Jualan

Namanya Ratna. Lengkapnya Utari Ratnajuwita. Pekerjaannya berjualan. Tetapi tidak seperti pedagang ayam, pakaian, sepatu, atau barang elektronik di pasar, karena Ratna tidak punya tempat jualan yang tetap, oleh karenanya tidak perlu repot-repot membayar retribusi ke petugas pasar. Berjualan keliling seperti abang bakso atau penjual es dawet? Tidak juga, makanya dia tidak punya gerobak dorong. Ia juga tidak pernah terlihat memegang atau membawa barang dagangannya, tidak juga punya daftar harga dan menu seperti pemilik rumah makan. Lha, lantas bagaimana ia bisa dikatakan punya pekerjaan berjualan? Ini dia. Ia melakukan tawar-menawar, kata-katanya sangat meyakinkan bahwa objek yang dijualnya ada dan tidak akan mengecewakan, konsumennya tidak main-main, para pejabat, pengusaha besar, aparat keamanan dan deretan nama yang biasa dilekati sebutan “orang penting”.Keuntungannya jangan ditanya. Sekali jualannya dibeli, mobil suaminya yang keluaran tahun 80-an bisa mendadak berganti paling mutakhir, atau perhiasan di badannya bertambah satu ons beratnya. Bisa juga anaknya yang masih belajar di TK dibelikan laptop baru, biar tanggap teknologi sejak dini katanya, jadi kalau saat dewasa nanti menjadi anggota DPR tidak dicaci maki rakyat karena minta laptop dari uang negara tapi sebenarnya tidak bisa mengoperasikannya. Pandangan Ratna memang jauh ke depan, jauh melebihi perempuan pada umumnya. Saking jauhnya kadang-kadang apa yang ada di depan matanya tidak terlihat. Ia bilang itu namanya visioner.

Sebaliknya kalau rugi, tidak main-main juga. Tidak hanya emas di badannya bisa berkurang satu ons sepuluh gram, tetapi berat badannya juga. Pernah bahkan ia menjual telepon genggamnya yang menjadi alat pendukung utama berjualannya. Entah karena memang harus menutup kerugiannya atau karena sengaja menutup saluran komunikasi agar pelanggan yang dikecewakannya tidak bisa memarahinya terus-terusan. Tapi sepanjang sejarah pekerjaannya, kerugian yang pernah dideritanya jauh lebih kecil dibanding keuntungan yang sudah ditimbunnya. Baru dijalani tiga tahun saja, ia sudah bisa membangun rumah yang lebih mirip villa di kampungnya, padahal sebelum itu ia tinggal di rumah orang tuanya yang menurut standar Departemen Kesehatan belum bisa disebut rumah sehat dan layak.
Ratna memang telaten merawat barang jualannya. Keuntungan dari berjualannya banyak yang terserap untuk urusan perawatan, termasuk perawatan hubungan baik dengan konsumen agar tetap setia berbelanja kepadanya.
Pagi ini ia akan menemui salah satu pelanggan tetapnya, seorang pengusaha minuman kesehatan. Cermat benar ia mematut diri di depan cermin. Ia ingin memberi kesan sebagai perempuan yang tidak hanya lihai berjualan, tetapi juga cantik, menjaga penampilan dan berkelas tinggi, tidak lebih rendah dari pelanggan yang akan ditemuinya. Berbagai tip dari penasehat busana ia terapkan betul. Mulai dari perpaduan warna, model, jenis kain serta aksesori dan riasan wajah sangat diserasikan. Tampilan akhirnya bisa disejajarkan artis Arzeti Bilbina yang terkenal modis itu.
Ia sudah menyiapkan daftar barang dagangan yang akan ditawarkan. Khawatir lupa, ia membuat catatan di buku kecilnya.
Tepat jam 09. 00 sebagaimana yang dijanjikan, Ratna sampai di tempat yang ditentukan, sebuah rumah makan taman. “Selamat pagi Pak Anton, maaf membuat menunggu” sapa Ratna pada pelanggannya yang ternyata telah datang lebih dulu. “Pagi Jeng, Anda datang tepat waktu, jadi tidak perlu minta maaf?” jawab pelanggannya yang bernama Anton itu. Setelah memesan minuman mereka masuk pada pembicaraan inti. “Begini Jeng, saya benar-benar dibuat jengkel oleh ulah aparat, barang dagangan saya kemarin ditahan di perjalanan ke luar kota. Ini sudah yang kelima kalinya. Sebelum ini saya selalu menebus barang itu dengan uang minimal 300 juta. Kali ini bukannya saya tidak bisa bayar tebusan, tapi saya tidak mau ini jadi kebiasaan. Jadi saya minta Jeng Ratna mau membantu saya” kata Anton. Ratna manggut-manggut sambil tidak melepas tatapan mata penuh percaya diri dan wajah cerahnya. Menurut teori kepribadian ini merupakan bahasa tubuh yang membuat calon pembeli yakin akan bermitra bisnis dengan penjual. “Jangan khawatir Pak, saya punya yang Bapak butuhkan. Ada lima ribu orang dan akan saya atur mereka untuk melakukan tekanan pada aparat. Yang penting sekarang harganya” jawab Ratna mantap. “Atur sajalah. Berapa yang Jeng mau?”tanya Anton. “Menurut perhitungan saya satu paket dengan jumlah massa lima ribu orang minimal satu milyar Pak. Bagaiman, Bapak setuju?” Ratna menawarkan harga setelah menghitung-hitung angka di kalkulator laptopnya. “Tidak bisa kurang Jeng?” tawar Anton. Ratna tersenyum meyakinkan. “Wah, ini proyek berat Pak, agar massa tetap terkendali logistiknya harus seimbang. Saya kira proyek ini akan sangat menolong bisnis Bapak. Percayalah, pelayanan saya tidak akan mengecewakan” Ratna berusaha meyakinkan Anton. Dan tidak sampai sejam kemudian mereka sudah saling setuju tentang hak dan kewajiban masing-masing dalam transaksi ini. Anton menyediakan tujuh ratus juta rupiah untuk paket layanan Ratna. Transaksi sebesar itu tidak ditulis dalam bentuk surat perjanjian seperti kalau jual beli barang berharga, bahkan selembar kuitansipun tidak ada. Yang dibawa pulang Ratna adalah selembar cek senilai tiga ratus juta rupiah sebagai uang muka pembelian paket itu.
Sampai di rumah, Ratna segera menghubungi agen-agen yang diharapkan akan memperlancar jualannya. Yang pertama adalah suaminya untuk mengabarkan kesepakatannya dengan Anton dan memberinya instruksi yang harus dilakukan. Setelah itu ia membuat janji pertemuan dengan para pimpinan organisasi massa, paguyuban buruh sepuluh pabrik minuman kesehatan yang senasib dengan Anton, lembaga swadaya masyarakat, baik yang fiktif maupun yang nyata, organisasi perempuan dan yang paling penting organisasi mahasiswa. Disebut paling penting karena dengan melibatkan organisasi mahasiswa jualannya akan mudah mendapatkan legitimasi, ibarat makanan sudah mendapatkan label halal dari MUI. Konon, mahasiswa adalah kelompok yang paling idealis, selalu bergerak atas nama hati nurani , nilai-nilai kebernaran dan keadilan, membela kaum tertindas dan tidak bisa dibeli. Masyarakat akan berpendapat jika mahasiswa bergerak berarti ada masalah yang sudah sangat mendesak dan parah yang dialami rakyat, karena mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat dalam menyuarakan kepentingannya. Butuh waktu satu minggu untuk Ratna mengkondisikan para agen agar mau mendukung bisnisnya dengan Anton. Dengan meyakinkan, berapi-api dan bahasa penuh provokasi akan kebiadaban aparat, Ratna menyampaikan ajakannya.
Di forum yang dihadiri kaum buruh perempuan dan istri buruh, Ratna menyampaikan pidatonya. “Ibu-ibu para buruh pabrik minuman kesehatan yang saya hormati. Sebagaimana Ibu-ibu ketahui, pabrik minuman kesehatan adalah sumber pendapatan keluarga Ibu. Kalau ada orang mengganggu kelancaran pabrik minuman kesehatan maka Ibu-ibulah orang yang pertama kali akan merasakan penderitaan, karena pendapatan hilang, padahal kita kaum perempuan memiliki tanggung jawab paling berat dalam mengelola keuangan rumah tangga. Oleh karena itu, mari kita melakukan demonstrasi menuntut Kapolres untuk mundur dari jabatannya karena tidak bisa menjamin keamanan berusaha di sini, tetapi malah menjadi perampok yang secara semena-mena merampas dagangan pabrik kita demi mendapat tebusan uang ratusan juta. Ibu-ibu sangat dirugikan, betul?”. “Betuuuuuul” serempak para hadirin mengamini kata-kata Ratna. Ratna melanjutkan pidatonya denggan penuh semangat dan meyakinkan. Di akhir pertemuan, semua yang hadir membubuhkan tanda tangan mendukung akan dilakukannya aksi. Mereka juga membuat rencana aksi bersama-sama yang sudah disesuaikan dengan rencana besar Ratna. Terlihat para ibu penuh semangat karena merasa akan memperjuangkan nasib keluarganya dan itu adalah jihad akbar, sebagaimana kata Ratna dalam pidatonya.
