KRITIK ANAK UNTUK AYAH

Kritik Ayah-Anak
Kemarin sore waktu bis yang kutumpangi melewati saluran irigasi di tepi sawah, aku mendengar percakapan antara seorang anak kecil (mungkin berumur 5 tahun) dengan ayahnya, kebetulan mereka duduk di kursi seberangku.

Anak : Ayah, itu got kaya tempat ayah pipis kemarin ya
Ayah : Kapan?
Anak : Itu, waktu kita pulang dari Semarang.
Kata Ayah kita nggak boleh pipis sembarangan, kok Ayah
pipis di got sih, harusnya kan di kamar mandi. Ayah pipisnya
berdiri, dilihat banyak orang nggak malu, nggak dicuci

Ayahnya tampak bingung mau menjawab apa, akhirnya..

Ayah : Ya... waktu itu kan lagi macet, nggak ada kamar mandi nak
Anak : Ayah kok boleh, aku kok tidak boleh, kata ayah kalo pipis harus jongkok, harus dicuci pakai air, harus ditutup biar nggak dilihat orang.

Aku tertawa. Anak yang cerdas, pintar mempertanyakan perilaku orang tuanya yang tidak konsisten antara ucapan dan tindakannya.

Mungkin pertanyaan dan kritik itu juga muncul dalam diri anak-anak lain yang ;

Orang tuanya selalu menyuruh belajar, tetapi tak pernah tampak membaca, menulis atau membicarakan pengetahuan.

Orang tuanya melarang jajan sembaranag, tapi tak menyediakan jajanan sehat.

Orang tuanya menyuruh shalat jamaah, tapi dirinya asyik bersantai.

Orang tuanya menuntut anaknya bicara halus dan lembut, tapi dirinya selalu berkata keras dan kasar.

Orang tuanya selalu menasehati agar guyub rukun, tetapi dirinya selalu berselisih dengan tetangganya.

Bukankah inkonsistensi antara ucapan dan tindakan adalah pelajaran paling nyata untuk menjadi pembangkang? Entah itu membangkang diam-diam atau terang-terangan.

SUKSES SESUAI PILIHAN


Di bis kota sepulang dari kampus tadi aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu. Sebenarnya aku sangat ngantuk dan ingin tidur walau tidak lama, tetapi dia mengajakku ngobrol. Dengan setengah terpejam aku tanggapi ajakannya. Dia bercerita tentang anaknya. 


"Anak saya sudah lulus S1 UGM, tapi tidak mau ikut tes CPNS, soalnya dia suka mendalami Islam, lebih memilih kerja di lembaga bimbingan belajar, katanya gajinya lebih besar dibanding PNS"

Aku mengangguk-angguk, walaupun alasannya agak belum bisa kupahami.

Sukses, Ilustrated By Google
Sekarang, aku sedang bermalam di rumah seorang sahabat. Aku agak kaget ketika hampir sampai rumahnya motor yang menjemput aku berhenti di sebuah warung dan mendapati suami sahabatku ini sedang berjualan makanan dan dikelilingi para pembeli. Suaminya ini adalah lulusan S2 kampus ternama. Dia bilang, "Pernah daftar CPNS sekali, tapi tidak lulus, dan setelah itu tidak tertarik lagi. Enak buka usaha sendiri, semua bisa diatur sendiri, banyak waktu untuk keluarga". 

Aku melihat, 14 tahun mereka berkeluarga tampak sakinah, mawaddah warohmah, bahagia sejahtera tak kurang suatu apa. Lima tahun yang lalu, ketika sang istri belum genap 30 tahun mereka telah pergi haji bersama, lalu menjadi tokoh masyarakat karena mengajar di masjid.

Sekarang sedang musim penerimaan pendaftaran CPNS di seluruh Indonesia. Mungkin di antara teman-teman ada yang sedang mengikuti seleksi, aku doakan semoga sukses. Semoga diterima sesuai formasi yang diinginkan, melalui proses yang bersih dan jujur. Kalaupun nanti ternyata belum sesuai kehendak Allah, maka tidak perlu berkecil hati. Dua sosok yang kuceritakan ini semoga dapat menjadi inspirasi untuk tetap melanjutkan perjalanan hidup dengan penuh optimisme dan keceriaan. 

