KRITIK ANAK UNTUK AYAH

Kritik Ayah-Anak
Kemarin sore waktu bis yang kutumpangi melewati saluran irigasi di tepi sawah, aku mendengar percakapan antara seorang anak kecil (mungkin berumur 5 tahun) dengan ayahnya, kebetulan mereka duduk di kursi seberangku.

Anak : Ayah, itu got kaya tempat ayah pipis kemarin ya
Ayah : Kapan?
Anak : Itu, waktu kita pulang dari Semarang.
Kata Ayah kita nggak boleh pipis sembarangan, kok Ayah
pipis di got sih, harusnya kan di kamar mandi. Ayah pipisnya
berdiri, dilihat banyak orang nggak malu, nggak dicuci

Ayahnya tampak bingung mau menjawab apa, akhirnya..

Ayah : Ya... waktu itu kan lagi macet, nggak ada kamar mandi nak
Anak : Ayah kok boleh, aku kok tidak boleh, kata ayah kalo pipis harus jongkok, harus dicuci pakai air, harus ditutup biar nggak dilihat orang.

Aku tertawa. Anak yang cerdas, pintar mempertanyakan perilaku orang tuanya yang tidak konsisten antara ucapan dan tindakannya.

Mungkin pertanyaan dan kritik itu juga muncul dalam diri anak-anak lain yang ;

Orang tuanya selalu menyuruh belajar, tetapi tak pernah tampak membaca, menulis atau membicarakan pengetahuan.

Orang tuanya melarang jajan sembaranag, tapi tak menyediakan jajanan sehat.

Orang tuanya menyuruh shalat jamaah, tapi dirinya asyik bersantai.

Orang tuanya menuntut anaknya bicara halus dan lembut, tapi dirinya selalu berkata keras dan kasar.

Orang tuanya selalu menasehati agar guyub rukun, tetapi dirinya selalu berselisih dengan tetangganya.

Bukankah inkonsistensi antara ucapan dan tindakan adalah pelajaran paling nyata untuk menjadi pembangkang? Entah itu membangkang diam-diam atau terang-terangan.

SUKSES SESUAI PILIHAN


Di bis kota sepulang dari kampus tadi aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu. Sebenarnya aku sangat ngantuk dan ingin tidur walau tidak lama, tetapi dia mengajakku ngobrol. Dengan setengah terpejam aku tanggapi ajakannya. Dia bercerita tentang anaknya. 


"Anak saya sudah lulus S1 UGM, tapi tidak mau ikut tes CPNS, soalnya dia suka mendalami Islam, lebih memilih kerja di lembaga bimbingan belajar, katanya gajinya lebih besar dibanding PNS"

Aku mengangguk-angguk, walaupun alasannya agak belum bisa kupahami.

Sukses, Ilustrated By Google
Sekarang, aku sedang bermalam di rumah seorang sahabat. Aku agak kaget ketika hampir sampai rumahnya motor yang menjemput aku berhenti di sebuah warung dan mendapati suami sahabatku ini sedang berjualan makanan dan dikelilingi para pembeli. Suaminya ini adalah lulusan S2 kampus ternama. Dia bilang, "Pernah daftar CPNS sekali, tapi tidak lulus, dan setelah itu tidak tertarik lagi. Enak buka usaha sendiri, semua bisa diatur sendiri, banyak waktu untuk keluarga". 

Aku melihat, 14 tahun mereka berkeluarga tampak sakinah, mawaddah warohmah, bahagia sejahtera tak kurang suatu apa. Lima tahun yang lalu, ketika sang istri belum genap 30 tahun mereka telah pergi haji bersama, lalu menjadi tokoh masyarakat karena mengajar di masjid.

Sekarang sedang musim penerimaan pendaftaran CPNS di seluruh Indonesia. Mungkin di antara teman-teman ada yang sedang mengikuti seleksi, aku doakan semoga sukses. Semoga diterima sesuai formasi yang diinginkan, melalui proses yang bersih dan jujur. Kalaupun nanti ternyata belum sesuai kehendak Allah, maka tidak perlu berkecil hati. Dua sosok yang kuceritakan ini semoga dapat menjadi inspirasi untuk tetap melanjutkan perjalanan hidup dengan penuh optimisme dan keceriaan. 

Tuhan menebarkan peluang sukses di banyak tempat. Kita bisa memilih sukses di tempat yang sesuai dengan perjuangan dan keberuntungan kita.
AKU DAN 6 BIS DI HARI ANTRI NASIONAL

AKU DAN 6 BIS DI HARI ANTRI NASIONAL


Hari kemarin aku naik 6 bis, di dalam dan ke luar kota Jogja. Pertama, pagi hari, dari rumah teman di pinggiran Kulonprogo menuju ke perbatasan kota, aku duduk bersebelahan dengan seorang polisi. Ketika melewati sebuah SPBU yang antriannya mencapai setengah kilo, ia bercerita bahwa di kampungnya, harga bensin eceran seliter 12.000. Ia berangkat dinas malam naik motor, tapi pulangnya harus naik bis karena ogah melibatkan diri dalam antrian super panjang itu. Untung jalan yang kami lalui super lebar, jadi bis bisa melaju dengan lancar dan cepat.

Bis yang kedua, khusus dalam kota menuju kampus. Kali ini, jalan yang dilalui lebih sempit. Setiap mau melewati SPBU sopir selalu mengarahkan bis ke arah lain karena tidak mau terjebak macet bersama antrian kendaraan pembeli BBM. Tetapi, jalan yang dipilih tidak selalu benar, karena pernah masuk jalan perumahan yang buntu, dan harus mundur 100 M. Pernah juga bertemu dengan truk dan sama-sama tidak bisa lewat, akhirnya truknya mengalah mundur. 