Beberapa teman seprofesi Ratna mendapat cipratan rejeki Ratna. Diantara mereka mendapat tanggungjawab yang sama dengan Ratna, yakni menggalang dukungan berbagai organisasi yang mempunyai massa. Ada yang bertugas membuat setting acara di lapangan, ada pula yang sekedar menemani Ratna menghadiri pertemuan dan menguatkan argumentasi Ratna di forum.
Usaha menggalang dukungan demonstrasi paling sulit dilakukan dengan organisasi mahasiswa. Benar, kelompok ini memang sangat hati-hati dan cerdas dalam membuat analisa kepentingan. Ratna sampai kewalahan meyakinkan mereka karena ternyata ada komentar yang sangat tidak diduganya. Seorang mahasiswi bertubuh kecil dan tidak begitu terkenal berkata, “Maaf sebelumnya Mba Ratna. Saya terus terang tidak setuju organisasi kami mendukung aksi yang Mba usulkan. Berdasarakan diskusi ilmiah di kampus dengan dosen hukum perlindungan konsumen, saya tahu bahwa ada persoalan yang krusial. Bahwa di internal pabrik minuman kesehatan sendiri ada pelanggaran peraturan tentang komposisi minuman kesehatan. Ada zat kimia berbahaya yang menurut peraturan perundangan mestinya tidak dimasukkan dalam minuman kesehatan karena zat itu bisa menyebabkan kanker bagi yang mengkonsumsinya. Artinya, saya melihat ada konflik kepentingan antara pengusaha dan aparat dalam konteks penahanan minuman kesehatan itu. Pengusaha ingin bisnisnya lancar walaupun melanggar aturan dan membahayakan keselamatan umum, dan aparat kepolisiann memanfaatkan posisi mereka yang lemah di hadapan hukum dengan menahan produk dan meminta tebusan secara rutin. Saya kira mahasiswa tidak dalam kapasitas membela siapapun dalam masalah ini karena ini hanya konflik kepentingan elit semata, bukan kepentingan rakyat lemah”. Kata-katanya sangat tajam di telinga Ratna. “Begini Saudari Tatia, yang kita lihat adalah dampak perbuatan sewenang-wenang aparat. Kalau ini dibiarkan pabrik bisa bangkrut dan akan banyak buruh yang terlantar. Bagaimana nasib keluarga mereka. Ini yang kita bela. Mereka rakyat tertindas, di mana tanggungjawab mahasiswa ketika ada rakyat menjerit seperti sekarang ini?” Ratna menjawab dengan berapi-api. “Benar Mba Ratna, kami tidak dapat membela pihak yang secara moral melakukan pelanggaran. Apalagi ini menyangkut keselamatan ribuan nyawa konsumen. Saya sangat keberatan jika organisasi ini masuk dalam wilayah konflik elit ini. Soal kehidupan buruh adalah tanggungjawab perusahaan. Mereka yang mestinya menjamin keberlangsungan perusahaan dan menghidupi buruh dengan memakai aturan hukum yang benar”, kalimat ini keluar dari mulut pimpinan organisasi. Seorang mahasiswi yang yang kelihatan tenang, namanya Berlian. Perdebatan berlangsung lama. Akhirnya dihentikan sejenak dan Ratna mengajak seorang pengurus bernama Hendri bicara empat mata. “Hendri, aku tahu kamu mau maju di bursa pemilihan ketua umum GMI. Mengapa kita tidak bekerjasama saja? Saling menguntungkan!” kata Ratna. “Berapa tawaranmu? aku bisa mengerahkan seratus mahasiswa, membawa bendera GMI. Soal Berlian dan Tatia biar aku yang selesaikan” Hendri balik bertanya. “Maumu berapa? Seratus kali lima puluh ribu, lima juta ya? Cukup kan untuk operasional? Khusus buatmu aku kasih bonus satu juta. Bagaimana?” tawar Ratna. “Kurang Mba, Berlian juga harus disuap, kalo satu juta dia nggak bakalan mau. Sepuluh juta beres semuanya. Pengurus ada lima belas, jatahnya dua ratus ribuan. OK? Aku butuh saving buat kampanye besok” Hendri menawar lebih tinggi. “Ya sudah, aku setuju. Kalian diskusikan lagi sendiri. Aku menyerah menghadapi dua temanmu itu” kata Ratna menutup transaksinya. Dengan muka masam yang tampak dipaksakan ramah, Ratna meninggalkan markas organisasi itu. Terakhir ia berkata, “Baik, saya kira tidak ada gunanya berdebat panjang karena hanya membuang-buang waktu saja, sementara persoalan sudah sedemikian mendesak untuk diselesaikan. Saya pamit, dan tawaran saya masih terbuka untuk kalian. Sewaktu-waktu kalian memutuskan untuk mendukung gerakan rakyat melawan kezaliman penguasa, saya akan dengan tangan terbuka menerima dan kita akan menjadi kekuatan besar. Saya kira ini kesempatan emas untuk membuktikan komitmen mahasiswa akan mandat sosial yang diemban. Selamat siang!”.
Setelah Ratna pergi, Hendri memimpin rapat. “Teman-teman, dalam dunia gerakan, kongkrit kita butuh jaringan. Saya pikir Ratna dan para pengusaha adalah pihak yang bisa jadi teman gerakan kita. Mereka aset besar, jangan kita tinggalkan, ini kesempatan menjalin kemitraan. Di waktu yang akan datang, kalau kita akan mengadakan kegiatan, mereka bisa kita mintai sumbangan. Ini bicara kebutuhan kongkrit. Baru pertama bekerjasama saja mereka sudah menawarkan harga tujuh juta, jumlah yang sebelum ini sangat sulit kita kumpulkan” kata Hendri membuka rapat lanjutan. Ia memanipulasi kesepakatannya dengan Ratna yang sebenarnya sepuluh juta. “Saya setuju, sudah saatnya kita bicara yang kongkrit-kongkrit. Idealis memang perlu, tetapi tidak selamanya bisa diterapkan” kata Biyan, pengurus bidang pengkaderan. “Saya malu ternyata GMI hanya bicara saja. Bisa dibeli dengan sangat murah, hanya tujuh juta!”timpal Tatia sengit. Karena tidak ada titik temu, akhirnya pengambilan keputusan menggunakan cara voting. Tatia dan Berlian mendapat dua teman, yaitu Samsul dan Kholis. Sebelas pengurus lainnya setuju dengan Hendri. Mau tidak mau Berlian menyerah. Di akhir pertemuan ia berkata, “Teman-teman, kita sudah melalui proses pengambilan keputusan yang demokratis. Meskipun secara pribadi saya sangat tidak setuju, atas nama demokrasi saya tidak akan memaksakan kehendak saya. Silakan kerjasama ini dilaksanakan. Namun, maaf, saya tidak bisa berpartisipasi secara pribadi. Saya tidak bisa mengingkari hati nurani untuk tunduk pada kepentingan uang. Hari ini saya benar-benar berduka atas matinya idealisme yang selama ini kita junjung tinggi”. Diikuti oleh ketiga pendukungnya, Berlian meninggalkan forum. Hendri melanjutkan pertemuan membicarakan persoalan teknis.
Pertemuan dengan Ratna dan pimpinan organisasi yang sudah dijaring Ratna digelar setiap malam untuk membicarakan perkembangan terbaru. Tempat pertemuan selalu berubah-ubah dan hanya diketahui peserta setengah jam sebelum acara. Ratna berdalih ini strategi untuk menghindari bocornya informasi ke pihak lawan, terutama intelejen. Suatu saat mereka bertemu di rumah salah satu pengusaha, gudang pabrik minuman kesehatan, kolam pemancingan, namun yang paling sering adalah di rumah makan yang mempunyai ruang rahasia. Sebuah ruang bawah tanah yang dilengkapi area parkir sehingga dari luar tidak terdeteksi sedang ada pertemuan. Di ruang itu juga terdapat meja bilyar dan fasilitas karaoke yang biasa mereka pakai setelah rapat yang serius selesai dilaksanakan. Ratna tidak selalu datang secara pribadi, kadang-kadang suaminya mewakilinya. Hendri dan Biyan selalu hadir mewakili kelompok mahasiswa.
