk ratusan sepeda motor beriringan masing-masing membawa dua orang. Spanduk dan bendera berbagai organisasi pendukung berkibar-kibar di setiap truk. Suara pengeras suara yang memberi komando dan meneriakkan semangat para peserta aksi membahana di antara suara nyanyian yang terkadang diselingi makian terhadap para aparat keamanan yang akan didemo. Sungguh siang yang panas dan meriah.
Sesampainya di lokasi yang dituju, sebagian massa bergerak turun ke jalan, sementara sebagian yang lain tetap berada di atas truk, terutama kaum perempuan. Terlihat para petugas yang ditunjuk menggelar kertas lebar yang sudah ditulisi berbagai tuntutan, kecaman, kritik dan makian kepada pihak aparat. “GANTUNG BUDI PRASTOMO”, “APARAT=PERAMPOK JALANAN”, “POLISI TAK BECUS MENEGAKKAN HUKUM, TIDAK BERGUNA, BUBARKAN SAJA, DIGANTI PRAMUKA”. Yang dimaksud Budi Prastomo dalam poster itu adalah orang yang menjabat sebagai pimpinan institusi yang sedang didemo. Para mahasiswa anggota GMI menyebar ke jalanan menyebar lembaran-lembaran kertas yang berisi maksud dan tujuan aksi kepada masyarkat yang dijumpai lewat sekitar tempat itu. Macam-macam respon orang yang menerima kertas yang biasa disebut pamflet itu. Ada yang menerima langsung membuangnya tanpa membaca isinya, ada yang menyempatkan berhenti untuk memahami isinya dan memberi dukungan semangat, ada bahkan yang turun dari mobilnya datang sendiri mengambil pamflet. Sepertinya orang yang memberi dukdungan adalah salah satu korban yang pernah dimintai uang di jalan oleh polisi yang mengaku sedang menjalankan operasi gabungan. Perasaan senasib atau empati memang mendapatkan waktu yang tepat untuk diekspresikan dalam saat-saat seperti ini.
Sekitar lima belas orang berkumpul di mimbar yang diletakkan di atas kabin sebuah truk. Mereka adalah para pimpinan organisasi yang menjaadi agen penjualan Ratna. Seorang tampil memberi komando dan menyampaika slogan-slogan yang segera disambut yel-yel meriah para peserta aksi. Dia mendapat sebutan koordinator umum. “Saudara-saudaraku senasib sependeritaan, hari ini kita berkumpul di sini, memperjuangkan nasib kita selaku masyarakat minuman kesehatan dan elemen masyarakat peduli minuman kesehatan untuk memeperjuangkan nasib kaum yang ditindas aparat kepolisian karena tindakan mereka yang semena-mena melakukan perampokan dan penodongan serta pemerasan terhadap minuman kesehatan kebanggaan kita. Kita datang untuk memenggal kesewenang-wenangan polisi dan menuntut dipecatnya Budi Prastomo yang tidak becus menjalankan tugasnya selaku pengayom dan pelindung masyarakat. Saudara-saudara setuju Primus Wahyudi dipecat dan digantung?”kata sang orator. “Setujuuuuuuu, gantung, gantung, gantung Kapolres sekarang juga!” sambutan panas membahana disuarakan oleh peserta aksi seperti koor anggota parlemen di masa lalu. Orator melanjutkan pidatonya, ”Saya Harry Prabowo Setiawan, komandan aksi hari ini. Satu komando, satu barisan. Tidak ada komoandan diluar yang berada di mimbar ini. Hati-hati provokasi. Jangan ada yang mengikuti komando orang lain. Provokator bertebaran di tengah-tengah kita”. Setelah dia menyampaikan orasi pembukaannya, menyusullah orator-orator lain yang tampil di mimbar. Orasi itu diselingi dengan lagu-lagu perjuangan seperti aksi mahasiswa ketika menuntut Presiden Suharto turun tahta pada Mei 1998.