Tuhan menebarkan peluang sukses di banyak tempat. Kita bisa memilih sukses di tempat yang sesuai dengan perjuangan dan keberuntungan kita.
AKU DAN 6 BIS DI HARI ANTRI NASIONAL

AKU DAN 6 BIS DI HARI ANTRI NASIONAL


Hari kemarin aku naik 6 bis, di dalam dan ke luar kota Jogja. Pertama, pagi hari, dari rumah teman di pinggiran Kulonprogo menuju ke perbatasan kota, aku duduk bersebelahan dengan seorang polisi. Ketika melewati sebuah SPBU yang antriannya mencapai setengah kilo, ia bercerita bahwa di kampungnya, harga bensin eceran seliter 12.000. Ia berangkat dinas malam naik motor, tapi pulangnya harus naik bis karena ogah melibatkan diri dalam antrian super panjang itu. Untung jalan yang kami lalui super lebar, jadi bis bisa melaju dengan lancar dan cepat.

Bis yang kedua, khusus dalam kota menuju kampus. Kali ini, jalan yang dilalui lebih sempit. Setiap mau melewati SPBU sopir selalu mengarahkan bis ke arah lain karena tidak mau terjebak macet bersama antrian kendaraan pembeli BBM. Tetapi, jalan yang dipilih tidak selalu benar, karena pernah masuk jalan perumahan yang buntu, dan harus mundur 100 M. Pernah juga bertemu dengan truk dan sama-sama tidak bisa lewat, akhirnya truknya mengalah mundur. 

Bis yang ketiga, dari kampus ke toko buku. Penuh sesak oleh anak-anak sekolah berhelm. Mungkin mereka berangkatnya naik motor, pulangnya naik bis karena kehabisan bensin. Bis keempat, dari toko buku ke batas kota, bersama orang-orang pulang kantor. Ramai di bis bercerita tentang strategi berangkat ke kantor tanpa terlambat. Mereka bilang biasanya naik motor, pagi tadi ada yang naik ojek (dengan harga lebih mahal), ada yang naik taksi, ada yang naik becak bermotor, ada pula yang naik bis. Persoalannya sama, tidak mau antri.

Bis kelima, dari batas kota ke agen bis antar kota. Kali ini lebih seru. Aku dan ibu-ibu berdiri di pintu karena bis sudah penuh. Setiap ada yang turun, kami harus turun duluan dan naik lagi. Mungkin ada lima kali kami naik turun agar penumpang yang di dalam leluasa keluar. Salah seorang ibu yang bersamaku memakai seragam perawat kesehatan. Katanya, "Ternyata asyik juga ya latihan jadi kenek"

Bis keenam, bis antar kota jurusan Jogja-Cilacap yang menurutku saat ini merupakan bis terbaik se-Indonesia. Bis yang bodinya amat besar ini, tak kalah lincah dengan bis kota yang mungil. Dengan gagah berani ia masuk jalan-jalan kecil untuk menghindari kemacetan sehingga kendaraan yang berpapasan harus terpinggirkan keluar dari aspal. Dulu di Jatim, aku benci sekali dengan bis-bis model ini, tapi kali ini aku menikmati sensasinya. Setelah 50% perjalanan, ada info ada truk yang patas as sehingga bis tidak bisa lewat, sopir cari jalan lain. Baru jalan satu kilo, ada kabar jalan sudah bisa dilalui, akhirnya bisku putar balik di sebuah halaman masjid, tapi pohon waru di sudut halaman sedikit jadi korban.

Cerita terakhir, setelah hampir sampai tempat tujuanku, menjelang masuk Sampang, banyak bis dari arah berlawanan belok masuk jalan kecil. Rupanya ada macet parah di SPBU, dan bis yang berangkat satu jam sebelumnya ada dalam kemacetan itu. Sopirku yang cerds segera berbalik arah dan putar lewat Korea dan bernegosiasi dengan beberapa penumpang agar mau diturunkan di luar rencana. Seorang ibu yang mau ke Sampang turun di Bangsa, ada yang mau turun di Kalisabuk jadinya di Cantelan. 