Lima belas hari sejak Ratna membuat kesepakatan jual beli dengan Anton, terjadi kehebohan di jalan sepanjang empat puluh kilometer dari sentra perusahaan minuman kesehatan menuju ke markas kepolisian resort. Seratus truk dengan jumlah penumpang minimal empat puluh orang berjalan beriringan sambil meneriakkan yel-yel dan lagu-lagu perjuangan. Dibelakang truk ratusan sepeda motor beriringan masing-masing membawa dua orang. Spanduk dan bendera berbagai organisasi pendukung berkibar-kibar di setiap truk. Suara pengeras suara yang memberi komando dan meneriakkan semangat para peserta aksi membahana di antara suara nyanyian yang terkadang diselingi makian terhadap para aparat keamanan yang akan didemo. Sungguh siang yang panas dan meriah.
Sesampainya di lokasi yang dituju, sebagian massa bergerak turun ke jalan, sementara sebagian yang lain tetap berada di atas truk, terutama kaum perempuan. Terlihat para petugas yang ditunjuk menggelar kertas lebar yang sudah ditulisi berbagai tuntutan, kecaman, kritik dan makian kepada pihak aparat. “GANTUNG BUDI PRASTOMO”, “APARAT=PERAMPOK JALANAN”, “POLISI TAK BECUS MENEGAKKAN HUKUM, TIDAK BERGUNA, BUBARKAN SAJA, DIGANTI PRAMUKA”. Yang dimaksud Budi Prastomo dalam poster itu adalah orang yang menjabat sebagai pimpinan institusi yang sedang didemo. Para mahasiswa anggota GMI menyebar ke jalanan menyebar lembaran-lembaran kertas yang berisi maksud dan tujuan aksi kepada masyarkat yang dijumpai lewat sekitar tempat itu. Macam-macam respon orang yang menerima kertas yang biasa disebut pamflet itu. Ada yang menerima langsung membuangnya tanpa membaca isinya, ada yang menyempatkan berhenti untuk memahami isinya dan memberi dukungan semangat, ada bahkan yang turun dari mobilnya datang sendiri mengambil pamflet. Sepertinya orang yang memberi dukdungan adalah salah satu korban yang pernah dimintai uang di jalan oleh polisi yang mengaku sedang menjalankan operasi gabungan. Perasaan senasib atau empati memang mendapatkan waktu yang tepat untuk diekspresikan dalam saat-saat seperti ini.
Sekitar lima belas orang berkumpul di mimbar yang diletakkan di atas kabin sebuah truk. Mereka adalah para pimpinan organisasi yang menjaadi agen penjualan Ratna. Seorang tampil memberi komando dan menyampaika slogan-slogan yang segera disambut yel-yel meriah para peserta aksi. Dia mendapat sebutan koordinator umum. “Saudara-saudaraku senasib sependeritaan, hari ini kita berkumpul di sini, memperjuangkan nasib kita selaku masyarakat minuman kesehatan dan elemen masyarakat peduli minuman kesehatan untuk memeperjuangkan nasib kaum yang ditindas aparat kepolisian karena tindakan mereka yang semena-mena melakukan perampokan dan penodongan serta pemerasan terhadap minuman kesehatan kebanggaan kita. Kita datang untuk memenggal kesewenang-wenangan polisi dan menuntut dipecatnya Budi Prastomo yang tidak becus menjalankan tugasnya selaku pengayom dan pelindung masyarakat. Saudara-saudara setuju Primus Wahyudi dipecat dan digantung?”kata sang orator. “Setujuuuuuuu, gantung, gantung, gantung Kapolres sekarang juga!” sambutan panas membahana disuarakan oleh peserta aksi seperti koor anggota parlemen di masa lalu. Orator melanjutkan pidatonya, ”Saya Harry Prabowo Setiawan, komandan aksi hari ini. Satu komando, satu barisan. Tidak ada komoandan diluar yang berada di mimbar ini. Hati-hati provokasi. Jangan ada yang mengikuti komando orang lain. Provokator bertebaran di tengah-tengah kita”. Setelah dia menyampaikan orasi pembukaannya, menyusullah orator-orator lain yang tampil di mimbar. Orasi itu diselingi dengan lagu-lagu perjuangan seperti aksi mahasiswa ketika menuntut Presiden Suharto turun tahta pada Mei 1998.
Seorang pimpinan organisasi perempuan tampil memimpin peserta aksi menyanyikan lagu-lagu itu. Semua peserta memegang teks lagu dan mereka sudah diajari bagaimana menyanyikannya ketika briefing menjelang berangkat dan di truk selama perjalanan berangkat. Ketika lagu Darah Juang yang merupakan lagu wajib mahasiswa ketika menperjuangkan aspirasi rakyat berkumandang di angkasa, suasana menjadi sangat mengharukan. Terlihat beberapa mahasiswa meneteskan air mata dengan penuh penghayatan. Wajah mereka masih sangat polos, sangat kuat kesan mereka mahasiswa semester awal yang belum lama menjadi aktivis.
Suasana dramatik makin lengkap ketika sejumlah massa bersikeras maju menembus barikade pagar betis polisi berpangkat rendah untuk maju memasuki kantor polres. Dorong-mendorong tidak dapat dihindarkan dan suasana makin panas karena banyak peserta yang terprovokasi dengan melempari polisi dengan apa saja yang bisa dilemparkan, seperti botol air mineral, makanan, batu, sandal dan lain-lain. Teriakan histeris disertai amarah terdengar ketika ada salah satu peserta aksi yang terlihat pingsan setelah terkena lemparan benda keras. Orang-orang yang baru pertama kali berdemonstrasi merasakn ada suasana kepahlawanan dalam perjuangan yang dihayati secara penuh. “Seperti di TV yaa?” kata seorang peserta kepada temannya yang menggambarkan ketakjubannya pada pengalaman yang baru pertama kalinya terjadi ini. “Kita besok juga pasti masuk TV, lihat saja wartawan banyak sekali, bawa kamera semua” peserta lain menimpali. “Mas Wartawan, kapan disiarkan? Kami mau nonton. Nanti ada gambar kita kan?” tanya seorang bapak tua kepada wartawan televisi swasta yang sedanagmengambil gambar di dekaatnya. Beberapa anak muda yang sadar sedang direkam kamera malah bertingkah seolah-olah mereka sedang pemotretan untuk model pakaian di majalah. Tertawa-tawa dan berganti-ganti gaya dengan mengajukan tangannya membentuk tanda metal. “Ndeso, ndesooo, katrok!” yang lain menyoraki. Mereka tidak peduli bahwa di mimbar ada orang yang sedang berorasi dan berusahaa menjaga semangat massa.
Di sudut lapangan, seseorang sibuk bertelepon ria. Wajahnya sangat serius. “Ya, beres. Semua sesuai skenario. Yang luka-luka sudah ditangani.”……”Baik Bos, setengah jam lagi kita cabut”. Telepon ditutup. Setengah jam kemudian penerima telpon itu kemudian naik ke atas panggung dan berorasi agar pasukan merapatkan barisan dan bersiap-siap untuk meninggalkan lokasi demonstrasi. Kemudian berduyun-duyunlah massa pergi dengan tetap menyanyikan lagu-lagu demonstrasi.
Sore harinya, para agen kembali berkumpul di sebuah rumah makan yang merangkap tempat hiburan malam. Acara kali ini adalah pesta merayakan keberhasilan unjuk kekuatan massa yang berarti juga unjuk kekuatan uang. Ratna duduk manis di kursi kehormatan sambil memindah-mindahkan saluran televisi mencari stasiun yang memberitakan aksi mereka. Terdengar tepuk tangan dan sorak kepuasan memyaksikan liputan yang sangat menguntungkan mereka.
Sejenak mereka terlihat rapat mengulas aksi tadi siang. Istilah yang dipakai adalah rapat evaluasi. Setelah disimpulkan bahwa apa yang mereka lakukan berdampak besar dalam pembuatan opini masyarakat dan target untuk menekan pihak aparat dianggap telah berhasil acara dilanjutkan dengan bernyanyi, berdansa, makan dan minum sepuasnya.
Pembagian uang pembayaran adalah inti acara yang dinanti-nantikan semua hadirin. Ratna rupanya telah menyaipkan puluhan amplop berisi sejumlah uang sesuai kesepakatan dengan para agen. Jumlahnya bervariasi tergantung seberapa besar peran masing-masing agen. Hendri dan Biyan menerima dua juta lebih banyak karena pernyataannya di media menurut Ratna sangat berarti bagi pembentukan opini masyarakat yang positif tentang aksi mereka. Menjelang fajar mereka baru meninggalkan arena pesta.