Usaha menggalang dukungan demonstrasi paling sulit dilakukan dengan organisasi mahasiswa. Benar, kelompok ini memang sangat hati-hati dan cerdas dalam membuat analisa kepentingan. Ratna sampai kewalahan meyakinkan mereka karena ternyata ada komentar yang sangat tidak diduganya. Seorang mahasiswi bertubuh kecil dan tidak begitu terkenal berkata, “Maaf sebelumnya Mba Ratna. Saya terus terang tidak setuju organisasi kami mendukung aksi yang Mba usulkan. Berdasarakan diskusi ilmiah di kampus dengan dosen hukum perlindungan konsumen, saya tahu bahwa ada persoalan yang krusial. Bahwa di internal pabrik minuman kesehatan sendiri ada pelanggaran peraturan tentang komposisi minuman kesehatan. Ada zat kimia berbahaya yang menurut peraturan perundangan mestinya tidak dimasukkan dalam minuman kesehatan karena zat itu bisa menyebabkan kanker bagi yang mengkonsumsinya. Artinya, saya melihat ada konflik kepentingan antara pengusaha dan aparat dalam konteks penahanan minuman kesehatan itu. Pengusaha ingin bisnisnya lancar walaupun melanggar aturan dan membahayakan keselamatan umum, dan aparat kepolisiann memanfaatkan posisi mereka yang lemah di hadapan hukum dengan menahan produk dan meminta tebusan secara rutin. Saya kira mahasiswa tidak dalam kapasitas membela siapapun dalam masalah ini karena ini hanya konflik kepentingan elit semata, bukan kepentingan rakyat lemah”. Kata-katanya sangat tajam di telinga Ratna. “Begini Saudari Tatia, yang kita lihat adalah dampak perbuatan sewenang-wenang aparat. Kalau ini dibiarkan pabrik bisa bangkrut dan akan banyak buruh yang terlantar. Bagaimana nasib keluarga mereka. Ini yang kita bela. Mereka rakyat tertindas, di mana tanggungjawab mahasiswa ketika ada rakyat menjerit seperti sekarang ini?” Ratna menjawab dengan berapi-api. “Benar Mba Ratna, kami tidak dapat membela pihak yang secara moral melakukan pelanggaran. Apalagi ini menyangkut keselamatan ribuan nyawa konsumen. Saya sangat keberatan jika organisasi ini masuk dalam wilayah konflik elit ini. Soal kehidupan buruh adalah tanggungjawab perusahaan. Mereka yang mestinya menjamin keberlangsungan perusahaan dan menghidupi buruh dengan memakai aturan hukum yang benar”, kalimat ini keluar dari mulut pimpinan organisasi. Seorang mahasiswi yang yang kelihatan tenang, namanya Berlian. Perdebatan berlangsung lama. Akhirnya dihentikan sejenak dan Ratna mengajak seorang pengurus bernama Hendri bicara empat mata. “Hendri, aku tahu kamu mau maju di bursa pemilihan ketua umum GMI. Mengapa kita tidak bekerjasama saja? Saling menguntungkan!” kata Ratna. “Berapa tawaranmu? aku bisa mengerahkan seratus mahasiswa, membawa bendera GMI. Soal Berlian dan Tatia biar aku yang selesaikan” Hendri balik bertanya. “Maumu berapa? Seratus kali lima puluh ribu, lima juta ya? Cukup kan untuk operasional? Khusus buatmu aku kasih bonus satu juta. Bagaimana?” tawar Ratna. “Kurang Mba, Berlian juga harus disuap, kalo satu juta dia nggak bakalan mau. Sepuluh juta beres semuanya. Pengurus ada lima belas, jatahnya dua ratus ribuan. OK? Aku butuh saving buat kampanye besok” Hendri menawar lebih tinggi. “Ya sudah, aku setuju. Kalian diskusikan lagi sendiri. Aku menyerah menghadapi dua temanmu itu” kata Ratna menutup transaksinya. Dengan muka masam yang tampak dipaksakan ramah, Ratna meninggalkan markas organisasi itu. Terakhir ia berkata, “Baik, saya kira tidak ada gunanya berdebat panjang karena hanya membuang-buang waktu saja, sementara persoalan sudah sedemikian mendesak untuk diselesaikan. Saya pamit, dan tawaran saya masih terbuka untuk kalian. Sewaktu-waktu kalian memutuskan untuk mendukung gerakan rakyat melawan kezaliman penguasa, saya akan dengan tangan terbuka menerima dan kita akan menjadi kekuatan besar. Saya kira ini kesempatan emas untuk membuktikan komitmen mahasiswa akan mandat sosial yang diemban. Selamat siang!”.
