PEREMPUAN DI WARUNG KOPI, PELAKU ATAU KOMODITAS SENSUALISME?


Kabupaten Tulungagung yang selama ini hanya dikenal sebagai penghasil marmer sebenarnya memiliki ciri khas lain yaitu banyaknya warung kopi. Sangat mudah menemukan warung kopi di belantara Tulungagung, termasuk di gang-gang kecil di pedesaan, bahkan pegunungan. Sajian warung kopi Tulungagung yang tidak ada di tempat lain adalah cethe, yakni endapan sisa cairan kopi yang dituangkan di ujung rokok. Menurut sebuah sumber, menjamurnya warung kopi ini merupakan jawaban kreatif masyarakat ketika perekonomian nasional terpuruk akibat krisis moneter pada tahun 1997. Terkait dengan itu, pada mulanya, warung kopi didesain secara sederhana, terdiri dari dapur untuk membuat kopi dan makanan lain, meja dan kursi dan memang menyajikan kopi sebagai daagangan utama. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya selera masyarakat, beberapa warung kopi tampil lebih modern, dan dimodifikasi dengan berbagai layanan seperti minuman yang disajikan, perangkat elektronik, interior ruangan dan arena permainan bilyar. Warung kopi modern ini lazim menggunakan nama kafe, yang di negara asalnya, Prancis tidak lain merupakan sebutan untuk warung kopi. Tulisan ini bermaksud memotret warung kopi dan kafe yang di Tulungagung jumlahnya lebih dari dua ribu unit dengan fokus pada relasi gender yang terjadi di dalamnya.

Dilihat dari perspektif ilmu sosial, warung kopi merupakan ruang publik yakni tempat bertemunya warga masyarakat untuk melakukan interaksi sosial. Di warung kopi, para pengunjung bisa minum kopi bersama sambil berbincang-bincang, main catur atau nonton televisi. Berbincang-bincang merupakan tradisi yang nyaris tak terhindarkan ketika sebuah komunitas bertemu di warung kopi. Untuk itulah, dalam pergaulan sehari-hari dikenal istilah obrolan warung kopi, yakni perbincangan yang biasa terjadi di warung kopi. Beberapa tema obrolan yang biasa terjadi di warung kopi antara lain kebijakan pemerintah, pergantian kekuasaan pemerintah, kehidupan pribadi tokoh terkenal, perselingkuhan, korupsi para pejabat, huru-hara rumah tangga seseorang, asmara, olahraga, hiburan dan lain-lain. Sebagai ruang publik mestinya warung kopi terbuka untuk semua orang. Siapa saja, dari kelas sosial manapun dan latar belakang profesi apapun dan berjenis kelamin apapun absah datang ke warung kopi dan melakukan pergaulan di dalamnya. Akan tetapi dalam kenyataannya, segmen pasar warung kopi dibatasi oleh nilai gender dalam masyarakat. Bahwa tidak semua orang dinilai pantas oleh masyarakat untuk minum di warung kopi. Berdasarkan jenis kelaminnya, hanya laki-lakilah yang dianggap wajar menjadi pelanggan ke warung kopi. Sebaliknya, perempuan sangat tidak lazim pergi ke warung kopi, Konsekwensinya bila ada perempuan yang nekad menjadi pelanggan warung kopi, sebutan bukan perempuan baik-baik bisa dilekatkan padanya. Ketatnya pembagian nilai gender ini terutama berlaku di warung kopi yang berada di pedesaan. Keadaan ini tidak berlaku dengan ketat bagi masyarakat perkotaan, sehinggaTerkait dengan pembagian segmen konsumen berdasarkan gender ini, maka apa yang disajikan oleh warung kopi disesuaikan dengan selera pembelinya. Oleh sebab itu, demi menarik keuntungan sebanyak-banyaknya para pemilik kopi berlomba memuaskan selera pelanggannya yang hampir pasti laki-laki semua dengan hal-hal yang disukai laki-laki. Selain menu utama berupa kopi yang pada umumnya diidentikkan dengan laki-laki, warung kopi juga menyediakan pasangan abadinya, yakni rokok yang juga identik dengan laki-laki. Jadilah minum kopi sambil merokok menjadi aktivitas utama para pelanggan warung kopi. Menu lain, seperti makanan ringan, seperti pisang goreng, ubi goreng dan kue dapat dikatakan sebagai pelengkap sajian. Selain sajian tersebut, sebagian pemilik warung kopi menggunakan strategi klasik untuk membuat betah pelanggan laki-laki, yakni mempekerjakan perempuan untuk menjadi pelayan yang berhadapan langsung dengan pelanggan.