Nun jauh di sebuah warung kopi pinggir jalan, berkumpul empat mahasiswa yang menentang aksi mereka. Berlian tampak berang dan marah-marah karena beberapa jam terakhir ia mendapat sangat banyak telpon dan pesan pendek yang mengecam keterlibatan teman-temannya di aksi tadi siang. Para alumni organisasi, politisi, akademisi dan beberapa pejabat yang mengenalnya menyampaikan penyesalan melihat kibaran bendera GMI di televisi dan mendengar pernyataan sikap Hendri dan teman-temannya. Gundah gulana hatinya menahan malu dan amarah yang berkecamuk. Di sekitarnya ada Tatia, Samsul dan Kholis yang sama gusarnya. Ada pesan yang sangat menyengat masuk ke telpon selularnya, “Enak ya uang panas hasil jualan idealisme. Murah banget!!!! Hanya ditebus sepiring nasi, segelas es teh dan selembar uang. Kalau idealisme sudah dijual, tinggal apa lagi? Besok tubuh yang lu jual?????!!!!”. Sakit benar hati mereka menerima caci maki itu. “Benar-benar kita tercoreng-moreng. Seingatku dari sejak aku jadi aktivis mahasiswa belum sekalipun kita berdemonstrasi karena membela yang bayar. Hari ini benar-benar sejarah terjungkirbalikkan oleh ganasnya uang” kata Samsul lebih bernada ratapan. “Kok bisa ya mata hati Hendri dan Biyan buta oleh uang Ratna, padahal mereka dulu yang mengkader aku agar menjaga idealisme. Runtuh sudah kepercayaanku padanya. Aku tidak akan mendukungnya kalau ia maju menggantikan Berlian di rapat umum besok. Mau dibawa kemana organisasi kita? Ke pasar?” sahut Kholis tak kalah sedih. “Itulah kenyataannya, tak perlu kita menyesal berlebihan. Kita upayakan bagaimana cara memulihkan semuanya, termasuk menjaga kader-kader baru agar tidak semakin terjerumus” jawab Berlian. “Aku kehilangan semangat, sia-sia usaha keras kita selama ini. Hancur!!!” air mata Tatia berlinang-linang terkenang bagaimana ia membangun jiwa kepahlawanan untuk dirinya sendiri dan adik-adik tingkatnya dengan tertatih-tatih. Jiwa kepahlawanan dengan semangat membebaskan orang-orang yang ditindas oleh sistem yang tidak adil, orang-orang yang terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak ramah pada kaum lemah, juga orang-orang yang dieksploitasi keringatnya oleh para pengusaha bermodal raksasa. Tentu saja hatinya hancur melihat bangunan jiwa dan semangat pembebasan itu dikalahkan oleh lembar-lembar uang yang ditaburkan oleh pengusaha bermodal raksasa yang menurut keyakinannya melanggar hak hidup sehat jutaan konsumen minuman kesehatan mereka. Mengapa bukan konsumen yang terlanggar haknya yang mereka bela, tetapi justru pihak yang telah melanggar hak hidup mereka secara perlahan-lahan.
Hati mereka semakin terpukul ketika seminggu kemudian datang tamu ke markas mereka. Seorang perempuan dengan dandanan yang sangat anggun, berkacamata hitam yang turun dari sebuah sedan mewah. Tangannya menjabat erat setiap anak yang ditemui. Langkahnya mantap. Yang memiliukan lagi, mahasiswa-mahasiswa paling baru yang kemarin ikut aksi Ratna datang berebut menyalaminya penuh kehangatan dan mengelu-elukan namanya. “Teman-teman terima kasih ya atas kerjasamanya kemarin. Aku sungguh puas ternyata mahasiswa masih punya hati nurani melihat penindasan di sekitar kita. Aku mau menyampaikan undangan syukuran, sekarang aku telah membeli kolam pemancingan di desaku. Besar lo, datang ya besok, kalian bisa memancing dan memasak ikan sepuasnya. Gratis, sebagai tanda persahabatan kita makin erat”. Kata-kata Ratna disambut sorak gembira para mahasiswa. Tak sadar Kholis membanting botol air mineral yang sedang dipegangnya. “Uang haram!” katanya di luar kesadran karena emosinya naik melihat orang yang dianggap sebagai biang kerok kehancuran. “Kholis, Berlian, Tatia dan Samsul, aku undang kalian juga meskipun kemarin kalian tidak ikut. Aku maklum kok sikap kalian” kata Ratna semakin menunjukkan kemenangannya. “Tak sudi!” jawab Tatia spontan.
Hidup ini banyak pilihan. Setiap pilihan ada konsekwensinya. Kesunyian adalah konsekwensi memilih menjadi idealis. Berlian menyadari sepenuhnya. Oleh karenanya ketika ia merasa terasing di antara teman-temannya yang mayoritas memilih pragmatis, ia mencoba menghayati kesunyian dan rasa keterasingan itu tanpa penyesalan. Dan Ratna sadar betul, menjadi penjual adalah pilihan yang tepat karena tujuannya semata-mata mengeruk keuntungan pribadi. Tidak mudah menjadi penjual yang cepat kaya seperti dirinya. Ia melatih naluri berjualan sejak menjadi aktivis senior sebuah oragisasi mahasiswa di Jakarta. Seperti Berlian cs, awalnya ia sangat idealis dan menjunjung tinggi independensi, namun setelah melihat sepak terjang senior dan para alumni yang sudah mapan ia berpikir tidak ada salahnya berputar haluan. Sekembalinya ke kota asalnya, ia tidak disia-siakan peluang berjualan yang sangat menjanjikan itu. Jadilah ia Ratna sang penjual ulung seperti sekarang. Penjual massa dan isu yang dikemas dalam kata-kata penuh semangat kepahlawanan. Perjuangan, gerakan rakyat, advokasi, membebaskan kaum tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan, jihad dan sebagainya. Di balik itu semua, uang pembelilah yang semata-mata ia perjuangkan. Untuk kepentingannya sendiri, bukan yang lain!
Cilacap, 17 Juli 2007
Penulis
Zulfatun Ni’mah


Privatisasi Perempuan, Paradigma Dasar Fiqih Perempuan Klasik

zulfa_ma@yahoo.com

Abstract

The change is an absolute process in all aspects of life. Human as actor of this life witnesses this process, muchmore women. Because of being made in ancient time, law oftern come late other contemporary events. Law on women are lagged, behind unable to keep abreast with wheels of changes. Hence it seems absolute and void which leads to obtaining laws legimitation over their choosen deeds as a result of the changes, event if they prompt to utilize the old law, they are threaten with sins, prohibition and hell. A new law formulation that accomadating to women’s need is unavoidable. Much less their voices, thoughts, feelings, and experiences should be a sourced of deliberation in regulating new Islamic law (fiqih) so as to bring no fault any longer as it was being formatted which mens dominanace
Kata kunci: Fikih, Perempuan, Dominan, Kekosongan Hukum

PENDAHULUAN
Dewasa ini muncul berbagai pensifatan yang dilekatkan pada kata fiqih atau hukum Islam, antara lain kontemporer, kontekstual, sosial, realitas (Fuad, 2005: th). Pensifatan yang kurang lebih sama juga dilekatkan pada Islam selaku payung besar fiqih, sehingga mucul Islam transformatif, Islam liberal, Islam emansipatoris dan lain-lain. Sifat-sifat yang  dilekatkan pada fiqih dan Islam tersebut mengandung gagasan yang sama yakni bagaimana menampilkan Islam, khususnya hukum-hukumnya untuk dapat merespon perubahan sosial yang terjadi sekaligus menjadi antitesis dari fiqih lama yang kemudan dilekati kata tradisional atau salafi. Hal mendasar dari dinamika peristilahan ini adalah kenyataan bahwa masyarakat dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan fiqih yang telah terumus tidak mampu mengikuti cepatnya perubahan itu (Supani, 2007: 69).