Setelah Ratna pergi, Hendri memimpin rapat. “Teman-teman, dalam dunia gerakan, kongkrit kita butuh jaringan. Saya pikir Ratna dan para pengusaha adalah pihak yang bisa jadi teman gerakan kita. Mereka aset besar, jangan kita tinggalkan, ini kesempatan menjalin kemitraan. Di waktu yang akan datang, kalau kita akan mengadakan kegiatan, mereka bisa kita mintai sumbangan. Ini bicara kebutuhan kongkrit. Baru pertama bekerjasama saja mereka sudah menawarkan harga tujuh juta, jumlah yang sebelum ini sangat sulit kita kumpulkan” kata Hendri membuka rapat lanjutan. Ia memanipulasi kesepakatannya dengan Ratna yang sebenarnya sepuluh juta. “Saya setuju, sudah saatnya kita bicara yang kongkrit-kongkrit. Idealis memang perlu, tetapi tidak selamanya bisa diterapkan” kata Biyan, pengurus bidang pengkaderan. “Saya malu ternyata GMI hanya bicara saja. Bisa dibeli dengan sangat murah, hanya tujuh juta!”timpal Tatia sengit. Karena tidak ada titik temu, akhirnya pengambilan keputusan menggunakan cara voting. Tatia dan Berlian mendapat dua teman, yaitu Samsul dan Kholis. Sebelas pengurus lainnya setuju dengan Hendri. Mau tidak mau Berlian menyerah. Di akhir pertemuan ia berkata, “Teman-teman, kita sudah melalui proses pengambilan keputusan yang demokratis. Meskipun secara pribadi saya sangat tidak setuju, atas nama demokrasi saya tidak akan memaksakan kehendak saya. Silakan kerjasama ini dilaksanakan. Namun, maaf, saya tidak bisa berpartisipasi secara pribadi. Saya tidak bisa mengingkari hati nurani untuk tunduk pada kepentingan uang. Hari ini saya benar-benar berduka atas matinya idealisme yang selama ini kita junjung tinggi”. Diikuti oleh ketiga pendukungnya, Berlian meninggalkan forum. Hendri melanjutkan pertemuan membicarakan persoalan teknis.
Pertemuan dengan Ratna dan pimpinan organisasi yang sudah dijaring Ratna digelar setiap malam untuk membicarakan perkembangan terbaru. Tempat pertemuan selalu berubah-ubah dan hanya diketahui peserta setengah jam sebelum acara. Ratna berdalih ini strategi untuk menghindari bocornya informasi ke pihak lawan, terutama intelejen. Suatu saat mereka bertemu di rumah salah satu pengusaha, gudang pabrik minuman kesehatan, kolam pemancingan, namun yang paling sering adalah di rumah makan yang mempunyai ruang rahasia. Sebuah ruang bawah tanah yang dilengkapi area parkir sehingga dari luar tidak terdeteksi sedang ada pertemuan. Di ruang itu juga terdapat meja bilyar dan fasilitas karaoke yang biasa mereka pakai setelah rapat yang serius selesai dilaksanakan. Ratna tidak selalu datang secara pribadi, kadang-kadang suaminya mewakilinya. Hendri dan Biyan selalu hadir mewakili kelompok mahasiswa.
Lima belas hari sejak Ratna membuat kesepakatan jual beli dengan Anton, terjadi kehebohan di jalan sepanjang empat puluh kilometer dari sentra perusahaan minuman kesehatan menuju ke markas kepolisian resort. Seratus truk dengan jumlah penumpang minimal empat puluh orang berjalan beriringan sambil meneriakkan yel-yel dan lagu-lagu perjuangan. Dibelakang truk ratusan sepeda motor beriringan masing-masing membawa dua orang. Spanduk dan bendera berbagai organisasi pendukung berkibar-kibar di setiap truk. Suara pengeras suara yang memberi komando dan meneriakkan semangat para peserta aksi membahana di antara suara nyanyian yang terkadang diselingi makian terhadap para aparat keamanan yang akan didemo. Sungguh siang yang panas dan meriah.