Bis yang ketiga, dari kampus ke toko buku. Penuh sesak oleh anak-anak sekolah berhelm. Mungkin mereka berangkatnya naik motor, pulangnya naik bis karena kehabisan bensin. Bis keempat, dari toko buku ke batas kota, bersama orang-orang pulang kantor. Ramai di bis bercerita tentang strategi berangkat ke kantor tanpa terlambat. Mereka bilang biasanya naik motor, pagi tadi ada yang naik ojek (dengan harga lebih mahal), ada yang naik taksi, ada yang naik becak bermotor, ada pula yang naik bis. Persoalannya sama, tidak mau antri.

Bis kelima, dari batas kota ke agen bis antar kota. Kali ini lebih seru. Aku dan ibu-ibu berdiri di pintu karena bis sudah penuh. Setiap ada yang turun, kami harus turun duluan dan naik lagi. Mungkin ada lima kali kami naik turun agar penumpang yang di dalam leluasa keluar. Salah seorang ibu yang bersamaku memakai seragam perawat kesehatan. Katanya, "Ternyata asyik juga ya latihan jadi kenek"

Bis keenam, bis antar kota jurusan Jogja-Cilacap yang menurutku saat ini merupakan bis terbaik se-Indonesia. Bis yang bodinya amat besar ini, tak kalah lincah dengan bis kota yang mungil. Dengan gagah berani ia masuk jalan-jalan kecil untuk menghindari kemacetan sehingga kendaraan yang berpapasan harus terpinggirkan keluar dari aspal. Dulu di Jatim, aku benci sekali dengan bis-bis model ini, tapi kali ini aku menikmati sensasinya. Setelah 50% perjalanan, ada info ada truk yang patas as sehingga bis tidak bisa lewat, sopir cari jalan lain. Baru jalan satu kilo, ada kabar jalan sudah bisa dilalui, akhirnya bisku putar balik di sebuah halaman masjid, tapi pohon waru di sudut halaman sedikit jadi korban.

Cerita terakhir, setelah hampir sampai tempat tujuanku, menjelang masuk Sampang, banyak bis dari arah berlawanan belok masuk jalan kecil. Rupanya ada macet parah di SPBU, dan bis yang berangkat satu jam sebelumnya ada dalam kemacetan itu. Sopirku yang cerds segera berbalik arah dan putar lewat Korea dan bernegosiasi dengan beberapa penumpang agar mau diturunkan di luar rencana. Seorang ibu yang mau ke Sampang turun di Bangsa, ada yang mau turun di Kalisabuk jadinya di Cantelan. 

Akupun harus telpon berulang kali ke rumah karena lokasi penjemputan harus diubah 4 kali dan 2 KM lebih jauh. Tidak apalah, sedikit berkorban untuk kepentingan orang banyak daripada buang-buang energi dalam kemacetan. Konon, macet itu seperti garam dan durian, dapat menyebabkan darah tinggi. jadi, aku rela berkorban agar penumpang lain tidak terserang darah tinggi.

Itulah cerita ku di Hari Bis Nasional, Hari Antri dan Hari Macet. Ternyata naik angkutan umum jauh lebih menyenangkan daripada naik kendaraan pribadi tapi sulit cari BBM. Jika besok harga BBM harus dinaikkan, aku berharap transportasi publik ditingkatkan jumlah dan layanannya, tentu sangat menyenangkan jika semua bis seperti bis terbaik yang kemarin kunaiki. Super nyaman, aman dari copet, lincah, murah dan bisa menidurkan .

"KULO BADHE DHAHAR..."

Senin kemarin, dalam sebuah acara pasrah pengantin, wakil dari keluarga laki-laki berkata :


"Mohon maaf apabila nanti anak kami kurang sopan dalam bergaul dengan mertua, maklum... anak muda zaman sekarang banyak yang tidak bisa basa (Berbahasa Jawa Krama), kalaupun basa biasanya banyak kelirunya, mengagungkan dirinya sendiri, misalnya 'kulo bade dhahar', mohon dibimbing dan dikoreksi kalau berbuat keliru"
Ilustrasi By Google

Hari Rabu malam, ketika perjalanan pulang dari Jogja, aku mendengarkan obrolan antara sopir dan kondektur, topiknya juga tentang berkurangnya kemampuan anak-anak memakai bahasa Jawa, khususnya Jawa krama yang dalam konsep etika orang Jawa idealnya dipakai untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Kata sopir, "Anak sekarang pada kurang sopan santunnya, nggak bisa basa, dirumah nggak diajari orang tuanya, di sekolah pelajaran bahasa Jawa sudah dihapus"

Kondekturnya menjawab, "Iya, betul sekali... Anak-anak ngomong sama gurunya juga tidak basa, malah bilang "kowe" pada gurunya, harusnya sekolah SD itu fokusnya budi pekerti, biar pada punya sopan santun, jujur, rendah hati, ramah pakai anggah ungguh"

Kemarin, dalam sebuah obrolan dengan seseorang di halaman masjid aku senyum-senyum sendiri menahan tawa (teringat acara pasrah pengantin dan obrolan di bis) ketika dia bercerita :

"Putrane kulo mboten tindak ngaos wingi, soale kulo tindak kondangan teng Kebumen, teng ndalem mboten wonten sing tiyang sing saged antar jemput. Kulo nembe kondur wau ndalu."

Yang masih ingat pelajaran bahasa Jawa, coba tebak kata-kata mana yang membuatku senyum-senyum menahan tawa?