Akupun harus telpon berulang kali ke rumah karena lokasi penjemputan harus diubah 4 kali dan 2 KM lebih jauh. Tidak apalah, sedikit berkorban untuk kepentingan orang banyak daripada buang-buang energi dalam kemacetan. Konon, macet itu seperti garam dan durian, dapat menyebabkan darah tinggi. jadi, aku rela berkorban agar penumpang lain tidak terserang darah tinggi.

Itulah cerita ku di Hari Bis Nasional, Hari Antri dan Hari Macet. Ternyata naik angkutan umum jauh lebih menyenangkan daripada naik kendaraan pribadi tapi sulit cari BBM. Jika besok harga BBM harus dinaikkan, aku berharap transportasi publik ditingkatkan jumlah dan layanannya, tentu sangat menyenangkan jika semua bis seperti bis terbaik yang kemarin kunaiki. Super nyaman, aman dari copet, lincah, murah dan bisa menidurkan .

"KULO BADHE DHAHAR..."

Senin kemarin, dalam sebuah acara pasrah pengantin, wakil dari keluarga laki-laki berkata :


"Mohon maaf apabila nanti anak kami kurang sopan dalam bergaul dengan mertua, maklum... anak muda zaman sekarang banyak yang tidak bisa basa (Berbahasa Jawa Krama), kalaupun basa biasanya banyak kelirunya, mengagungkan dirinya sendiri, misalnya 'kulo bade dhahar', mohon dibimbing dan dikoreksi kalau berbuat keliru"
Ilustrasi By Google

Hari Rabu malam, ketika perjalanan pulang dari Jogja, aku mendengarkan obrolan antara sopir dan kondektur, topiknya juga tentang berkurangnya kemampuan anak-anak memakai bahasa Jawa, khususnya Jawa krama yang dalam konsep etika orang Jawa idealnya dipakai untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Kata sopir, "Anak sekarang pada kurang sopan santunnya, nggak bisa basa, dirumah nggak diajari orang tuanya, di sekolah pelajaran bahasa Jawa sudah dihapus"

Kondekturnya menjawab, "Iya, betul sekali... Anak-anak ngomong sama gurunya juga tidak basa, malah bilang "kowe" pada gurunya, harusnya sekolah SD itu fokusnya budi pekerti, biar pada punya sopan santun, jujur, rendah hati, ramah pakai anggah ungguh"

Kemarin, dalam sebuah obrolan dengan seseorang di halaman masjid aku senyum-senyum sendiri menahan tawa (teringat acara pasrah pengantin dan obrolan di bis) ketika dia bercerita :

"Putrane kulo mboten tindak ngaos wingi, soale kulo tindak kondangan teng Kebumen, teng ndalem mboten wonten sing tiyang sing saged antar jemput. Kulo nembe kondur wau ndalu."

Yang masih ingat pelajaran bahasa Jawa, coba tebak kata-kata mana yang membuatku senyum-senyum menahan tawa?

MARAH TAK HARUS MENGHINA, MARAH TAK MESTI MENGHUKUM


Mungkin ini sebuah ironi yang tragis. FS, seorang mahasiswa S2 Fakultas Hukum harus menjalani penahanan polisi akibat menulis kritik dan ungkapan kemarahannya di media sosial ketika antri membeli BBM di SPBU. Sebelum polisi menahannya, Komisi Etik Fakultas juga telah melayangkan panggilan kepadanya. Sebagai sesama mahasiswa pascasarjana di fakultas yang sama, tentu aku sangat prihatin atas peristiwa yang seharusnya tak perlu terjadi ini.