Perumusan fiqih baru dirasakan sangat penting karena adanya kesadaran primordial bahwa hidup ini akan dipertanggungjawabkan di akherat nanti sehingga berbagai tindakan perlu ditegaskan hukumnya agar tindakan yang dipilih diyakini tidak menyentuh area haram yang ancamannya sangat menakutkan, yakni dosa dan neraka. Adapun cabang ilmu dalam Islam yang membahas haram, halal, boleh, sunnah dan makruh adalah fiqih, maka tidak heran jika fiqih mendapat perhatian yang begitu besar dari umat Islam, bahkan seringkali Islam dipersempit maknanya menjadi fiqih, sedangkan dimensi akhlak dan akidah seringkali harus tersingkir dan tidak mendapat perhatian serius. Dalam tulisan ini pemilihan istilah fiqih perubahan dimaksudkan untuk menunjuk pada sifat dinamis
dari fiqih itu sendiri. Sifat dasar ini oleh beberapa kalangan dinafikan, diganti dengan kewajiban mengikuti
mazhab fiqih salaf yang telah ada dan tidak diperkenankan berijtihad lagi (Said, 2005: 2). Istilah perubahan ini selain menunjuk pada konteks tertentu juga sengaja dipilih untuk tidak terlalu menyulitkan 42 MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2009 mencernanya dibanding ketika menggunakan istilah fiqih transformatif, kontekstual, reformatif dan sejenisnya yang cukup asing bagi sementara kalangan. Perubahan adalah fitrah yang alamiah dalam kehidupan manusia, sehingga mengulang kembali wacana perubahan dalam terminologi fiqih menjadi selalu perlu dan penting dan mendasar karena fiqih berkaitan dengan soal ijtihadi, di mana perubahan adalah hakikatnya, maka tidak ada fiqih yang abadi. Yang abadi adalah bangunan dalil naqlinya tetapi analogi dan intepretasinya bisa selalu berubah. Meskipun demikian, dalam beberapa kajian masyarakat kontemporer bangunan naqli juga tidak tertutup untuk diperdebatkan bisa diperdebatkan untuk dilihat kesahihan dan akurasi penempatan dalam konteks penetapan hukum pada masyarakat masa kini yang telah demikian berubah (Shahrur, 2004). Tulisan ini
akan mengambil fokus pada perubahan sosial sebagai alasan mendasar untuk merumuskan fiqih perempuan baru yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan perempuan, baik karena belum diatur atau karena aturan lama telah usang dan sulit diterapkan dalam konteks kekinian.

PEMBAHASAN
              Privatisasi Perempuan, Paradigma Dasar Fiqih Perempuan Klasik

Perempuan adalah pihak yang banyak mendapat perhatian ulama fiqih (fuqoha) dalam kitab-kitabnya, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Pembahasan tentang bersuci, haid, hamil, melahirkan, shalat, waris, nikah, muamalah, jinayah tidak luput menyajikan porsi tertentu untuk membahas perempuan secara khusus (Nashiruddin, 1991: th). Hal paling sederhana, misalnya tentang kencing bayi perempuan yang minum air susu ibu secara eksklusif pun perlu diberi hukum secara khusus yang berbeda dengan
bayi laki-laki dengan jenis makanan yang sama. Kencing bayi perempuan dikategorikan najis lebih berat dibanding kencing bayi laki-laki yang pembedaan itu membawa akibat hukum dengan pembedaan cara mensucikannya (al Qurthubi, tt: 58).
Kekhususan pembahasan tentang perempuan dalam fiqih selanjutnya membentuk cabang fiqih tersendiri, yakni fiqhunnisa. Oleh beberapa penerjemah Indonesia diartikan
dengan fiqih wanita. Kebanyakan buku-buku berjudul fiqih wanita isinya membahas tentang haid, nifas, larangan wanita bepergian tanpa mahram atau suami, kewajiban wanita melayani suami tanpa bantahan, kewajiban menutup aurat, kesaksian, warisan dan sejenisnya disertai ancaman-ancaman sangat menakutkan bagi yang tidak melaksanakannya. Penyajian materi tentang wanita, terutama pada hal-hal yang dibedakan hukumnya dengan laki-laki dilengkapi dengan penjelasan bahwa pembedaan itu tidak
menunjukkan ketidakadilan Islam, tetapi justru banyak hikmahnya dikarenakan secara kodrati perempuan memiliki keterbatasan akal, tenaga dan pengalaman (Qardhawi, 2006).
Yang menjadi masalah di sini adalah kebanyakan para fuqoha dalam rentang sejarah fiqih didominasi oleh ulama laki-laki, sampai pembahasan rahasia perempuan seperti haid, juga ditulis oleh laki-laki.
Akibatnya, materi fiqihpun kemudian ditulis dari perspektif laki-laki, sehingga penyebutan subjek dan objek sangat terasa, misalnya menikahi untuk laki-laki dan dinikahi atau dinikahkan untuk perempuan. Di sini nikah tidak dipandang sebagai tindakan hukum dua orang, yakni suami istri, melainkan hanyasuami. Hukum haram, halal, sunnah, wajib dan makruh menikahpun sangat jelas hanya ditujukan untuk pihak laki-laki, tidak secara eksplisit dalam kondisi bagaimana hukum itu berlaku bagi perempuan. Misalnya menikah wajib hukumnya bagi orang takut berbuat zina dan mampu memberi nafkah, makruh bagi yang sudah dalam taraf takut jatuh dalam perzinaan tetapi tidak mampu memberi nafkah, sunnah bagi yang sudah mampu memberi nafkah tetapi tidak takut berzina dan haram bagi yang berniat menyakiti perempuan (Rasjid, 1994 : 383).
Apabila dikaitkan dengan pembahasan nafkah, ulama bersepakat bahwa suamilah yang wajib memberi nafkah, maka syarat-syarat yang demikian itu hanya berlaku bagi laki-laki. Sangat jarang ditemukan buku fiqih yang membuat rincian hukum nikah bagi perempuan. Sejak wacana feminisme masuk dalam area fiqih, muncul terminologi baru tentang fiqhunnisa, yakni diterjemahkan dengan fiqih perempuan. Tidak sekedar berganti baju, tetapi semangat yang diusungpun bergeser kalau tidak mau dikatakan bersebarangan. Fiqih perempuan tidak lagi sekedar membicarakan Fiqih Perubahan Untuk Perempuan (Zulfatun Ni’mah) 43 konsep ijbar dikonotasikan bahwa ayah atau kakek mempunyai hak paksa terhadap anak atau cucu perempuan dengan berbagai syaratnya, melainkan membedah mengapa muncul konsep ijbar, bagaimana pemaknaan paksa dalam ijbar untuk membedakan dengan ikroh dan taklif. Juga menganalisis bagaimana praktik kawin paksa yang lazim dilakukan oleh ayah terhadap anak perempuannya dalam perspektif fiqih (Muhammad, 2001: 77-91).
Demikian juga hukum najis mukhofafah-nya najis kencing bayi laki-laki tidak semata-mata disajikan dalam bentuk makanan siap santap, melainkan dilacak konteks munculnya hadis-hadis yang dijadikan dasar hukum oleh para fuqoha, nilai-nilai yang tersirat serta rekonstruksi hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia (Badri, dkk, 2002: 1-14). Benar-benar terasa berbeda membaca fiqih wanita dan fiqih perempuan. Untuk konteks Indonesia, KH Husein Muhammad dan kawan-kawannya dapat disebut sebagai pelopor perubahan wacana ini. Memang tidak serta merta membalik pemahaman umat akan fiqih perempuan, tetapi minimal memberikan referensi baru dan wacana tandingan untuk menghindari pensakralan berlebihan terhadap fiqih wanita versi klasik.
Tidak dapat diingkari bahwa salah satu sebab wacana perempuan dalam fiqih sekarang mengemuka karena banyak perempuan belajar fiqih dengan lebih baik dan serius. Sedikit terbukanya kanal-kanal kesempatan belajar yang pernah menjadi dominasi kaum laki-laki dan tuntutan persamaan hak mendukung lebih banyak informasi dan gairah keilmuan di kalangan perempuan. Terlepas sampai atau tidaknya pada sebuah istilah keramat ‘mujtahid’, perempuan sekarang dapat dikatakan sudah belajar sejajar dalam
setiap keilmuan modern seperti kedokteran, ekonomi, fisika, kimia, sosiologi dan berhasil menorehkan namanya dalam catatan sejarah. Tidak mustahil demikian juga akan terjadi dalam lapangan fiqih sehingga akan lahir fiqih berperspektif perempuan oleh penulis perempuan. Rahima, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Jakarta tampaknya telah mengambil inisiatif ini. Secara periodik lembaga ini menyelenggarakan pelatihan dan mengorganisir ulama perempuan untuk membahas persoalan-persoalan perempuan, termasuk yang masuk dalam ruang lingkup kajian fiqih (
www.rahima.or.id).
Paradigma pembahasan fiqih wanita adalah kategorisasi perempuan sebagai makhluk yang idealnya di ruang privat, sedangkan laki-laki adalah makhluk publik sekaligus penguasa dan penikmat area privat yang ditempati perempuan (Hasyim, 2001: 190). Yang dimaksud dengan privat adalah area dimana hanya orangorang dengan ikatan muhrim dan pernikahan bisa berada dan berinteraksi di sana, yakni rumah atau yang sejenisnya. Area publik menunjuk pada tempat dimana orang-orang yang tidak terikat darah dan perkawinan boleh berinteraksi, misalnya pasar, masjid, pabrik, perpustakaan umum, taman, jalan, sekolah dan sejenisnya. Selanjutnya area publik dikonsepsikan sebagai tempat mencari nafkah bagi laki-laki untuk kemudian diserahkan kepada istrinya yang menunggu di rumah, karena demikianlah fiqih mengkonsepsikan nafkah sebagai kewajiban laki-laki di satu sisi dan hak perempuan di sisi lain (Muhammad, tt: 123). Di ranah privatlah, sebagai konsekwensi atas nafkah yang diberikan, laki-laki berhak atas layanan
total dari istrinya. Maka hubungan seksual kemudian melahirkan hubungan subjek objek antara melayani dan dilayani, bukan bagaimana seks adalah hak keduanya antara satu dengan yang lain saling melayani.