MARAH TAK HARUS MENGHINA, MARAH TAK MESTI MENGHUKUM


Mungkin ini sebuah ironi yang tragis. FS, seorang mahasiswa S2 Fakultas Hukum harus menjalani penahanan polisi akibat menulis kritik dan ungkapan kemarahannya di media sosial ketika antri membeli BBM di SPBU. Sebelum polisi menahannya, Komisi Etik Fakultas juga telah melayangkan panggilan kepadanya. Sebagai sesama mahasiswa pascasarjana di fakultas yang sama, tentu aku sangat prihatin atas peristiwa yang seharusnya tak perlu terjadi ini.

Aku bilang tak perlu terjadi karena, di satu sisi aku tidak setuju dengan cara FS mengungkapkan perasaan dan kritiknya yang cenderung menggeneralisir (nggebyah uyah) secara negatif terhadap Jogja, sementara di lain sisi aku juga menyesalkan sikap sebagian masyarakat yang mengklaim sebagai perwakilan masyarakat Jogja yang menolak mengabulkan permintaan maaf FS, dan terakhir aku juga menganggap polisi terlalu berlebihan menangani kasus ini. Aku ingin merinci keprihatinanku satu per satu.
Ilustrasi By Google
  1. Marah atas suatu keadaan yang tidak sesuai harapan adalah sikap yang manusiawi. Mengkritik ketidakberesan layanan publik yang dianggap buruk juga tindakan yang wajar dan merupakan hak konsumen. Akan tetapi, semestinya kita, terutama kalangan terpelajar mampu mengelola kemarahan dan kritik sehingga tepat sasaran, berkontribusi pada perbaikan dan menambah nilai positif kita. Kemarahan dan kritik yang tidak dikelola dengan baik berpotensi besar menjadi boomerang dan menyerang diri sendiri. Menurutku, marah harus dipisahkan dengan dengan umpatan, makian dan olok-olok yang bermuatan penghinaan dan pelecehan. Setahuku, bahasa kita memiliki kosaMara kata yang amat kaya, kita bisa memilihnya dengan cerdas dan cermat agar bisa menampilkan marah dan kritik secara elegan dan tidak membahayakan diri sendiri.

Selain itu, marah juga harus dikelola agar tidak menyinggung rasa primordial seseorang atau kelompok. Mari membiasakan marah secara objektif. Kalau ada orang yang membuat kita marah, ya marahlah hanya padanya, bukan pada sukunya, agamanya, bentuk fisiknya, nama kotanya, negaranya, profesinya, jenis kelamin sehingga tidak perlu mengungkit-ungkit asal-usulnya. Sebagai contoh, kalau ada seseorang membuat kita marah, kebetulan dia berasal dari Sulawesi, berkulit hitam, beragama Yahudi, berprofesi sebagai buruh, berjenis kelamin perempuan, maka kita tidak perlu menyebut-nyebut asal-usulnya itu dalam redaksi kemarahan.

Kesalahan terbesar FS menurutku adalah kesal pada petugas SPBU di Jogja tetapi kemudian melebarkan kemarahannya pada Jogja, sehingga setiap orang yang merasa sebagai orang Jogja marah besar. Aku juga marah kalau ada laki-laki yang marah pada pacarnya sendiri karena dimintai uang terus lantas mengungkapkan makian “Dasar perempuan. Matre semua”. Aku juga marah jika ada orang yang marah pada orang Islam yang membuang sampah sembarangan, lantas memaki, “Semua muslim memang jorok”.

2. Ketika ada orang yang khilaf mengucapkan kata-kata yang tidak semestinya dan membuat kita sakit hati, dan sudah minta maaf serta berjanji tidak akan mengulangi, maka tidak ada yang lebih luhur dan mulia kecuali memaafkan dan mengulurkan tangan perdamaian. Apalagi, semua tahu, yang bersangkutan telah menerima sanksi sosial berupa hujatan dari orang yang terhitung banyaknya. Meskipun aku tidak turut menghujat, aku kira, hujatan yang banyak itu sudah lebih dari cukup sebagai hukuman yang menjerakan. Meskipun ini negara hukum, kurang bijaksana menurutku, membawa persoalan ini ke ranah hukum positif, seolah-olah kita sudah kehabisan stok kekayaan sosial bernama moral, rasa kemanusiaan, belas kasihan dan maaf.

3. Polisi memiliki wewenang berupa diskresi, yaitu wewenang untuk meneruskan atau menghentikan perkara secara legal. Untuk perkara tersinggung massal karena ucapan seseorang, mestinya polisi tidak pelit menggunakannya, terlebih yang bersangkutan sudah menunjukkan itikad baik untuk meminta maaf, janji tidak mengulangi dan bersedia diperiksa. Menurutku, polisi juga bisa menempuh langkah diversi, yaitu mengalihkan penanganan perkara hukum pada ranah sosial berupa upaya restoratif justice yang lebih menekankan pada pemulihan keadaan secara kekeluargaan tanpa harus memperhadapkan para pihak di muka pengadilan. Kalau perlu, sebagai bentuk pertanggungjawaban dan ganti rugi, bisa dibuat kesepakatan agar FS harus kerja sosial membersihkan jalan sepanjang Malioboro, tapi tidak perlu ditahan atau dipenjara.

Itu pendapatku, semoga kita selalu diberi pertolongan untuk selamat dari tajamnya lidah dan jemari. Mari budayakan berpikir jernih dan bertindak cerdas. Janganlah negeri ini menjadi negeri yang penuh oleh amarah

Perempuan-Perempuan Perkasa

Sampai di Jogja jam 04.30 pagi, di trotoar dekat masjid kampus bertemu seorang nenek membawa selendang, aku tanya mau kemana, beliau menjawab, "Mau kerja di Pasar Beringharjo"
"Kok tidak bawa dagangan Mbah?"
"Saya kuli gendong, sudah 36 tahun"
"Berapa kilo yang digendong?"
"Rata-rata sekali bawa setengah kintal, sehari bolak-balik ada puluhan kali".
Ilustrasi Google

Aku tersenyum, teringat tanganku pernah serasa patah selama seminggu gara-gara membawa beras 10 kilogram sejauh setengah kilo meter.