Aku bilang tak perlu terjadi karena, di satu sisi aku tidak setuju dengan cara FS mengungkapkan perasaan dan kritiknya yang cenderung menggeneralisir (nggebyah uyah) secara negatif terhadap Jogja, sementara di lain sisi aku juga menyesalkan sikap sebagian masyarakat yang mengklaim sebagai perwakilan masyarakat Jogja yang menolak mengabulkan permintaan maaf FS, dan terakhir aku juga menganggap polisi terlalu berlebihan menangani kasus ini. Aku ingin merinci keprihatinanku satu per satu.
Ilustrasi By Google
  1. Marah atas suatu keadaan yang tidak sesuai harapan adalah sikap yang manusiawi. Mengkritik ketidakberesan layanan publik yang dianggap buruk juga tindakan yang wajar dan merupakan hak konsumen. Akan tetapi, semestinya kita, terutama kalangan terpelajar mampu mengelola kemarahan dan kritik sehingga tepat sasaran, berkontribusi pada perbaikan dan menambah nilai positif kita. Kemarahan dan kritik yang tidak dikelola dengan baik berpotensi besar menjadi boomerang dan menyerang diri sendiri. Menurutku, marah harus dipisahkan dengan dengan umpatan, makian dan olok-olok yang bermuatan penghinaan dan pelecehan. Setahuku, bahasa kita memiliki kosaMara kata yang amat kaya, kita bisa memilihnya dengan cerdas dan cermat agar bisa menampilkan marah dan kritik secara elegan dan tidak membahayakan diri sendiri.

Selain itu, marah juga harus dikelola agar tidak menyinggung rasa primordial seseorang atau kelompok. Mari membiasakan marah secara objektif. Kalau ada orang yang membuat kita marah, ya marahlah hanya padanya, bukan pada sukunya, agamanya, bentuk fisiknya, nama kotanya, negaranya, profesinya, jenis kelamin sehingga tidak perlu mengungkit-ungkit asal-usulnya. Sebagai contoh, kalau ada seseorang membuat kita marah, kebetulan dia berasal dari Sulawesi, berkulit hitam, beragama Yahudi, berprofesi sebagai buruh, berjenis kelamin perempuan, maka kita tidak perlu menyebut-nyebut asal-usulnya itu dalam redaksi kemarahan.

Kesalahan terbesar FS menurutku adalah kesal pada petugas SPBU di Jogja tetapi kemudian melebarkan kemarahannya pada Jogja, sehingga setiap orang yang merasa sebagai orang Jogja marah besar. Aku juga marah kalau ada laki-laki yang marah pada pacarnya sendiri karena dimintai uang terus lantas mengungkapkan makian “Dasar perempuan. Matre semua”. Aku juga marah jika ada orang yang marah pada orang Islam yang membuang sampah sembarangan, lantas memaki, “Semua muslim memang jorok”.

2. Ketika ada orang yang khilaf mengucapkan kata-kata yang tidak semestinya dan membuat kita sakit hati, dan sudah minta maaf serta berjanji tidak akan mengulangi, maka tidak ada yang lebih luhur dan mulia kecuali memaafkan dan mengulurkan tangan perdamaian. Apalagi, semua tahu, yang bersangkutan telah menerima sanksi sosial berupa hujatan dari orang yang terhitung banyaknya. Meskipun aku tidak turut menghujat, aku kira, hujatan yang banyak itu sudah lebih dari cukup sebagai hukuman yang menjerakan. Meskipun ini negara hukum, kurang bijaksana menurutku, membawa persoalan ini ke ranah hukum positif, seolah-olah kita sudah kehabisan stok kekayaan sosial bernama moral, rasa kemanusiaan, belas kasihan dan maaf.

3. Polisi memiliki wewenang berupa diskresi, yaitu wewenang untuk meneruskan atau menghentikan perkara secara legal. Untuk perkara tersinggung massal karena ucapan seseorang, mestinya polisi tidak pelit menggunakannya, terlebih yang bersangkutan sudah menunjukkan itikad baik untuk meminta maaf, janji tidak mengulangi dan bersedia diperiksa. Menurutku, polisi juga bisa menempuh langkah diversi, yaitu mengalihkan penanganan perkara hukum pada ranah sosial berupa upaya restoratif justice yang lebih menekankan pada pemulihan keadaan secara kekeluargaan tanpa harus memperhadapkan para pihak di muka pengadilan. Kalau perlu, sebagai bentuk pertanggungjawaban dan ganti rugi, bisa dibuat kesepakatan agar FS harus kerja sosial membersihkan jalan sepanjang Malioboro, tapi tidak perlu ditahan atau dipenjara.