Dalam situasi apapun, istri wajib melayani suaminya yang menginginkan berhubungan seksual meskipun sedang berada di atas kendaraan (Nawawi, tt : 11).
Hubungan wajib melayani dan berhak dilayani sepenuhnya sangat terasa dalam hukum nusyuz. Betapa ketika seorang istri tidak taat pada suaminya, laki-laki diberi hak penuh untuk melakukan eksekusi langsung dengan beberapa tindakan yang secara teks Al Qur’an mendapat pembenaran. Perintah menasehati, memisah ranjang dan memukul yang secara eksplisit disebutkan berturut-turut oleh QS Annisa ayat 151 mendapat sambutan positif dari para mufassirin bahwa demikianlah seharusnya yang dilakukan seorang suami ketika mendapatkan istrinya durhaka, membangkang, tidak taat atau bahasa lain yang sejenis. Secara sederhana, meskipun para mufasir menjelaskan seperti apa batasan pukulan yang boleh dilakukan oleh suami kepada istri yang nusyuz, misalnya tidak boleh mengenai muka dan menyakitkan, tetapi tetap saja ada suami yang memukul istri hingga berdarah-darah dengan alasan mendidik istrinya (Djannah, dkk, 2002: 62). 44 MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2009
Dengan demikian kata “pukullah” mengandung potensi tindak kekerasan terhadap istri (Yasid,2006: 338). Sebaliknya kata berdamai dan bersabar memunculkan potensi terbentuknya sikap menerima apa adanya dan tidak melakukan perlawanan atau tindakan yang menyenangkan dirinya. Banyak kitab atau buku fiqih tidak membahas nusyuz yang dilakukan suami terhadap istri padahal sumber utama hukum Islam menyebutnya secara tersurat dalam QS Annisa ayat 128. Penyajian materi nusyuz yang tidak berimbang ini memunculkan anggapan bahwa yang haram nusyuz hanyalah istri kepada suami, sementara pada suami tidak berlaku nusyuz. Suami dianggap tidak haram melakukan tindakan-tindakan yang tidak disenangi istrinya (Yasid, tt: 333). Beberapa pengertian membangkang yang banyak digambarkan para fuqoha adalah menolak berhubungan seksual tidak dengan alasan haid, keluar rumah tanpa ijin suami untuk urusan apapun,
berkata kasar pada suami, mengumpat suami sampai terdengar orang lain. Yang terasa kurang seimbang,
nusyuz lebih banyak ditujukan dari perspektif suami semata, artinya bagaimana suami harus bertindak. Pada saat suami melakukan tindakan yang tidak memuaskan istri, misalnya bermuka masam, berlaku kasar, menganiaya, mendiamkannya, tidak memberinya nafkah, istri hanya diminta bersabar dan berdamai dalam arti rela dikurangi hak-haknya agar suaminya tidak menceraikannya (Wadud, 2001: 138). Ketidakseimbangan terasa karena istri tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengeksekusi tindakan tertentu agar suaminya tidak mengulangi lagi tindakan tidak menyenangkannya itu. Padahal, bagaimanapun juga suami juga manusia yang tidak selalu benar, tidak selalu memiliki tingkat keilmuan dan pengamalan syariat lebih tinggi dibanding istrinya, sehingga sangat logis sesungguhnya jika istri juga diberi wewenang melakukan sesuatu untuk menyadarkannya tanpa harus berkorban dengan merelakan hak-haknya dikurangi.
Tentang larangan keluar rumah tanpa ijin, sekalipun untuk perbuatan yang baik, berbagai kitab fiqih menguatkan dengan kisah seorang anak perempuan yang menjadi sebab ayahnya masuk sorga. Anak perempuan yang telah bersuami itu dilarang suaminya keluar rumah selama suaminya bepergian. Beberapa saat kemudian datanglah berita duka bahwa ayah si perempuan itu sakit keras, ia diminta datang ke rumah ayahnya. Sesuai perintah suami, ia tidak mau datang memenuhi panggilan ayahnya. Termasuk ketika datang berita ayahnya telah meninggal, ia tak juga mengunjungi jenazah ayahnya, masih dengan alasan tidak akan melanggar ketentuan suami. Oleh sebab ketaatan anak perempuan itu pada suaminya, dikisahkan Allah mengampuni dosa ayahnya karena dianggap telah mendidik anak perempuannya dengan sangat baik (Nawawi, tt :16).
 Entah bagaimana relevansi sosiologis kisah itu dengan kondisi di Indonesia, kisah itu sejauh ini masih dijadikan referensi bagi para pengajar fiqih untuk menekankan betapa besarnya kadar kewajiban istri mematuhi ketentuan suami. Dalam kesempatan upacara pernikahan, nasehat untuk istri seolaholah wajib menyebutkan kisah tersebut. Terlepas dari shahih tidaknya sumber kisah itu, psikologi masyarakat kita, terutama Jawa sebenarnya sangat tidak bersambungan dengan kisah itu. Bukan ketentraman yang tercapai, mungkin justru sikap-sikap yang demikian akan menimbulkan konflik keluarga yang rumit karena karakter masyarakat kita sangat sangat menaruh perhatian besar terhadap urusanyang menyangkut kekerabatan, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian.
 Bahkan kematian mendapat tempat yang cukup sakral dalam arti berbagai ritual dirasakan perlu diselenggarakan untuk memuliakan si mayit dan momentum itu dimanfaatkan sebagai arena menumbuhkembangkan solidaritas kemanusiaan antar kerabat, tetangga dan handai taulan. Pengarang kitab Fath al Mu’in bahkan menulis bahwa istri boleh keluar rumah tanpa izin suami hanya jika ada alasan yang sangat darurat, misalnya rumahnya akan roboh, kebakaran, jiwa atau hartanya terancam oleh perampok, mengurus hak-haknya di pengadilan, belajar ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, mencari nafkah jika suaminya tidak mampu menafkahi (Syatha, tt, 80-81). Konstruksi ini dalam praktiknya membawa konsekwensi bahwa laki-laki dibebani tanggungjawab seluruh nafkah bagi keluarganya dan atau sebaliknya para perempuan sekedar bagaimana mendistribusikan belanja keluarga.
Secara konvensional, julukan perempuan baik diberikan kepada perempuan yang Fiqih Perubahan Untuk Perempuan (Zulfatun Ni’mah) 45 mampu menjadi manajer rumah tangga sekaligus karyawan yang menjamin atas kebersihan dan keindahan rumah, enaknya sajian makan, tingginya nilai pelajaran anak-anak dan pekerjaan lain. Sebaliknya sebutan perempuan tidak baik diberikan kepada istri yang tidak mampu menjalankan peran-peran tersebut (Rahardjo, 2004 :xxi) Merujuk sumber hukum fiqih, yakni hadis sebenarnya persepsi yang demikian tidaklah berdasar. Cerita tentang diamnya Umar ibn Khaththab ra ketika dicereweti istrinya adalah salah satu sumber informasi bahwa pada dasarnya urusan rumah tangga merupakan tanggungjawab suami. Umar diam dan menerima kemarahan istrinya karena menyadari ia berhutang budi pada istrinya karena telah mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya seperti memasak, menyajikan makanan dan mencuci pakaian.
 Jika pekerjaan-pekerjaan itu memang kewajiban istri dan hak suami, tentulah Umar tidak akan merasa berhutang budi (Badri dkk, 216). Hanya saja cerita-cerita semacam ini tidak ditafsirkan untuk menjelaskan tanggungjawab suami, melainkan lebih pada pembahasan agar suami memaklumi kecerewetan istri sehingga seolah-olah tenggelam atau memang sengaja ditenggelamkan demi melanggengkan kepentingan laki-laki untuk mendapat pelayanan istrinya dalam segala hal. Perempuan yang tidak mau
atau tidak mampu mengerjakan pekerjaan domestik kurang mendapat pembelaan berbasis teks, sebaliknya yang mencuat adalah ancaman tentang laknat dan neraka bagi istri yang tidak taat.