Terkait dengan fungsi perempuan untuk mendongkrak pendapatan kafe, para pemilik warung kopi tidak sembarangan merekrut perempuan agar menjadi pelayan di warungnya, melainkan berdasarkan kualifikasi tertentu berdasarkan selera laki-laki pada umumnya, yakni memiliki wajah dan atau tubuh yang secara umum dikategorikan cantik, manis dan proporsional. Selain itu, untuk lebih menyenangkan laki-laki, pemilik warung kopi “mengharuskan” pelayannya memakai busana yang dapat menonjolkan bagian-bagian yang disukai laki-laki, seperti baju yang terbuka pada bagian dada dan paha, transparan, ketat atau perpaduan dari ketiganya. Dengan demikian kopi dan perempuan disajikan sebagai satu paket layanan yang tak terpisahkan. Maka tidak heran bila motivasi laki-laki datang ke warung kopi bukan semata-mata ingin minum kopi melainkan ingin menikmati layanan lebih yang bisa di dapat dari perempuan pelayan, yakni sensualitas dan kemesraan. Bisa jadi bahkan, minum kopi merupakan tujuan sampingan sedangkan tujuan utamanya adalah menikmati sensualitas pelayannya.

Beberapa warung kopi setia dengan fitrahnya, yakni menjual kopi dan rokok sebagai menu utama. Tetapi tidak sedikit pula warung kopi yang memilih menggeser arah bisnisnya, menjadikan kopi sekedar sebagai sampul depan, adapun sajian yang sebenarnya adalah sensualitas yang ditampilkan melalui pelayan perempuannya. Akibat pergeseran ini, muncul penilaian kurang baik dari masyarakat terhadap warung kopi. Hal ini antara lain dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Hendrasta Narotama di desa Gebang kecamatan Pakel kabupaten Tulungagung menunjukkan bahwa pemaknaan warung kopi yang sangat berbeda telah diberikan oleh masyarakat. Dahulu sebelum munculnya warung kopi yang memperkejakan pelayan perempuan masyarakat masih memaknai warung kopi sesuai fitrah sebuah warung kopi yaitu sebuah tempat untuk bersantai sambil mencari dan menikmati secangkir kopi yang memiliki rasa yang khas tapi sekarang dengan munculnya warung kopi yang menyediakan seorang pelayan perempuan masyarakat cenderung memaknai warung kopi adalah sebagai tempat untuk mencari seorang pelayan yang mau dipeluk, dicium bahkan diboking untuk dikencani serta digunakan sebagai tempat ajang bisnis para calo. Penilaian negatif lain menurut masyarakat adalah bahwa warung kopi dan kafe kerap digunakan oleh sebagian pengunjung sebagai tempat pesta minuman keras dan narkoba.

Dalam sudut pandang normatif barangkali masyarakat tidak sepenuhnya salah menilai. Bahwa sebagian pelayan perempuan di warung kopi atau kafe memberikan layanan lebih berupa sensualisme. Jadi pemaknaan tersebut tercipta tidak lain karena perilaku para pelayan warung kopi yang dapat dikatakan menyimpang dari norma-norma sosial yang dianut masyarakat setempat. Kesan negatif yang sulit dihindarkan kemudian adalah adanya warung kopi yang mengarah pada sebuah praktek prostitusi terselubung. Dalam hal ini, perempuan di satu sisi menjadi sasaran kebencian dan menjadi simbol perusak moral masyarakat, menyebabkan laki-laki tidak setia pada istrinya. Akan tetapi dilihat dari perspektif sosiologis, keberadaan perempuan pelayan kopi dapat dilihat sebagai komoditas atau barang dagangan yang disediakan oleh pemilik warung kopi atau kafe demi memuaskan laki-laki yang menjadi pelanggannya.