Beliau melanjutkan, "Anak saya lima, sudah mentas semua, sudah kerja enak, alhamdulilah.. gusti paring kemurahan pada anak-anak saya". Wajahnya cerah sekali, tampak bahagia.

Siangnya, di kampus, aku berpapasan dengan Mbak Esta, petugas kebersihan fakultas yang sedang memanggul galon air mineral yang masih penuh. Dia membawa dengan santai, antar gedung, sambil ngobrol dengan kawannya yang laki-laki.

Mereka para perempuan yang dianugerahi kekuatan fisik luar biasa, menggunakan anugerahnya untuk berbuat baik pada sesama. Semoga selalu diberkahi...
KETIKA SEMUA ORANG DIANGGAP TAU

KETIKA SEMUA ORANG DIANGGAP TAU

Ketika masih di bis dini hari tadi, aku ngobrol dengan teman dudukku. 
Setelah tahu aku kuliah di mana, ia berkomentar, “Oh… kenal sama mahasiswi yang kemarin ditahan polisi nggak?”
Aku jawab, “Kebetulan tidak, tapi kampusnya satu atap”

Ketika menemui dosen di Fakultas Ilmu Budaya, beliau bertanya, “Anda temannya F yang bikin heboh ya?”
Aku jawab, “Iya Bu, tapi belum pernah lihat”

Ketika sedang menunggu loket kantor buka pasca istirahat siang, seorang gadis lewat bersama beberapa dosen, semua mata tertuju padanya. Aku membatin, “Ooh, itu..”

Ketika turun dari lantai dua, aku terpaku di tangga. Ada kerumunan wartawan, aku hitung jumlahnya 18 orang, berbusana kasual serba hitam, ada yang memegangi handycanm, ada yang menyorongkan recorder, HP, kamera. Mereka sedang mengelilingi Bapak Dekan. Kutipan kalimat yang kudengar, “Ini murni perkara etika, bukan pidana.”

Saat ini, tidak seperti biasanya, pintu ruang dekan dijaga dua orang satpam. Kalau tidak amat penting urusannya tidak boleh masuk. Aku membatalkan niatku mengambil sebotol air minum yang tertinggal di kursi tunggu, ketika tadi mau minta tanda tangan. Belasan wartawan itu masih setia berkerumun sambil membuka laptop masing-masing. Sepertinya mereka sedang menunggu Komite Etik selesai bersidang dan akan memberitakan ke seluruh dunia apa hasilnya.

Inilah sekelumit cerita dari dunia maya yang berlanjut di dunia nyata. 

Inilah situasi “istimewa” yang bermula dari serangkaian huruf.
Mari lebih berhati-hati, mari lebih arif, mudah-mudahan kita diberi keselamatan di dunia dan akherat. Kata pepatah, “Selamatnya manusia ditentukan oleh lisannya”. 

Mungkin banyak di antara kita yang tidak pernah membaca undang-undang tentang penghinaan, baik secara manual maupun elektronik, tetapi negara menganggap setiap kita sudah tahu undang-undang itu dan terikat oleh isinya. Soal pelaksanaan memang bisa debatable, tapi soal aturannya, begitulah adanya

SBY ITU NEGARAWAN ; LEBIH DARI SEKEDAR POLITISI

Membaca berita tentang proses dan hasil perhitungan cepat Pemilu di beberapa media, saya sungguh sangat bersyukur bahwa Pemilu berjalan aman, relatif tertib meskipun ada beberapa insiden teknis, dan mudah-mudahan jujur .  Salah satu hal yang menarik pasca Pemilu bagi saya adalah membaca komentar para petinggi partai terhadap perolehan suara partainya. Dan di antara semua komentar itu, saya paling suka pada pernyataan Pak SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat. Menurut saya, beliau menampilkan sikap yang sangat terpuji dalam menerima “kekalahan” partainya. Berterima kasih pada para pemilih, legowo mengakui peminat partainya turun, menyadari kekurangannya, tidak menyalahkan siapa-siapa dan dengan rendah hati mengucapkan selamat pada PDIP, Golkar dan Gerindra yang sementara menempati posisi tiga besar menggeser partainya yang perolehan suaranya turun lebih dari 100% dibanding Pemilu 2009.
Sikap tersebut sungguh sangat berbeda dengan pernyataan beberapa petinggi partai yang dengan segala apologinya belum mau mengakui kenyataan menurunnya pamor partainya. Saya bahkan tertawa, ketika membaca instruksi petinggi sebuah partai yang menyerukan kader-kadernya untuk tidak menonton TV karena perhitungan cepat disetting untuk menurunkan mental mereka, merupakan rekayasa jahat kelompok-kelompok tertentu, sedangkan menurut perhitungan mereka partainya memperoleh suara 2 x lipat quick count di TV-TV dan akan menjadi tiga besar. Bahkan, ada seruan untuk tetap waspada terhadap musuh, jika sampai lengah musuh-musuh itu akan terus melemahkan mereka. Saya mengelus dada, prihatin…  setidakdewasa itu cara para “pemimpin” ini menerima kenyataan, selalu merasa dimusuhi dan memusuhi orang di luar kelompoknya.   
Susilo Bambang Yudhoyono
Ada rasa hangat di hati saya saat menyimak pernyataan Bapak SBY. Meskipun saya tidak memilih partainya, tapi saya berbahagia di negeri ada beliau. Saya menilai, beliau betul-betul orang yang memiliki jiwa demokratis. Sebagai pejabat eksekutif tertinggi, kalau mau beliau dapat mengerahkan seluruh jajaran birokrasi dan keluarganya untuk memenangkan partainya. Pada masa lalu, cara ini pernah dipakai oleh presiden yang berkuasa. Dengan ancaman tertentu, seluruh aparatur negara takluk di bawah komandonya dan hasilnya, selama berpuluh-puluh tahun golongannya (waktu itu belum dinamai partai) selalu menang mutlak dan mengukuhkan kekuasaannya sebagai seorang tirani dan dikatator.
Bapak SBY juga seorang petinggi militer. Jika mau, beliau dapat mengintruksikan seluruh anggota militer untuk mengamankan kekuasaannya. Cara ini pula yang dipakai oleh presiden terdahulu yang berpangkat jenderal untuk mengebiri semua orang yang dianggap mengganggu kekuasaannya. Maka, pada saat itu, berani mengkritik atau menentang keputusan pemerintah sama artinya dengan setor nyawa. Tapi Pak SBY tidak melakukannya. Beliau lebih memilih menjadi bulan-bulanan media dan masyarakat yang tidak menyukainya, daripada menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Pun ketika pejabat-pejabat partainya disangka korupsi, beliau sama sekali tidak berkomentar yang bersifat membela, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK. Sangat menyejukkan. Ini sungguh berbeda dengan komentar pejabat partai lain yang menuding KPK berkonspirasi dengan kekuatan zionis ketika petinggi partainya tertangkap KPK. Dan setelah itu mereka bersyahwat membubarkan KPK.
Saya rasa, ketika beliau tidak berkuasa lagi nanti, saya akan rindu figurnya, figur seorang negarawan, yang menempatkan kepentingan negara diatas segala-galanya, bukan sekedar politisi partai. Saya berterima kasih atas keteladanan beliau.