Di sinilah terasa inkonsisensi perumus dan penyebar fiqih. Pada masa kini pembagian peran secara diametral antara suami di area publik dan istri di area privat
tidaklah relevan. Kenyataan menunjukkan nyaris di semua area pekerjaan publik perempuan hadir sebagai pelaku. Bisnis, politik, birokrasi, hiburan, transportasi, dan sebagainya tidak luput dari partisipasi perempuan. Banyak sebab yang menjadikan keadaan demikian. Tuntutan ekonomi yang tidak lagi cukup dipenuhi oleh penghasilan suami, kebutuhan menemukan arena pengamalan ilmu dan minat, dorongan lingkungan yang konsumtif maupun kampanye kapitalisme dan lain sebagainya. Sangat tidak mustahil, para perempuan di ruang publik bisa mengakses kekuasaan dan pendapatan melebihi para apa yang dicapai laki-laki, tetapi fiqih tidak pernah mengatur dengan jelas persoalan distribusi penghasilan istri, melainkan masih berkutat pada pembahasan dengan asumsi keadaan normal, yakni laki-lakilah yang dipilih menjadi pemimpin sistem sosial bagi Islam sekaligus laki-lakilah pencari nafkah. Akibatnya perempuan yang memperoleh penghasilan di ruang publik dipandang sebagai kejanggalan kalau tidak disebut kesalahan dalam sistem keluarga atau sistem sosial Islam, tidak serta merta dipandang sebagai prestasi yang membanggakan.
Dengan demikian tidak ada perumus fiqih yang secara terangterangan berani berpendapat jika dalam suatu rumah tangga yang berperan menyumbang nafkah adalah istri maka kepemimpinan rumah tangga berada di tangan istri beserta seluruh hak dan kewajibannya Bahkan seandainya sang suami merupakan seorang lumpuh, impoten, tak bisa melakukan apa-apa selain berbaring dan meminta tolong sedangkan istri secara faktual memerankan diri sebagai pencari nafkah, pengambil kebijakan keluarga dan pendidik, tidak serta merta orang dan hukum akan memposiskan istri sebagai pemimpin keluarga. Nilai sumbangan nafkah yang diberikan itu justru direduksi menjadi sekedar membantu suainya yang sakit-sakitan itu. Meski sifat lebih kuat dan memberi nafkah sebagai alasan dipilihnya laki-laki sebagai pemimpin ternafikan dalam diri suami, hukum dan masyarakat tetap memandang dialah pemimpinnya hingga maut menjemputnya.
Demikian pula dalam kasus suami pengangguran dan istri bekerja, tidak akan dilekatkan sebutan bapak rumah tangga kepada diri suami menggantikan posisi ibu rumah tangga yang telah berganti peran. Justru istri yang menerima dampaknya, yakni dengan pembebanan bertumpuk (Fakih, 2003: 20). Selain bekerja, ia harus mengurus rumah tangga. Tanpa rasa bersalah dan empati sedikitpun, masyarakat menuntut ia tetap menjalankan peranperan tradisionalnya dalam rumah tangga walaupun sehari penuh waktunya telah dihabiskan untuk bekerja yang hasilnya digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Ada pula laki-laki yang sangat tidak tahu diri, dalam mengetahui istrinya sudah leleh bekerja, masih juga menuntut dilayani untuk hal-hal yang sebenarnya ia bisa lakukan sendiri, misalnya membuat minuman, mencuci pakaian, mencuci piring dan lain-lain. Yang lebih memprihatinkan, apabila ditemukan ada ketidakberesan dalam rumah tangganya, istri pulalah yang menanggung beban moral sebagai tumpuan kesalahan atas tuduhan “tidak becus” mengelola rumah tangga. 46 MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2009
B.     Perempuan di Ruang Publik, Kesalahan atau Belum Diatur?

Sangkaan terhadap adanya kegamangan teks agama menjadi tak terelakkan. Yang dimaksudkan gamang di sini adalah sikap yang tidak jelas antara tidak mau, tidak berani atau tidak mampu merumuskan membuat atau mengkontruksi fiqih yang membela perempuan. Sebaliknya justru perempuan diposisikan untuk lebih tabah, dan berharap imbalannya akan besar di akherat. Cerita tentang Fatimah yang mengadukan nasibnya pada ayahnya, baginda Rasululloh SAW karena tangannya pecah-pecah akibat
tiap hari harus menumbuk gandum dan direspon agar bersabar berhubung Ali tidak mempunyai kemampuan mencari nafkah lebih baik dari saat itu menjadi legitimasi solusi ini.
Di sinilah kekosongan fiqih terasa membutuhkan jawaban. Yang jelas jawaban yang dikehendaki bukan vonis menyalahkan istri karena dianggap telah melewati batas ketentuan perannya sebagai manusia privat yang tugasnya menyenang-nyenangkan suami. Bukan pula ancaman tidak akan mencium wangi surga karena tidak setiap saat siap memenuhi perintah dan keinginan suami, bermuka masam karena kelelahan bekerja. Bukan pula ancaman bagi suami yang telah membiarkan istrinya pergi ke ruang publik,
bertemu dengan laki-laki lain dan berpotensi menggoda laki-laki lain yang menjurus pada perzinaan. Sudah sangat tidak relevan jika atas nama khouful fitnah (kekhawatiran terjadi fitnah) perempuan dikorbankan untuk diharamkan memasuki area publik, termasuk untuk bekerja.
Keharusan disertai mahram atau suami ketika bepergianpun sebagaimana disyaratkan oleh para fuqoha akan terlalu sulit diterapkan pada era sekarang dikarenakan kebutuhan manusia sudah sangat kompleks. Berapa waktu, biaya dan tenaga yang terbuang tidak poduktif jika setiap langkah perempuan harus disertai laki-laki yang diasumsikan mampu menjadi penghalang terjadinya fitnah dan mengamankan diri perempuan dari
segala bahaya, padahal secara faktual laki-lakipun sering tidak berdaya mengatasi kejahatan yang menimpa dirinya. Artinya tidak ada jaminan, bahwa laki-laki mampu menjaga keamanan perempuan yang disertainya.
Soal potensi fitnah, tidak adil juga membebankan kesalahan terjadinya perzinaan atau perkosaan hanya pada perempuan yang “berkeliaran”, tidak pada laki-laki yang tidak mampu mengelola syahwatnya di ruang publik. Dengan demikian, memvonis haram dan maksiat bagi perjalanan perempuan hanya karena tidak disertai mahram atau suami tidaklah menyelesaikan masalah khouful fitnah, melainkan menyakiti dan menodai fitrah manusia untuk berkarya, mengkhianati perintah agama untuk menuntut ilmu. Betapa kejinya jika seorang dosen perempuan sebuah universitas di Jawa Timur yang sedang menempuh pendidikan doktor di Jakarta dan tiap minggu harus bolak-balik untuk mengajar dan kuliah dihukumi haram yang berarti ia berdosa karena tak ada mahram yang menemani. Sebaliknya, tidak adil juga jika demi keamanan perjalanan perempuan, laki-laki harus dirumahkan dan tak boleh menyentuh area publik. Yang adil adalah menciptakan situasi yang aman dan nyaman bagi perjalanan siapapun, baik laki-laki maupun perempuan agar peluang terjadinya hal-hal yang mengarah pada perzinaan dan bahaya lain dapat ditutup serapat mungkin.
Pemisahan gerbong kereta api bagi penumpang laki-laki dan perempuan, terutama bagi  orang-orang yang pergi sendirian misalnya dapat dipilih untuk menghindari pelecehan seksual yang seringkali dialamatkan pada perempuan dalam kondisi berdesak-desakan di kereta api. Demikian juga penempatan aparat keamanan dalam setiap armada publik yang berkapasitas banyak dapat dipilih untuk mengantisipasi terjadinya bahaya seperti perampokan, pencopetan, pemerkosaan, pembiusan dan lain-lain. Penyediaan fasilitas-fasilitas publik yang ramah terhadap kebutuhan perempuan juga sangat menunjang terciptanya situasi yang kondusif bagi keamanan dan kenyamanan kedua belah pihak, misalnya toilet harus dibuat dengan desain yang memungkinkan perempuan dapat menggunakannya dilengkapi peralatan pembersih yang tidak menyulitkan, disediakan tempat khusus menyusui, masjid dilengkapi dengan ruang dan fasilitas khusus perempuan, kolam renang dibuat ruang khusus perempuan bagi yang menghendaki berenang terpisah dengan kaum laki-laki, keamanan tempat-tempat transit yang biasanya sangat rawan diawasi petugas keamanan yang bertanggungjawab, dipasang kamera pemantau, demikian juga dengan pasar, stasiun, pabrik, dan sebagainya agar apabila terjadi tindak kejahatan terhadap siapapun dapat cepat diselesaikan dan menimbulkan efek jera.