Pertanyaan yang muncul di benak banyak orang adalah, ko mau perempuan dijadikan barang dagangan di warung kopi?…memangnya tidak ada pekerjaan yang lain yang lebih terhormat..? Apakah para perempuan itu tidak sadar telah melanggar norma sosial, bahkan norma agama. Pertanyaan klasik semacam inilah yang juga sudah ribuan kali diarahkan kepada perempuan pekerja seks komersial dan ribuan kali pula menguap tanpa pernah terdialogkan. Pembelaan terhadap perempuan yang dijadikan umpan dagangan sensualitas seringkali dimentahkan oleh ungkapan bahwa memang perempuan di warkop atau kafe genit-genit, mesum, bisa dipakai, sengaja menjajakan diri dan membuka peluang untuk dijadikan pemuas hasrat laki-laki. Ungkapan ini tidak jauh-jauh bersumber dari sikap menurut dan tidak menolak ketika dilecehkan serta pakaian yang dikenakannya. Hal yang seringkali lupa untuk dipahami adalah sejak awal posisi pelayan perempuan sangat rentan, dalam arti tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemilik warung atau kafe dan di hadapan pelanggan sehingga dalam banyak hal ia hanya bisa tunduk pada pakem relasi gender yang timpang. Posisi rentan itu setidak-tidaknya dapat dikenali dari serangkaian proses yang dialami perempuan dari mulai perekrutan, penentuan gaji, penempatan hingga penampilan di tempat kerja.

Diawali dari proses perekrutan, perempuan yang mau bekerja di warung kopi pada umumnya adalah perempuan yang tidak lagi punya pilihan untuk bekerja di tempat lain. Hal ini ditunjukkan oleh adanya karakteristik umum perempuan pelayan warung kopi antara lain berpendidikan rata-rata SD atau SMP, berasal dari keluarga miskin, sebagian dari mereka memiliki masalah pergaulan bebas, putus sekolah akibat hamil di luar nikah, bercerai dari suaminya dan harus menghidupi anaknya atau frustasi ditinggal pacar setelah keperawanannya terenggut. Latar belakang tersebut sangat berkaitan dengan terbatasnya jaringan serta lemahnya akses informasi yang mereka miliki. Secara logika, perempuan berpendidikan sarjanapun sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, apalagi perempuan berpendidikan rendah dan tidak memiliki jaringan sosial yang memadai. Maka ketika ada peluang bekerja, meskipun di warung kopi dan beresiko buruk secara sosial peluang itu tidak disia-siakannya. Beberapa pelayan warung kopi yang pernah saya wawancarai mengatakan bahwa mereka tidak mengatakan apa sebenarnya pekerjaan mereka kepada keluarga dan teman-temannya di kota asal, melainkan mengaku bekerja sebagai buruh pabrik rokok atau pelayan toko. Penyembunyian informasi ini menunjukkan bahwa mereka sendiri tidak memandang pekerjaannya sebagi pekerjaan yang baik, apalagi sebagai sebuah pencapaian cita-cita yang membanggakan. Sama sekali tidak.