OSPEK, ANTARA KEPATUHAN DAN PEMBANGKANGAN

Sejak jam 7 pagi tadi, aku melihat dan berpapasan dengan ribuan pemuda dan pemudi bertopi caping, berseragam hitam putih dan berkalung tali rafia. Mereka tampak berlarian, lalu membentuk barisan rapi mengikuti suara siap grak.. hadap kanan grak… hadap kiri grak…. Tentu mereka bukan petani, karena petani tak perlu baris berbaris ala militer ketika mau mengolah tanahnya. Petani juga tidak mungkin pakai dasi dan seragam hitam putih. Mereka adalah calon mahasiswa kampus tertua dan konon terbesar di negeri ini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka tampak patuh dan taat digiring kesana kemari mengikuti komando dari orang yang memanggul megaphon sambil meneriakkan orasi yang aku tidak jelas mendengarnya. 
Ini pemandangan hari pertama, ketika asesoris yang harus dikenakan belum sebanyak hari-hari berikutnya. Aku tahu karena di sekitar kampus banyak terlihat penjual-penjual asesoris yang mungkin akan diserbu untuk hari-hari selanjutnya.

Mungkin besok akan ada kalung dari tali sepatu dan kertas karton di didada bergambar tokoh-tokoh tertentu, mungkin juga akan ada tugas membawa makanan, minuman atau hasta karya tertentu yang tidak mudah dicari atau dibuat. Dan tiap sore, sepulang dari kampus, para peserta yang sudah lelah jiwa raga itu akan dibuat kalang kabut membuat tugas untuk hari esok. Setahuku, di banyak kampus orientasi yang menekankan kepatuhan peserta pada panitia masih banyak dianut, tentu saja disertai ancaman sanksi bagi yang berani melanggarnya.
Begitulah cara anak-anak muda mengisi kemerdekaan. Soal makna dan tafsirnya, tentu saja bebas bagi siapa saja untuk membuatnya. Peserta mungkin akan menafsiri ospek merupakan penindasan dan penyiksaan, panitia boleh saja mengatakan ini pembelajaran bagi calon mahasiswa agar kritis dan berani melawan rezim penindas. Para orang tua (seperti abahku dulu waktu adikku ospek) boleh memaknai ospek sebagai kesempatan untuk mempersulit dan merepotkan orang tua dengan mencarikan bahan-bahan tugas. Tidak mustahil juga senior akan mengartikan ospek sebagai ajang berburu mangsa baru.
Bagaimana denganku? Bagiku, ospek adalah ajang narsis. Saatnya mengenalkan diri pada dunia bahwa aku calon mahasiswa yang bisa diperhitungkan. Diperhitungkan itu artinya layak dimasukkan dalam daftar mahasiswa baru yang pantas diajak kenalan, diperbincangkan dan dinominasikan sebagai kader yang akan diajak banyak kegiatan kampus. Kedengarannya lebay ya? Judulnya saja narsis… dan bagiku sangat absah narsis untuk memulai karir yang lebih tinggi. Mungkin aku agak beruntung, karena mengalami ospek pada tahun 1999, ketika isu demiliterisasi sedang sangat kuat sehingga ospek-ku tidak banyak berbau militer, tidak ada tugas membawa atribut aneh yang membuat malu di jalan.
Ilustrasi By Google
Acara ospekku jaman dulu lebih banyak dialog dan diskusi di ruangan, dan di situlah aku menampilkan diri sebagai calon mahasiswa yang hobi berkomentar atas topik yang dibicarakan. Maka, setelah ospek selesai, oleh sebagian senior aku disebut peserta yang vokal, walaupun oleh sebagian yang lain disebut peserta yang susah diatur, bawel dan menyebalkan. Alhamdulilah… kebawelan itu kemudian mendapat saluran yang benar, sehingga aku menemukan dunia yang sangat cocok dengan seleraku, yaitu dunia aktivis jalanan yang menuntut pandai berorasi, berdiplomasi, dan berpendapat dan dunia keilmuan yang menuntut pandai berargumentasi.
Ayo para panitia ospek… lakukanlah kebijakan yang menurut kalian ada gunanya buat para peserta… siapkan justifikasinya.
Ayo para peserta, lakukanlah ketaatan seperlunya, jika ada kebijakan yang menurut kalian sia-sia, jangan ragu-ragu melawan dan membangkang… jangan lupa siapkan dalil pembenaran
Para orang tua dan wali, jika mendapati tugas-tugas yang tak membawa kebaikan, jangan mau direpotkan, biarkan anak-anak kita belajar membangkang pada ketidakberesan..

