Sejak jam 7 pagi tadi, aku melihat dan berpapasan dengan ribuan pemuda dan pemudi bertopi caping, berseragam hitam putih dan berkalung tali rafia. Mereka tampak berlarian, lalu membentuk barisan rapi mengikuti suara siap grak.. hadap kanan grak… hadap kiri grak…. Tentu mereka bukan petani, karena petani tak perlu baris berbaris ala militer ketika mau mengolah tanahnya. Petani juga tidak mungkin pakai dasi dan seragam hitam putih. Mereka adalah calon mahasiswa kampus tertua dan konon terbesar di negeri ini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka tampak patuh dan taat digiring kesana kemari mengikuti komando dari orang yang memanggul megaphon sambil meneriakkan orasi yang aku tidak jelas mendengarnya.
Ini pemandangan hari pertama, ketika asesoris yang harus dikenakan belum sebanyak hari-hari berikutnya. Aku tahu karena di sekitar kampus banyak terlihat penjual-penjual asesoris yang mungkin akan diserbu untuk hari-hari selanjutnya.
Mungkin besok akan ada kalung dari tali sepatu dan kertas karton di didada bergambar tokoh-tokoh tertentu, mungkin juga akan ada tugas membawa makanan, minuman atau hasta karya tertentu yang tidak mudah dicari atau dibuat. Dan tiap sore, sepulang dari kampus, para peserta yang sudah lelah jiwa raga itu akan dibuat kalang kabut membuat tugas untuk hari esok. Setahuku, di banyak kampus orientasi yang menekankan kepatuhan peserta pada panitia masih banyak dianut, tentu saja disertai ancaman sanksi bagi yang berani melanggarnya.
Begitulah cara anak-anak muda mengisi kemerdekaan. Soal makna dan tafsirnya, tentu saja bebas bagi siapa saja untuk membuatnya. Peserta mungkin akan menafsiri ospek merupakan penindasan dan penyiksaan, panitia boleh saja mengatakan ini pembelajaran bagi calon mahasiswa agar kritis dan berani melawan rezim penindas. Para orang tua (seperti abahku dulu waktu adikku ospek) boleh memaknai ospek sebagai kesempatan untuk mempersulit dan merepotkan orang tua dengan mencarikan bahan-bahan tugas. Tidak mustahil juga senior akan mengartikan ospek sebagai ajang berburu mangsa baru.
Bagaimana denganku? Bagiku, ospek adalah ajang narsis. Saatnya mengenalkan diri pada dunia bahwa aku calon mahasiswa yang bisa diperhitungkan. Diperhitungkan itu artinya layak dimasukkan dalam daftar mahasiswa baru yang pantas diajak kenalan, diperbincangkan dan dinominasikan sebagai kader yang akan diajak banyak kegiatan kampus. Kedengarannya lebay ya? Judulnya saja narsis… dan bagiku sangat absah narsis untuk memulai karir yang lebih tinggi. Mungkin aku agak beruntung, karena mengalami ospek pada tahun 1999, ketika isu demiliterisasi sedang sangat kuat sehingga ospek-ku tidak banyak berbau militer, tidak ada tugas membawa atribut aneh yang membuat malu di jalan.
|
Ilustrasi By Google |
Acara ospekku jaman dulu lebih banyak dialog dan diskusi di ruangan, dan di situlah aku menampilkan diri sebagai calon mahasiswa yang hobi berkomentar atas topik yang dibicarakan. Maka, setelah ospek selesai, oleh sebagian senior aku disebut peserta yang vokal, walaupun oleh sebagian yang lain disebut peserta yang susah diatur, bawel dan menyebalkan. Alhamdulilah… kebawelan itu kemudian mendapat saluran yang benar, sehingga aku menemukan dunia yang sangat cocok dengan seleraku, yaitu dunia aktivis jalanan yang menuntut pandai berorasi, berdiplomasi, dan berpendapat dan dunia keilmuan yang menuntut pandai berargumentasi.
Ayo para panitia ospek… lakukanlah kebijakan yang menurut kalian ada gunanya buat para peserta… siapkan justifikasinya.
Ayo para peserta, lakukanlah ketaatan seperlunya, jika ada kebijakan yang menurut kalian sia-sia, jangan ragu-ragu melawan dan membangkang… jangan lupa siapkan dalil pembenaran
Para orang tua dan wali, jika mendapati tugas-tugas yang tak membawa kebaikan, jangan mau direpotkan, biarkan anak-anak kita belajar membangkang pada ketidakberesan..
Selamat ber-ospek, untuk seluruh mahasiswa baru di Indonesia