Selanjutnya, penentuan gaji adalah salah satu hal yang tidak bisa diintervensi pelayan karena dianggap otoritas atau kekuasaan pengusaha. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pelayan kafe, gaji pelayan pada umumnya tidak lebih dari 600.000 sebulan. Dengan gaji sekecil itu, ia harus bisa menghidupi dirinya sendiri dan sebagian dari mereka juga harus menghidupi keluarganya. Tidak sedikit di antara mereka yang memiliki tanggungan keluarga yang harus dinafkahi, seperti ayah, ibu atau saudaranya. Eli (bukan nama sebenarnya), seorang pelayan kafe asal Sragen yang saya wawancarai menceritakan bahwa ia harus membayar sekolah dua orang adiknya yang duduk di bangku SMK dan SD. Penghasilannya sebagian besar mengalir ke adik-adiknya itu, sedangkan ia hanya mengambil untuk sekedar membayar uang kos, makan dan make up. Kebutuhan yang besar dan gaji yang kecil membuat para pelayan berusaha mencari penghasilan tambahan di luar gaji tetapnya. Cara yang lazim ditempuh para perempuan pelayan ini adalah memberikan layanan yang menyenangkan pelanggan agar diberi tip atau imbalan uang dari pelanggan. Bagi pelayan yang beruntung, tip dari pelanggan bisa lebih besar daripada gaji tetapnya. Inilah titik rentan selanjutnya yang dialami perempuan warung kopi. Tidak semua pelanggan warung kopi hanya bermaksud minum kopi, melainkan ada yang memiliki maksud kurang baik antara lain mencari kesenangan yang bersifat seksual. Pelayan perempuan menjadi pihak yang rentan dijadikan sasaran pencarian kesenangan seks pelanggan. Maka tidak jarang perempuan mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari pelanggan, misalnya dicolek pantatnya, dipegang-pegang dadanya, dipeluk sampai diajak berhubungan seksual. Beberapa perempuan berinisiatif menolak dan membatasi dirinya hanya sebagai pelayan warung yang tugasnya tidak lebih dari sekedar mengantarkan kopi yang dipesan pelanggan atau maksimal menemani minum. Akan tetapi tidak sedikit yang kemudian memanfaatkan kenakalan pelanggan untuk mendapatkan tip sebanyak-banyaknya. Di warung kopi yang besar, di mana pelayan perempuannya lebih dari satu situasi persaingan antar pelayan kerap tak terhindarkan. Persaingan memuaskan hasrat pelanggan untuk mendapatkan tip paling besar. Apakah mereka tidak punya iman dan landasan agama sehingga tidak malu melakukan tindakan yang menurut aturan agama sangat tidak terpuji? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab secara hitam putih. Hal ini karena setiap individu memiliki pengalaman dan pemahaman agama yang berbeda-beda sehingga memiliki prioritas nilai yang dianut dan dipegang teguh. Tidak hanya perempuan di warung kopi, hal ini juga berlaku bagi setiap orang. Ada seseorang yang memprioritaskan berpegang teguh pada ajaran agama dalam hal ritual seperti shalat, puasa, haji tetapi mengesampingkan aspek kesalehan sosial, seperti kepedulian terhadap sesama, terbiasa melakukan korupsi dan menyakiti tetangga. Menuduh mereka tidak beriman atau dangkal imannya hanya dengan tolok ukur perilaku sensualitasnya di warung kopi menurut hemat saya merupakan tindakan yang agak terburu-buru.

Penempatan perempuan dalam tahap selanjutnya tentu saja merupakan kekuasaan mutlak pengusaha. Sebagai pekerja informal, pelayan warung kopi pada umumnya tidak memiliki kontrak kerja tertulis sebagai bukti bahwa di antara dirinya dan majikan terdapat hubungan kerja yang menimbulkan akibat hukum. Pelayan warung kopi dan kafe secara hukum sama lemahnya dengan pekerja rumah tangga yang nasibnya berada di tangan majikan. Jika majikannya baik, baik pula nasibnya. Sebaliknya, jika majikannya memiliki itikad kurang baik dalam mempekerjakannya, maka kemungkinan besar nasibnyapun akan kurang baik. Karena tidak dilindungi oleh sistem hukum yang jelas, sewaktu-waktu majikan tidak suka pelayan bisa diberhentikan secara sepihak tanpa bisa menuntut hak-hak ketenagakerjaannya sebagaimana pekerja formal, misalnya mendapat pesangon. Resiko dari tiadanya perlindungan hukum ini antara lain, pelayan dituntut untuk menuruti apapun ketentuan yang dibuat oleh pemilik warung kopi yang menjadi majikannya, termasuk misalnya merelakan tubuhnya menjadi pemuas hasrat seksual pelanggannya demi mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi majikannya. Perlawanan atas kehendak itu, tidak mustahil dapat berakibat pada pemecatan tanpa bisa dibantah atau diproses secara hukum.