Selamat ber-ospek, untuk seluruh mahasiswa baru di Indonesia

KEMULIAAN KELUARGA ALLAH


Ada ratusan ribu orang kaya di negeri ini yang antri bertahun-tahun untuk berangkat menunaikan ibadah haji. Di Cilacap, kalau daftar haji regular tahun ini maka harus menunggu lebih dari sepuh tahun hingga tiba saatnya berangkat. Kalau tidak salah, di Jawa Timur daftar antriannya lebih dari lima belas tahun. 


Tetapi, kuasa Allah sangat mungkin menjadikan orang yang tidak termasuk kaya melampaui ratusan ribu antrian itu. Aku baru saja menyaksikannya. Seorang supir angkot di Nusa Tenggara Barat dan istrinya yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga serta anaknya yang belum genap 10 tahun mendapat limpahan keajaiban itu. Mereka mendapat undangan khusus dari raja Arab Saudi yang disampaikan melalui duta besarnya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima tahun ini. Ya, tahun ini. Tanpa mendaftar. Tanpa menyetorkan uang terlebih dahulu. Tanpa bersusah payah memakai dana talangan dari perbankan. Bahkan juga mendapat bonus 3 paket umrah dan uang Rp. 50 juta rupiah.

Subhanallah. 
Itulah anugrah indah yang diterima Fuadi, juara 3 Hafiz Indonesia di RCTI. Tentu saja juara 1 dan 2 yang diraih oleh Musa dan Ahza tak kalah mengejutkannya. Demikianlah, cara Allah mencintai keluarganya. Ya,sebagaimana diriwayatkan oleh Anas RA, Rasulullah pernah bersabda : Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri dari manusia.” Kemudian Anas berkata lagi, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Baginda manjawab, “yaitu ahli quran (orang yang membaca atau menghapal quran dan mengamalkannya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.” (HR. Ahmad)

Itulah salah satu anugrah mulia lantaran memuliakan Al Quran dengan cara menghafalnya. 

Itulah kejutan, rizki tak terduga yang mungkin tidak pernah diniatkan sejak awal menghafal. Aku yakin mereka memimpikan akan sampai ke tanah suci, tapi mungkin tidak menduga kalau kesempatan itu datang melalui prestasi anaknya. 

Jika Allah yang memanggil, mana ada yang mustahil?
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang akan diberi kemuliaan di dunia dan akhirat karena istiqomah membaca, mempelajari dan mengamalkan Al Quran. Bukan hanya ketika Ramadhan, melanikan sepanjang tahun, siang maupun malam.

MAAF SAPU JAGAT


Gegap gempita takbir telah berhenti. Akan tetapi Idul Fitri, khususnya di Indonesia, belum usai. Masih banyak pintu rumah yang terbuka tanpa harus diketuk, masih banyak sajian hidangan di meja tamu tanpa sebelumnya ada yang memberi tahu akan bertamu. Di jalanan, masih banyak orang berlalu lalang dengan busana terbaru dan terbaik, bersama keluarga. Dan tentu saja, masih sangat banyak tangan yang saling menjabat, badan yang saling membungkuk penuh rendah hati, lisan yang berikrar saling memaafkan, menanyakan kabar dan berbincang-bincang penuh kehangatan. Indahnya Idul Fitri… di negeri kita.


Di lebaran tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku juga mengunjungi dan dikunjungi. Yang mengunjungi kebanyakan adalah tetangga, kerabat yang lebih muda, sedang yang dikunjungi adalah kerabat yang lebih tua secara garis nasab, para guru dan sesepuh. Di era digital yang serba mudah untuk berkomunikasi jarak jauh, masih pentingkah bertemu fisik? Bukankah sambil tiduran di kamar saja kita bisa berkirm kabar dan kata maaf? Bahkan bisa ngobrol sambil lihat gambar saudara kita? Memang… tapi pertemuan fisik buatku tetap punya makna istimewa sendiri.
Ilustrasi By Google

Dengan bertemu langsung, kita bisa bersalaman, berpeluk cium, bertukar senyum, betul-betul melihat bahwa teman, kerabat atau tetangga kita sehat atau sakit, bisa tahu kabar terbaru sekolah di mana, kerja di mana, bisa tahu juga penambahan anggota keluarga baru, bisa tahu di mana rumahnya. Tanpa bertemu langsung, kerabat atau tetangga hanyalah sekedar nama, karena fungsinya hilang ditelan kesibukan masing-masing lalu menjadi terasing satu sama lain. Bukankah manusia paling menderita adalah manusia yang merasa asing dengan orang-orang di sekitarnya..?

Lalu, bagaimana dengan saling memaafkan? Apakah kalau tidak ada lebaran lantas tidak saling memaafkan? Tentu saja tidak. Menurutku, saling memaafkan di saat lebaran adalah permintaan maaf global, semacam sapu jagat, minta maaf yang tidak ada rincian kesalahannya, dan fungsinya untuk menyapu bersih sisa-sisa kekhilafan dan kekurangan yang pernah dibuat, yang mungkin kurang disadari saat melakukannya. Adapun kesalahan yang sangat kasat mata, mestinya kita sudah saling memaafkan sesaat setelah menyadari kesalahan itu. Tapi tidak ada salahnya juga, kita yang masih menyimpan amarah, luka atau kecewa pada orang lain dan kemarin-kemarin masih menahan diri dari maaf dengan penuh pertimbangan hari ini mengikrarkan untuk memberi maaf. Bukankah tidak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan?