Sesampainya di lokasi yang dituju, sebagian massa bergerak turun ke jalan, sementara sebagian yang lain tetap berada di atas truk, terutama kaum perempuan. Terlihat para petugas yang ditunjuk menggelar kertas lebar yang sudah ditulisi berbagai tuntutan, kecaman, kritik dan makian kepada pihak aparat. “GANTUNG BUDI PRASTOMO”, “APARAT=PERAMPOK JALANAN”, “POLISI TAK BECUS MENEGAKKAN HUKUM, TIDAK BERGUNA, BUBARKAN SAJA, DIGANTI PRAMUKA”. Yang dimaksud Budi Prastomo dalam poster itu adalah orang yang menjabat sebagai pimpinan institusi yang sedang didemo. Para mahasiswa anggota GMI menyebar ke jalanan menyebar lembaran-lembaran kertas yang berisi maksud dan tujuan aksi kepada masyarkat yang dijumpai lewat sekitar tempat itu. Macam-macam respon orang yang menerima kertas yang biasa disebut pamflet itu. Ada yang menerima langsung membuangnya tanpa membaca isinya, ada yang menyempatkan berhenti untuk memahami isinya dan memberi dukungan semangat, ada bahkan yang turun dari mobilnya datang sendiri mengambil pamflet. Sepertinya orang yang memberi dukdungan adalah salah satu korban yang pernah dimintai uang di jalan oleh polisi yang mengaku sedang menjalankan operasi gabungan. Perasaan senasib atau empati memang mendapatkan waktu yang tepat untuk diekspresikan dalam saat-saat seperti ini.
Sekitar lima belas orang berkumpul di mimbar yang diletakkan di atas kabin sebuah truk. Mereka adalah para pimpinan organisasi yang menjaadi agen penjualan Ratna. Seorang tampil memberi komando dan menyampaika slogan-slogan yang segera disambut yel-yel meriah para peserta aksi. Dia mendapat sebutan koordinator umum. “Saudara-saudaraku senasib sependeritaan, hari ini kita berkumpul di sini, memperjuangkan nasib kita selaku masyarakat minuman kesehatan dan elemen masyarakat peduli minuman kesehatan untuk memeperjuangkan nasib kaum yang ditindas aparat kepolisian karena tindakan mereka yang semena-mena melakukan perampokan dan penodongan serta pemerasan terhadap minuman kesehatan kebanggaan kita. Kita datang untuk memenggal kesewenang-wenangan polisi dan menuntut dipecatnya Budi Prastomo yang tidak becus menjalankan tugasnya selaku pengayom dan pelindung masyarakat. Saudara-saudara setuju Primus Wahyudi dipecat dan digantung?”kata sang orator. “Setujuuuuuuu, gantung, gantung, gantung Kapolres sekarang juga!” sambutan panas membahana disuarakan oleh peserta aksi seperti koor anggota parlemen di masa lalu. Orator melanjutkan pidatonya, ”Saya Harry Prabowo Setiawan, komandan aksi hari ini. Satu komando, satu barisan. Tidak ada komoandan diluar yang berada di mimbar ini. Hati-hati provokasi. Jangan ada yang mengikuti komando orang lain. Provokator bertebaran di tengah-tengah kita”. Setelah dia menyampaikan orasi pembukaannya, menyusullah orator-orator lain yang tampil di mimbar. Orasi itu diselingi dengan lagu-lagu perjuangan seperti aksi mahasiswa ketika menuntut Presiden Suharto turun tahta pada Mei 1998.
Seorang pimpinan
organisasi perempuan tampil memimpin peserta aksi menyanyikan lagu-lagu itu.
Semua peserta memegang teks lagu dan mereka sudah diajari bagaimana
menyanyikannya ketika briefing menjelang berangkat dan di truk selama
perjalanan berangkat. Ketika lagu Darah Juang yang merupakan lagu wajib
mahasiswa ketika menperjuangkan aspirasi rakyat berkumandang di angkasa,
suasana menjadi sangat mengharukan. Terlihat beberapa mahasiswa meneteskan air
mata dengan penuh penghayatan. Wajah mereka masih sangat polos, sangat kuat
kesan mereka mahasiswa semester awal yang belum lama menjadi aktivis.