Dengan pengalaman kerja di warung kopi, jaringan kerja yang dimiliki kurang lebih hanya berkutat di seputar warung kopi juga. Oleh karena itu, lazim terjadi pengoplosan pelayan antar warung kopi. Pelayan yang dirasa sudah cukup lama bekerja di sebuah warung kopi biasanya akan dipindah di warung kopi lain dengan tujuan agar pelanggan tidak bosan. Oleh karena itu lazim dikatakan adanya “barang baru” yang menunjuk pada pelayan yang baru datang di suatu warung kopi. Bisa jadi ia memang pelayan yang benar-benar baru masuk di dunia perwarungkopian, tetapi seringkali yang dimaksud dengan “barang baru” itu adalah perempuan yang telah lama bekerja sebagai pelayan warung kopi tetapi baru saja dimutasi atau dipindahtuigaskan ke warung kopi lain. Perempuan yang telah memiliki penggemar tetap biasanya akan dipertahankan oleh pemilik warung. Hal ini seringkali menyulitkan perempuan yang hendak pindah atau berhenti dari profesi ini karena sesuai dengan logika ekonomi majikan tidak mungkin melepaskan orang yang berperan menjadi mesin pengeruk keuntungan bagi usahanya. Oleh karena itu,hubungan antara pelayan dengan majikan dalam tingkat tertentu menunjukkan adanya indikasi trafiking, yakni eksploitasi ekonomi oleh majikan terhadap perempuan secara paksa dengan membatasi dan menghambat akses perempuan pada bidang lain yang diinginkannya.
Titik rentan yang lain yang umum terjadi adalah adalah apabila sewaktu-waktu dilakukan razia atas kafe dan warung kopi yang disinyalir merupakan ajang prostitusi terselubung perempuan selalu akan menjadi ujung tombak yang menjadi sasaran razia. Pihak yang merazia umumnya secara otomatis akan menyasar perempuan yang berada di tempat tersebut dengan asumsi merekalah yang menjual ketidaksenonohan dan menyebabkan masyarakat kotor. Pihak lain yang menerima manfaat dari keberadaan mereka seringkali justru lepas dari kejaran petugas. Jika razia itu melibatkan media, tubuh perempuan akan menjadi buruan yang paling dicari untuk dipampang dalam media massanya. Mereka pula yang harus mengalami pembinaan di dinas sosial, harus didata identitasnya di kepolisian atau pihak lain yang melakukan razia serta membayar uang tebusan bila diperlukan.
Melihat titik-titik rentan perempuan pelayan warung kopi dan kafe sebagaimana yang dipaparkan dapat disimpulkan bahwa antara relasi yang terjadi antara perempuan pelayan dan pemilik warung kopi atau kafe selaku majikan merupakan relasi yang timpang gender. Memojokkan perempuan sebagai pihak yang sepenuhnya bersalah atas jual beli sensualistas di warung kopi atau kafe merupakan sikap yang tidak sensitif gender. Tidak sensitif gender artinya tidak mampu menangkap dan mengenali adanya ketidakadilan yang tercipta berdsarkan latar belakang jenis kelamin serta tidak memiliki kemauan baik untuk berusaha melakukan perubahan menuju tatanan yang lebih adil. Dalam hal ini diperlukan sikap masyarakat yang advokatif, yakni sikap yang memberikan pembelaan pada pihak yang mengalami ketidakadilan dengan cara memulihkan keberdayaannya yang dirampas oleh sistem sosial yang melemahkannya.
Penulis adalah Kepala Pusat Studi Gender dan Dosen Jurusan Syariah STAIN Tulungagung.

0 Response to "PEREMPUAN DI WARUNG KOPI, PELAKU ATAU KOMODITAS SENSUALISME? "

Posting Komentar

Pengunjung Blog