Fiqih Perubahan Untuk Perempuan (Zulfatun Ni’mah) 47 Dapat dirasakan bahwa hukum-hukum produk fiqih klasik disosialisasikan secara sistematis sebagai
barang yang sudah jadi, dihafal dan dipahami sebagai sesuatu yang harus diterapkan secara saklek. Melanggarnya dinilai sebagai dosa, jika pelanggaran itu dilakukan di depan umum maka tidak jarang akan menuai kecaman seperti yang dialami Amina Wadud ketika membacakan khotbah shalat Jum’at (www.eramuslim.com). Kerapkali antara teks produk jadi itu tidak didialogkan dengan kenyataan setempat sehingga produk yang dihasilkan atas latar realitas di Mesir misalnya, secara membabi buta dipaksaterapkan. Hukum perempuan bepergian tanpa mahram dapat dijadikan satu contoh yang cukup sederhana untuk pembahasan ini. Ini yang disebut memperlakukan fiqih layaknya sebuah ideologi
(Musta’in, 2001: 8). Final dan anti perubahan.
Perempuan berada di persimpangan jalan, tidak ada fiqih dalam konteks sistem sosial yang berbeda yang dapat dirujuk. Peristiwa pada era Rasululloh SAW 14 abad yang lalu tetap dirujuk dalam apa adanya padahal konteks sosial telah berubah drastis. Perempuan pernah menjadi pemimpin negara adalah fenomena yang tak terbantahkan di dunia ini, tak terkecuali di negara-negara berpenduduk muslim seperti Indonesia dan Pakistan. Haruskah atas nama “arrija>lu qowwa>mu>na ‘alannisa>” pilihan karir mereka sebagai pemimpin itu dilekati hukum haram dan maksiat? Atau bid’ah sesat yang kemudian ancamannya neraka?
Betapa tidak beruntungnya para presiden perempuan jika hukum ini yang dipilih. Jerih payahnya memimpin jutaan manusia hanya mengantarnya pada jurang penderitaan di alam yang abadi. Juga tidak relevan lagi hukum haram diterapkan dalam persoalan ini jika hanya karena tidak terjadi pada zaman yang dikategorikan sebagai zaman terbaik, yakni era Rasululloh masih hidup. Demi tegaknya syariat Islam, mengembalikan perempuan di ranah privat oleh sementara kalangan diyakini dan dikampanyekan sebagai perjuangan yang paling benar (www.swaramuslim.net, 27 Okt 2004). Mereka yang memperjuangkan itu sebagai pembelaan atas otoritas Islam kemudian dianggap pejuang Islam.
Persoalan yang timbul dari relasi laki-laki perempuan pada saat ini sudah sedemikian kompleks dibanding gagasan yang pernah ditawarkan Munawir Sadzali dalam terminologi reaktualisasi Islam pada era 80-an yang mengusulkan tentang pembagian waris bagi perempuan yang tidak harus setengahnya anak laki-laki dikarenakan berbeda-bedanya kontek sosial dalam setiap kasus (Fuad, 2005 :85). Negara atas dorongan dunia internasional dan aktivis pro pembebasan perempuan bertindak cukup responsif
dengan menerbitkan berbagai peraturan hukum, seperti Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Oleh kalangan “pejuang Islam” UU PKDRT dianggap sebagai penodaan terhadap syariat Islam karena dianggap membatasi kekuasaan suami (www.swaramuslim.net, diakses 24 Des 2006)
Tersebutlah dalam hadis yang diriwayatkan oleh bahwa suatu hari seorang perempuan sahabat Nabi bernama Ummu Waroqoh memimpin shalat di rumahnya. Jamaahnya terdiri dari laki-laki merdeka yang sudah tua dan laki-laki budak yang muda. Dalam perbincangan kepemimpinan shalat, hadis ini  ianggap tidak dapat menjadi dasar bahwa perempuan bisa menjadi imam jamaah laki-laki. Padahal hadis tersebut dinilai shahih (Badri, tt.: 46). Maka layak dipertanyakan adakah ruang privat budak itu menjadikan eksistensi kelaki-lakiannya menjadi nihil atau terampas? Atau sebaliknya, bahwa syariah Islam dibangun dalam situasi tidak termasuk di zaman perbudakan. Maka menjadi kontroversi besar ketika Amina Wa’dud tidak menganggap demikian. Ia dengan pilihan sadar menjadi khotib dan imam shalat Jumat di Amerika dengan jamaah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kecaman, kutukan dan usulan hukuman mati mengemuka di ruang publik akibat keberaniannya tersebut. Perlu dicarikan jawaban, adakah cerita Umu Waroqoh sebuah kesalahan sejarah atau memang sengaja dilemahkan supaya tidak bisa diambil dasar hukum.
Sebagai pelopor fiqih perempuan di Indonesia, KH Husein Muhammad juga tidak secara tegas menyimpulkan bahwa berdasarkan hadis itu perempuan absah mengimami laki-laki sekalipun ia perempuan yang cerdas, paham hukum dan edudukan sosial tinggi. Tetap dalam kerangka menghindari khouful fitnah, ia memilih pendapat yang tidak tegas antara membolehkan dan melarang (Muhammad : 29-38). Ketika Munawir Sadzali menawarkan reaktualisasi ajaran Islam untuk memberikan waris kepada anak perempuan tidak harus setengah dari anak laki-laki, reaksi yang paling kuat adalah anggapan itu 48 MUWÂZÂH, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2009 keluar dari teks. Hasilnya ada keengganan untuk melakukan perubahan dalam terminologi hukum dan komentar yang paling simpatik adalah biarkan menjadi wacana tanpa merubah substansi status quo. Artinya teks fiqih yang patriarkhis dibiarkan apa adanya, toh dengan cara hibah dalam masalah bagi-bagi waris sebenarnya sudah teratasi oleh hukum adat, padahal hibah dan waris mempunyai karakter yang sangat berbeda. Waris adalah perpindahan harta bersifat wajib berdasarkan peristiwa kematian, sementarahibah hanya berdasarkan kemauan pemilik harta.


PENUTUP
Perubahan adalah proses yang tak terhindarkan dalam setiap aspek kehidupan. Manusia, sebagai aktor kehidupan sudah pasti mengalami proses ini, tak terkecuali perempuan. Karena dibuat sudah sangat lama, banyak hukum yang mengatur perempuan tertinggal jauh tak bisa mengikuti laju perubahan. Akibatnya, ada keusangan bahkan kekosongan hukum yang membuat perempuan tidak memperoleh legitimasi hukum atas tindakan yang dipilih sebagai akibat dari perubahan yang terjadi. Kalaupun memaksa diri menggunakan hukum lama, seringkali ancaman dosa, haram dan neraka membayangi tindakannya.
Perumusan fiqih yang akomodatif terhadap kebutuhan baru perempuan adalah kebutuhan mutlak yang tidak bisa ditunda. Yang tidak kalah penting, suara, perasaan, pemikiran dan pengalaman perempuan harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam perumusan fiqih perubahan agar tidak mengulangi pengalaman lama di mana fiqih justru menjadi alasan tidak bisa melakukan tindakan tertentu karena formulasinya bersifat sangat laki-laki.


DAFTAR PUSTAKA

Badri, Mudhofar dkk. Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren, (Yogyakarta: YKF, 2002).
Djannah, Fathul dkk. Kekerasan terhadap Istri, (Yogyakarta: LkiS, 2002).
Fakih, Mansour. Analisis Gender dalam Trasformasi Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia. Dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris. (Yogyakarta: LkiS,
2005.).
Hasyim, Syafiq. Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam. (Bandung: Mizan,
2001).
Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. (Yogyakarta: LKiS,
2001).
Mustain, Moh. Takhrij Hadis Kepemimpinan Wanita. (Surakarta: Pustaka Cakra,.2001).
Nawawi, Imam. Uqud al Lujayn fi Bayani Huquuqu Zaujaini, (tk: tp, tt).
Qaradhawi, Yusuf. Fiqih Wanita, (Bandung: Jabal,.2007).
Rahardja, Satjpto. Pengantar dalam Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Gender, (tk: tp, tt).
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,1994)
Said, Imam Ghazali. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Munas, Muktamar dan Konbes NU.
(Jakarta: LTN NU dan Diantama,. 2005)
Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005)
Supani. “Tren Ijtihad Kontemporer” dalam Jurnal Al Manâhij. (Purwokerto: Jurusan Syariah STAIN
Purwokerto, 2007)
Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan, Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir, (Jakarta : Serambi,
2001).
Yasid, Abu (Ed). Fiqih Realitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
http://www.swaramuslim.net.Pikiran Sesat Anti Islam Kuasai Departemen Agama. 27 Oktober 2004
http://www.eramuslim.net. Skenario Penghancuran Umat Islam Melalui Liberalisasi Keluarga. 24 Desember
2006.
http://www.rahima.or.id


Pengunjung Blog