Suasana dramatik
makin lengkap ketika sejumlah massa bersikeras maju menembus barikade pagar
betis polisi berpangkat rendah untuk maju memasuki kantor polres. Dorong-mendorong
tidak dapat dihindarkan dan suasana makin panas karena banyak peserta yang
terprovokasi dengan melempari polisi dengan apa saja yang bisa dilemparkan,
seperti botol air mineral, makanan, batu, sandal dan lain-lain. Teriakan
histeris disertai amarah terdengar ketika ada salah satu peserta aksi yang
terlihat pingsan setelah terkena lemparan benda keras. Orang-orang yang baru
pertama kali berdemonstrasi merasakn ada suasana kepahlawanan dalam perjuangan
yang dihayati secara penuh. “Seperti di TV yaa?” kata seorang peserta kepada
temannya yang menggambarkan ketakjubannya pada pengalaman yang baru pertama
kalinya terjadi ini. “Kita besok juga pasti masuk TV, lihat saja wartawan
banyak sekali, bawa kamera semua” peserta lain menimpali. “Mas Wartawan, kapan
disiarkan? Kami mau nonton. Nanti ada gambar kita kan?” tanya seorang bapak tua
kepada wartawan televisi swasta yang sedanagmengambil gambar di dekaatnya.
Beberapa anak muda yang sadar sedang direkam kamera malah bertingkah
seolah-olah mereka sedang pemotretan untuk model pakaian di majalah.
Tertawa-tawa dan berganti-ganti gaya dengan mengajukan tangannya membentuk
tanda metal. “Ndeso, ndesooo, katrok!” yang lain menyoraki. Mereka tidak peduli
bahwa di mimbar ada orang yang sedang berorasi dan berusahaa menjaga semangat
massa.
Di sudut
lapangan, seseorang sibuk bertelepon ria. Wajahnya sangat serius. “Ya, beres.
Semua sesuai skenario. Yang luka-luka sudah ditangani.”……”Baik Bos, setengah
jam lagi kita cabut”. Telepon ditutup. Setengah jam kemudian penerima telpon
itu kemudian naik ke atas panggung dan berorasi agar pasukan merapatkan barisan
dan bersiap-siap untuk meninggalkan lokasi demonstrasi. Kemudian
berduyun-duyunlah massa pergi dengan tetap menyanyikan lagu-lagu demonstrasi.
Sore harinya, para agen kembali berkumpul di sebuah rumah makan yang merangkap tempat hiburan malam. Acara kali ini adalah pesta merayakan keberhasilan unjuk kekuatan massa yang berarti juga unjuk kekuatan uang. Ratna duduk manis di kursi kehormatan sambil memindah-mindahkan saluran televisi mencari stasiun yang memberitakan aksi mereka. Terdengar tepuk tangan dan sorak kepuasan memyaksikan liputan yang sangat menguntungkan mereka.
Sore harinya, para agen kembali berkumpul di sebuah rumah makan yang merangkap tempat hiburan malam. Acara kali ini adalah pesta merayakan keberhasilan unjuk kekuatan massa yang berarti juga unjuk kekuatan uang. Ratna duduk manis di kursi kehormatan sambil memindah-mindahkan saluran televisi mencari stasiun yang memberitakan aksi mereka. Terdengar tepuk tangan dan sorak kepuasan memyaksikan liputan yang sangat menguntungkan mereka.
Sejenak mereka
terlihat rapat mengulas aksi tadi siang. Istilah yang dipakai adalah rapat
evaluasi. Setelah disimpulkan bahwa apa yang mereka lakukan berdampak besar
dalam pembuatan opini masyarakat dan target untuk menekan pihak aparat dianggap
telah berhasil acara dilanjutkan dengan bernyanyi, berdansa, makan dan minum
sepuasnya.
Pembagian uang
pembayaran adalah inti acara yang dinanti-nantikan semua hadirin. Ratna rupanya
telah menyaipkan puluhan amplop berisi sejumlah uang sesuai kesepakatan dengan
para agen. Jumlahnya bervariasi tergantung seberapa besar peran masing-masing
agen. Hendri dan Biyan menerima dua juta lebih banyak karena pernyataannya di
media menurut Ratna sangat berarti bagi pembentukan opini masyarakat yang
positif tentang aksi mereka. Menjelang fajar mereka baru meninggalkan arena
pesta.
Nun jauh di
sebuah warung kopi pinggir jalan, berkumpul empat mahasiswa yang menentang aksi
mereka. Berlian tampak berang dan marah-marah karena beberapa jam terakhir ia
mendapat sangat banyak telpon dan pesan pendek yang mengecam keterlibatan
teman-temannya di aksi tadi siang. Para alumni organisasi, politisi, akademisi
dan beberapa pejabat yang mengenalnya menyampaikan penyesalan melihat kibaran
bendera GMI di televisi dan mendengar pernyataan sikap Hendri dan
teman-temannya. Gundah gulana hatinya menahan malu dan amarah yang berkecamuk.