Sahabatku semua, terima kasih atas persahabatan kita selama ini, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Terima kasih yang telah terlebih dahulu mengulurkan tangan, baik lewat SMS, inbox, status, like atau komentar. Aku sungguh berbahagia mendapat perhatian itu. Dengan setulus hati, aku menyatakan memberi maaf. Dan kepada semua teman, aku mengucapkan selamat bernahagia, maafkanlah aku, sekiranya perilaku dan tulisanku kurang membuat hati berkenan, termasuk juga prasangkaku pada teman-teman semua. Insyaallah, aku tidak pernah sengaja menyakiti, tetapi mungkin tetap ada yang tersakiti. Aku tidak pernah sengaja menjauh, tetapi mungkin ada yang merasa jadi jauh atau terjauhi. Aku tidak pernah sengaja menyombongkan diri, tapi mungkin saja terkesan sombong. Aku tidak pernah sengaja sadis, sinis, keras, tapi mungkin saja ada yang menerima perilaku dan tulisanku sebagai bentuk kesadisan. 

Maafkanlah… maafkanlah…. Maafkanlah…
Lahir dan batin

RENDAH HATI KAPAN SAJA


Kemarin sore, ketika berdiri parkiran sebuah toko aku melihat seseorang lewat mengendarai sepeda motor. Ia memandang ke arah kami, membungkukkan kepala sambil tersenyum ramah. Tentu saja kami membalas sapaan itu dengan ramah pula. Tetapi, kemudian ada celetukan dari juru parkirnya, “Sekarang sudah bangkrut mau menyapa 
kita-kita, dulu ya boro-boro, nggak level”. Seseorang yang lain menyahut, 
“Mending kalo cuma nggak menyapa, tetangga-tetangganya yang miskin kenyang dihina, aku mau mengantarkan punjungan (hantaran nasi menjelang hajatan) saja nggak disuruh masuk, cuma ditemui di pintu biar cepat pulang”.

“Sekarang baru tahu rasanya miskin. Rumah sudah dalam genggaman bank, sawah, tanah, mobil sudah melayang. Korban investasi”
Rendah hati seperti padi

Jika orang itu mendengar, tentu ia tidak suka diobrolkan semacam ini. Sudah bangkrut, (seolah-olah) disoraki pula. Tapi, obrolan itu memberiku pelajaran penting. Jangan menunggu miskin untuk menjadi pribadi yang rendah hati. Lebih baik bersikap rendah hati kapan saja, apakah ketika berlimpah harta, sekedar berkecukupan atau sedang diuji dengan kekurangan. Kita tidak pernah benar-benar memiliki harta itu. Terlalu mudah bagi Sang Pemilik Sejati untuk mengambilnya, kapan saja Dia mau. Menjadi korban investasi tipu-tipu sebagaimana marak di kampungku hanyalah salah satu cara di mana Dia tunjukkan kekuasaan-Nya. Entah berapa ratus milyar uang mengalir bagai banjir bandang ketika itu, dan tak diketahui ke mana arahnya.

Aku yakin, orang kaya yang rendah hati akan didoakan oleh lebih banyak orang daripada orang kaya yang sombong. Ia memberikan senyum yang sama tulusnya kepada setiap tamunya, apakah tamu itu sama-sama kaya atau miskin papa, apakah tamunya itu berpangkat atau sekedar rakyat jelata, apakah tamunya itu keturunan ningrat atau tak diketahui nasabnya, apakah tamunya itu terpelajar atau tak pernah sekolah. Senyumnya sama, minuman yang disajikan sama, makanan yang dihidangkan sama, keramahan yang ditampilkan sama. Membuat setiap orang yang mengunjunginya merasa berharga, merasa dianggap penting, dan otomatis senang mendoakannya agar semakin sukses.

Bandingkan dengan orang kaya yang sombong, apalagi miskin dan sombong.

KETIKA IBU DIBAHAGIAKAN ANAKNYA


Tengah malam tadi, seorang remaja mengeluhkan perilaku orang tuanya. Ia kecewa dan sakit hati yang teramat sangat karena orang tuanya membuat keputusan yang tidak sesuai harapannya. Karena keputusan itu, sekarang ia hanya tinggal bersama ibunya tetapi dalam situasi seolah-olah bermusuhan.

Aku menasehati, “Tetaplah doakan kedua orang tua, tetaplah bersikap yang sebaik-baiknya, jangan sekalipun berkata kasar, jangan membentak apalagi melakukan tindakan yang menyakitkan badannya”

Tapi Ibuku suka berkata kasar kalau marah, kata-katanya menyakitkan. 
Apa aku harus diam saja? Harus sesabar apa lagi?”

“Jangan dibalas. Diam lebih baik daripada membalas. Berkata kasar apalagi menyakiti badannya tidak akan membuat kita tampak mulia. Tidak juga akan membut keadaan lebih baik. Mengalah dan berdoa lebih bermanfaat sambil berdialog, membiasakan ngobrol, jangan saling mendiamkan. Aku kenal dengan beberapa orang yang di masa mudanya sering membentak ibunya, menendang bahkan meludahinya, sekarang hidupnya dirundung musibah tiada henti. Jangan sampai hidup kita tidak berkah karena menyakiti hati ibu”
Ilustrasi By Google

“Aku ingin Ibu berubah menjadi lebih perhatian dan lemah lembut”

Jika menginginkan orang lain berubah menjadi baik pada kita, ubahlah dulu sikap kita menjadi lebih baik padanya. Jika sudah saling berubah, insyaallah rumah akan terasa seperti surga. Jangan mendiamkan, mengabaikan dan tidak bertegur sapa, apalagi kalian tinggal serumah. Banyak anak yang tidak punya Ibu dan hanya bisa memimpikan bertemu ibunya, sedangkan kamu tiap hari diberi kesempatan bertemu. Menyia-nyiakan kesempatan untuk merajut harmoni bersama Ibu kelak dapat mendatangkan penyesalan terdalam sepanjang hayat. 