Itu pendapatku, semoga kita selalu diberi pertolongan untuk selamat dari tajamnya lidah dan jemari. Mari budayakan berpikir jernih dan bertindak cerdas. Janganlah negeri ini menjadi negeri yang penuh oleh amarah

Perempuan-Perempuan Perkasa

Sampai di Jogja jam 04.30 pagi, di trotoar dekat masjid kampus bertemu seorang nenek membawa selendang, aku tanya mau kemana, beliau menjawab, "Mau kerja di Pasar Beringharjo"
"Kok tidak bawa dagangan Mbah?"
"Saya kuli gendong, sudah 36 tahun"
"Berapa kilo yang digendong?"
"Rata-rata sekali bawa setengah kintal, sehari bolak-balik ada puluhan kali".
Ilustrasi Google

Aku tersenyum, teringat tanganku pernah serasa patah selama seminggu gara-gara membawa beras 10 kilogram sejauh setengah kilo meter.

Beliau melanjutkan, "Anak saya lima, sudah mentas semua, sudah kerja enak, alhamdulilah.. gusti paring kemurahan pada anak-anak saya". Wajahnya cerah sekali, tampak bahagia.

Siangnya, di kampus, aku berpapasan dengan Mbak Esta, petugas kebersihan fakultas yang sedang memanggul galon air mineral yang masih penuh. Dia membawa dengan santai, antar gedung, sambil ngobrol dengan kawannya yang laki-laki.

Mereka para perempuan yang dianugerahi kekuatan fisik luar biasa, menggunakan anugerahnya untuk berbuat baik pada sesama. Semoga selalu diberkahi...
KETIKA SEMUA ORANG DIANGGAP TAU

KETIKA SEMUA ORANG DIANGGAP TAU

Ketika masih di bis dini hari tadi, aku ngobrol dengan teman dudukku. 
Setelah tahu aku kuliah di mana, ia berkomentar, “Oh… kenal sama mahasiswi yang kemarin ditahan polisi nggak?”
Aku jawab, “Kebetulan tidak, tapi kampusnya satu atap”

Ketika menemui dosen di Fakultas Ilmu Budaya, beliau bertanya, “Anda temannya F yang bikin heboh ya?”
Aku jawab, “Iya Bu, tapi belum pernah lihat”

Ketika sedang menunggu loket kantor buka pasca istirahat siang, seorang gadis lewat bersama beberapa dosen, semua mata tertuju padanya. Aku membatin, “Ooh, itu..”

Ketika turun dari lantai dua, aku terpaku di tangga. Ada kerumunan wartawan, aku hitung jumlahnya 18 orang, berbusana kasual serba hitam, ada yang memegangi handycanm, ada yang menyorongkan recorder, HP, kamera. Mereka sedang mengelilingi Bapak Dekan. Kutipan kalimat yang kudengar, “Ini murni perkara etika, bukan pidana.”

Saat ini, tidak seperti biasanya, pintu ruang dekan dijaga dua orang satpam. Kalau tidak amat penting urusannya tidak boleh masuk. Aku membatalkan niatku mengambil sebotol air minum yang tertinggal di kursi tunggu, ketika tadi mau minta tanda tangan. Belasan wartawan itu masih setia berkerumun sambil membuka laptop masing-masing. Sepertinya mereka sedang menunggu Komite Etik selesai bersidang dan akan memberitakan ke seluruh dunia apa hasilnya.

Inilah sekelumit cerita dari dunia maya yang berlanjut di dunia nyata. 

Inilah situasi “istimewa” yang bermula dari serangkaian huruf.
Mari lebih berhati-hati, mari lebih arif, mudah-mudahan kita diberi keselamatan di dunia dan akherat. Kata pepatah, “Selamatnya manusia ditentukan oleh lisannya”. 

Mungkin banyak di antara kita yang tidak pernah membaca undang-undang tentang penghinaan, baik secara manual maupun elektronik, tetapi negara menganggap setiap kita sudah tahu undang-undang itu dan terikat oleh isinya. Soal pelaksanaan memang bisa debatable, tapi soal aturannya, begitulah adanya

Pengunjung Blog