Di sekitarnya ada Tatia, Samsul dan Kholis yang sama gusarnya. Ada pesan yang
sangat menyengat masuk ke telpon selularnya, “Enak ya uang panas hasil jualan
idealisme. Murah banget!!!! Hanya ditebus sepiring nasi, segelas es teh dan
selembar uang. Kalau idealisme sudah dijual, tinggal apa lagi? Besok tubuh yang
lu jual?????!!!!”. Sakit benar hati mereka menerima caci maki itu. “Benar-benar
kita tercoreng-moreng. Seingatku dari sejak aku jadi aktivis mahasiswa belum
sekalipun kita berdemonstrasi karena membela yang bayar. Hari ini benar-benar
sejarah terjungkirbalikkan oleh ganasnya uang” kata Samsul lebih bernada
ratapan. “Kok bisa ya mata hati Hendri dan Biyan buta oleh uang Ratna, padahal
mereka dulu yang mengkader aku agar menjaga idealisme. Runtuh sudah
kepercayaanku padanya. Aku tidak akan mendukungnya kalau ia maju menggantikan
Berlian di rapat umum besok. Mau dibawa kemana organisasi kita? Ke pasar?”
sahut Kholis tak kalah sedih. “Itulah kenyataannya, tak perlu kita menyesal
berlebihan. Kita upayakan bagaimana cara memulihkan semuanya, termasuk menjaga
kader-kader baru agar tidak semakin terjerumus” jawab Berlian. “Aku kehilangan
semangat, sia-sia usaha keras kita selama ini. Hancur!!!” air mata Tatia
berlinang-linang terkenang bagaimana ia membangun jiwa kepahlawanan untuk
dirinya sendiri dan adik-adik tingkatnya dengan tertatih-tatih. Jiwa
kepahlawanan dengan semangat membebaskan orang-orang yang ditindas oleh sistem
yang tidak adil, orang-orang yang terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak ramah
pada kaum lemah, juga orang-orang yang dieksploitasi keringatnya oleh para
pengusaha bermodal raksasa. Tentu saja hatinya hancur melihat bangunan jiwa dan
semangat pembebasan itu dikalahkan oleh lembar-lembar uang yang ditaburkan oleh
pengusaha bermodal raksasa yang menurut keyakinannya melanggar hak hidup sehat
jutaan konsumen minuman kesehatan mereka. Mengapa bukan konsumen yang
terlanggar haknya yang mereka bela, tetapi justru pihak yang telah melanggar
hak hidup mereka secara perlahan-lahan.
Hati mereka semakin terpukul ketika seminggu kemudian datang tamu ke markas mereka. Seorang perempuan dengan dandanan yang sangat anggun, berkacamata hitam yang turun dari sebuah sedan mewah. Tangannya menjabat erat setiap anak yang ditemui. Langkahnya mantap. Yang memiliukan lagi, mahasiswa-mahasiswa paling baru yang kemarin ikut aksi Ratna datang berebut menyalaminya penuh kehangatan dan mengelu-elukan namanya. “Teman-teman terima kasih ya atas kerjasamanya kemarin. Aku sungguh puas ternyata mahasiswa masih punya hati nurani melihat penindasan di sekitar kita. Aku mau menyampaikan undangan syukuran, sekarang aku telah membeli kolam pemancingan di desaku. Besar lo, datang ya besok, kalian bisa memancing dan memasak ikan sepuasnya. Gratis, sebagai tanda persahabatan kita makin erat”. Kata-kata Ratna disambut sorak gembira para mahasiswa. Tak sadar Kholis membanting botol air mineral yang sedang dipegangnya. “Uang haram!” katanya di luar kesadran karena emosinya naik melihat orang yang dianggap sebagai biang kerok kehancuran. “Kholis, Berlian, Tatia dan Samsul, aku undang kalian juga meskipun kemarin kalian tidak ikut. Aku maklum kok sikap kalian” kata Ratna semakin menunjukkan kemenangannya. “Tak sudi!” jawab Tatia spontan.