"Bagaimana memulainya?"

Besok pagi, ajaklah Ibu shalat berjamaah subuh. Setelah itu tawarkan, Ibu mau dibuatkan teh atau susu, lalu ajak ngobrol sambil minum. Jangan lupa ketika mau berangkat sekolah, pamit dan cium tangan Ibu. Insyaallah Ibu akan tambah sayang dan tidak pernah kasar lagi. 
Jika Ibu tampak kelelahan setelah bekerja, pijatlah kakinya sambil menceritakan pengalamanmu seharian dan bertanya pengalaman ibu hari itu. 

Jangan membenci Ibu karena sibuk bekerja, tapi bersyukurlah punya Ibu yang bertanggungjawab. Banyak orang tua yang menelantarkan anaknya setelah bercerai, tapi ibumu giat mencari nafkah, membiayai sekolahmu, membuatkan rumah tinggal yang layak, memberimu pakaian yang layak, mengambil tanggung jawab melebihi kewajibannya. Ayo hargai perjuangan Ibu dengan tidak lupa mempersembahkan senyum termanismu, setiap hari. Insyaallah, Allah akan memberimu hadiah yang jauh lebih dari yang kamu harapkan. 

Tadi pagi aku SMS ibunya, menanyakan kabar anaknya. Katanya, "Alhamdulilah... pagi ini dia manis sekali. Mau berangkat sekolah pamit dulu. Aku terharu dan bahagia sekali"

Aku juga terharu dan bahagia mendengarnya.

Aku percaya bahwa kebahagiaan adalah anugrah yang mudah sekali menular. Ibu yang berbahagia, akan selalu berusaha membahagiakan anaknya.

KENANG-KENANGAN YANG BERPINDAH TANGAN


Aku menemukan beberapa bungkusan bersampul kertas kado di antara sekian banyak buku yang dibawa suami dari kampus dalam rangka membereskan kantornya. Setelah aku buka, ada satu yang berisi baju koko, selebihnya kain-kain yang belum dijahit. Kata dia, “Kenang-kenangan dari mahasiswa yang sudah lulus, sudah lama di meja tapi lupa mau bawa pulang. Buku-buku ini juga hadiah semua”. Aku tertarik memiliki kain-kain itu, dan ia langsung mengiyakan ketika aku memintanya. Sedangkan baju kokonya tampak lebih kecil dari badannya. Dia meminta pendapatku, “Boleh aku memberikan pada dia?” sambil menunjuk ke seorang tetangga yang biasa menyapukan halaman rumah. Aku setuju.

“Alhamdulilah…” sambutnya riang gembira. Aku jadi ikut gembira melihat sambutannya. 

Pemberian orang kok diberikan pada orang lain lagi? Apakah itu namanya tidak menghargai? Mungkin ada yang bertanya begitu. Dulu aku juga berpikir begitu, bahwa pemberian atau kenang-kenangan dari seseorang harus dijaga sebaik mungkin, jangan sampai berpindah tangan. Selain untuk mengingat dan mengenang orang yang memberikan, juga untuk menjaga perasaannya agar tidak merasa pemberiannya disia-siakan. Tapi, dampak dari pemikiran itu, lemariku jadi seperti museum barang-barang antik. Banyak baju yang tidak pas lagi dengan badanku tetap bertumpuk tanpa pernah kupakai lagi. Begitu juga dengan barang-barang lain, seperti tas, jam, sepatu dan jilbab. Aku sampai kewalahan mengatur letak barang-barang itu, membersihkannya dari jamur dan debu serta menjaganya agar tidak rusak.

Setelah tak lagi punya banyak waktu, aku berubah pikiran. Tidak ada salahnya memberikan barang-barang pemberian orang lain kepada orang lain lagi dengan pertimbangan kemanfaatan yang lebih besar. Bisa jadi, suatu barang nilainya akan lebih besar ketika dipakai oleh orang lain. Tahun kemarin aku diberi oleh-oleh baju bagus dari teman yang pulang dari luar negeri, tapi ukurannya terlalu besar. Setelah dikecilkan, ternyata bentuknya jadi aneh di badanku. 

Setelah tergantung selama 4 bulan dan hanya dipakai satu kali, akhirnya aku bungkus kertas kado, dan kuhadiahkan pada seorang gadis anak tetanggaku menjelang lebaran. Aku terharu sekali ketika hari lebaran baju itu dipakai untuk bersilaturahim keliling lingkungan. Beberapa saat kemudian aku memberitahukan teman yang memberi, meminta maaf dan menceritakan asal muasal mengapa aku tak memakai pemberiannya. Alhamdulilah ia tidak keberatan, katanya, “Nggak papa, yang penting bermanfaat”.

Begitu juga ketika aku dalam posisi sebagai pemberi hadiah. Tidak perlu berkecil hati jika tak pernah melihat pemberian kita dipakai oleh si penerima. Bukankah pemberian itu bertujuan untuk membahagiakan penerimanya? Bila menyedekahkan lebih membahagiakan daripada menyimpannya, maka tidak perlu mempersoalkan mengapa ia tak memakai pemberian kita. Aku yakin, ketulusan kita memberi tidak akan dihapus dari catatan amal baik hanya karena pemberian kita berpindah tangan lagi.

Pengunjung Blog