Hidup ini banyak pilihan. Setiap pilihan ada konsekwensinya. Kesunyian adalah konsekwensi memilih menjadi idealis. Berlian menyadari sepenuhnya. Oleh karenanya ketika ia merasa terasing di antara teman-temannya yang mayoritas memilih pragmatis, ia mencoba menghayati kesunyian dan rasa keterasingan itu tanpa penyesalan. Dan Ratna sadar betul, menjadi penjual adalah pilihan yang tepat karena tujuannya semata-mata mengeruk keuntungan pribadi. Tidak mudah menjadi penjual yang cepat kaya seperti dirinya. Ia melatih naluri berjualan sejak menjadi aktivis senior sebuah oragisasi mahasiswa di Jakarta. Seperti Berlian cs, awalnya ia sangat idealis dan menjunjung tinggi independensi, namun setelah melihat sepak terjang senior dan para alumni yang sudah mapan ia berpikir tidak ada salahnya berputar haluan. Sekembalinya ke kota asalnya, ia tidak disia-siakan peluang berjualan yang sangat menjanjikan itu. Jadilah ia Ratna sang penjual ulung seperti sekarang. Penjual massa dan isu yang dikemas dalam kata-kata penuh semangat kepahlawanan. Perjuangan, gerakan rakyat, advokasi, membebaskan kaum tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan, jihad dan sebagainya. Di balik itu semua, uang pembelilah yang semata-mata ia perjuangkan. Untuk kepentingannya sendiri, bukan yang lain!
Hati mereka semakin terpukul ketika seminggu kemudian datang tamu ke markas mereka. Seorang perempuan dengan dandanan yang sangat anggun, berkacamata hitam yang turun dari sebuah sedan mewah. Tangannya menjabat erat setiap anak yang ditemui. Langkahnya mantap. Yang memiliukan lagi, mahasiswa-mahasiswa paling baru yang kemarin ikut aksi Ratna datang berebut menyalaminya penuh kehangatan dan mengelu-elukan namanya. “Teman-teman terima kasih ya atas kerjasamanya kemarin. Aku sungguh puas ternyata mahasiswa masih punya hati nurani melihat penindasan di sekitar kita. Aku mau menyampaikan undangan syukuran, sekarang aku telah membeli kolam pemancingan di desaku. Besar lo, datang ya besok, kalian bisa memancing dan memasak ikan sepuasnya. Gratis, sebagai tanda persahabatan kita makin erat”. Kata-kata Ratna disambut sorak gembira para mahasiswa. Tak sadar Kholis membanting botol air mineral yang sedang dipegangnya. “Uang haram!” katanya di luar kesadran karena emosinya naik melihat orang yang dianggap sebagai biang kerok kehancuran. “Kholis, Berlian, Tatia dan Samsul, aku undang kalian juga meskipun kemarin kalian tidak ikut. Aku maklum kok sikap kalian” kata Ratna semakin menunjukkan kemenangannya. “Tak sudi!” jawab Tatia spontan.
Hidup ini banyak pilihan. Setiap pilihan ada konsekwensinya. Kesunyian adalah konsekwensi memilih menjadi idealis. Berlian menyadari sepenuhnya. Oleh karenanya ketika ia merasa terasing di antara teman-temannya yang mayoritas memilih pragmatis, ia mencoba menghayati kesunyian dan rasa keterasingan itu tanpa penyesalan. Dan Ratna sadar betul, menjadi penjual adalah pilihan yang tepat karena tujuannya semata-mata mengeruk keuntungan pribadi. Tidak mudah menjadi penjual yang cepat kaya seperti dirinya. Ia melatih naluri berjualan sejak menjadi aktivis senior sebuah oragisasi mahasiswa di Jakarta. Seperti Berlian cs, awalnya ia sangat idealis dan menjunjung tinggi independensi, namun setelah melihat sepak terjang senior dan para alumni yang sudah mapan ia berpikir tidak ada salahnya berputar haluan. Sekembalinya ke kota asalnya, ia tidak disia-siakan peluang berjualan yang sangat menjanjikan itu. Jadilah ia Ratna sang penjual ulung seperti sekarang. Penjual massa dan isu yang dikemas dalam kata-kata penuh semangat kepahlawanan. Perjuangan, gerakan rakyat, advokasi, membebaskan kaum tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan, jihad dan sebagainya. Di balik itu semua, uang pembelilah yang semata-mata ia perjuangkan. Untuk kepentingannya sendiri, bukan yang lain!
Cilacap, 17 Juli 2007
Penulis
Zulfatun Ni’mah